Martin Suryajaya, filsuf muda negeri ini, dalam salah satu vlognya mendedah konsep dan sejarah gerakan literasi. Menurutnya, literasi bukan sekadar aktivitas baca-membaca atau tulis-menulis. Melainkan jauh lebih utama adalah mengasah budi pekerti.
Ia membeber konsep penghalusan budi pekerti, yakni upaya penumbuhan kepribadