Adil sejak Dalam Pikiran

Bumi Manusia

Awal 2005, sebelum diperkenalkan oleh seorang karib dengan Rahma Istiqomah, yang kemudian menjadi istri saya, saya telah menamatkan Bumi Manusia. Hal itu bermula dari pertanyaan iseng saya kepada seorang guru mengaji, Muhammad Zuhri: siapa pengarang Indonesia yang paling ia sukai. Pak Muh, sapaan akrab Muhammad Zuhri, menjawab, “Pramoedya Ananta Toer. Karya tetraloginya telah diterjemahkan dalam banyak bahasa.”

Semula saya kaget. Kenapa Pramoedya? Dia kan Lekra, ateis, tak berperikemanusiaan, dan menghalalkan tindakan biadab? Begitulah yang terpatri dalam benak saya saat itu. Ya, embusan sesat warisan Orde Baru tentang Pram masih saya pelihara hingga akhir 2004. Namun Pak Muh, almarhum guru mengaji, malah merekomendasikan karya Pramoedya menjadi teman bersanding, menjadi bacaan utama, sebelum melirik karya sastra lain.

Tanpa banyak pertimbangan, saya buru karya tetralogi Pram, dan ketemu Bumi Manusia. Usai menamatkan buku pertama tetralogi Pulau Buru, Bumi Manusia, pelan tapi pasti, stigma setan terhadap Pram yang lama mengeram pun melenyap. Dengan tingkat kemampuan memahami yang pas-pasan saat itu, saya balik bertanya pada diri sendiri: kalimat mana yang menunjukkan Pram seorang ateis, tak punya rasa kemanusiaan, dan tak beradab? Kenapa pada 1981 jaksa agung negeri ini melarang Bumi Manusia? Kisah cinta Minke dan Annelies yang dituturkan Pram, tak seronok atau sevulger kisah kasih yang dituturkan Ayu Utami atau esai Emha Ainun Nadjib.

Nah, kini, setelah 10 atau 11 tahun berlalu, saya baca ulang Bumi Manusia. Masih dengan kesimpulan yang sama: Pramoedya adalah pejuang kemanusiaan, bukan ateis, dan justru menyuguhkan nilai keadaban. Bahkan kini tambah, setelah mengikuti Kelas Membaca Pram di Kedai Kopi ABG bersama Kang Putu: Pramoedya tak lain tak bukan adalah sejarawan.

Saya baca lagi Bumi Manusia. Secepatnya saya ingin menamatkan dan berlabuh pada kisah Anak Semua Bangsa. Dari Bumi Manusia makin gamblang saya dapatkan pergulatan batin Minke di tengah tradisi leluhur Jawa yang feodal dan budaya Eropa yang membebaskan. Bupati, sebagai raja kecil di Jawa, menuntut rakyat takzim. Rakyat yang laksana budak mesti berjalan tidak dengan sepenuh kaki, tetapi setengah kaki dengan bantuan kedua belah tangan. Ya, merangkak pelan, lantas menyembah dan mencium kaki sang raja. Kesopanan ala feodal yang bertolak belakang dengan tradisi Eropa.

“Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda,” ucap Minke pada sang ibu (halaman 138).

“Orang Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang harus berani mengalah, Gus. Nyanyian itu pun mungkin kau sudah tak tahu lagi barangkali.”

“Sahaya masih ingat, Bunda. Kitab-kitab Jawa masih sahaya bacai. Tapi itulah nyanyian keliru dari orang Jawa yang keliru. Yang berani mengalah terinjak-injak, Bunda.” (halaman 141).

Minke merasa produk bumi manusia akhir abad kesembilan belas, kelahiran zaman modern. Dan bagi dia, Jawa hanyalah pojokan dalam keseluruhan bumi manusia. Ia pribumi asli, yang pada kurun masa itu tak punya nilai di hadapan orang kulit putih, Eropa. Namun ia mencintai dan sangat dicintai Annelies, putri kesayangan Nyai Ontosoroh. Ia berkemampuan di atas rata-rata kaum muda kulit putih: berbahasa Belanda fasih, berpikir terbuka, pintar menulis, dan bertingkah laku tak beda dari pemuda terpelajar Eropa.

Minke melenggang dengan modal mantra dari Jean Marais, sahabat berbangsaan Prancis: seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah yang mengantar dia untuk menyelami lebih dalam kehidupan misterius Nyai Ontosoroh. Dia wanita pribumi yang juga fasih berbahasa Belanda, memimpin perusahaan dengan banyak karyawan, tetapi berkehidupan pribadi kelam. Nyai Ontosoroh, guru sekaligus mertua Minke, adalah budak seorang Belanda, Herman Mellema. Robert Mellema dan Annelies Mellema adalah hasil hubungan tidak sah mereka. Minke merasuk dalam kehidupan nyai itu, lantas menikah dengan Annelies.

Nah, dari situlah petaka yang kemudian menggugah kesadaran Minke dimulai. Perang kolonial yang berlangsung saat itu tak lain adalah kehendak modal di Eropa. Bukan untuk kepentingan politik, melainkan ekonomi pemodal semata. Pemodallah yang berkuasa, mahakuasa, yang menentukan kasta umat manusia: kulit putih, cokelat, mata sipit, Eropa, pribumi, dan Tionghoa.

Keyakinan yang semula Minke rawat adalah Belanda berbeda dari nenek moyang pribumi. Belanda tak pernah merampas istri orang, sedangkan leluhur Jawa, terutama para raja, memiliki kebiasaan beristri banyak dan bahkan merampas istri orang lain. Akhirnya keyakinan itu jebol, tak sanggup dia mempertahankan. Annelies, atas nama wanita berdarah Eropa dan masih gadis di bawah umur, dirampas dari Minke oleh pengadilan Amsterdam di Belanda sana. Bahkan Nyai Ontosoroh tak berhak mendaku Annelies sebagai anak kandung.

Ya, atas nama hukum Eropa, pribumi adalah kelas rendah yang mesti kalah dan terinjak. Minke adalah pribumi yang terinjak dan bersama Nyai Ontosoroh melawan kekuasaan modal Eropa. Kesadaran Minke, yang menganggap sakit tradisi leluhur, terenyak oleh perbuatan kaum terpelajar Eropa yang melecehkan nilai keadilan. Eropa yang maju ternyata lebih tak beradab yang mempermainkan dan menginjak harga diri serta dan merampas hak hidup penduduk pribumi. Dan, Minke memilih: melawan. Berbareng dengan Nyai Ontosoroh, Panji Darman, Darsam, Dokter Martinet, dan Jean Marais, serta kawan-kawan liberal Eropa -- Miriam, Sarah, dan Herbert -- dia terus menggalang perlawanan.

Kisah Bumi Manusia pun diakhiri dengan kekalahan Minke, yang kandas tak sanggup mempertahankan Annelies sebagai istri. Annelies diboyong ke Nederland. Ia dijemput paksa oleh sepasukan maresose dari bilik kamarnya. Sekali lagi, Minke melawan dan kalah. Nyai Ontosoroh menggeram, menatap kepergian iring-iringan serdadu berkuda yang membawa Annelies, menjauh dari pelataran rumahnya.

Begitulah, Bumi Manusia racikan Pramoedya yang memaparkan kepedihan umat manusia yang dirampas hak dan harga dirinya. Bumi Manusia yang menuturkan kehidupan di muka bumi yang sarat gejolak, bukan surga yang damai dan penuh kenyamanan. Pendek kata, Pramoedya lewat Minke mendamba: adil sejak dalam pikiran.

Ungaran, 20 Januari 2016: 10.38

Baca juga: Mengusir Matahari

Post a Comment

0 Comments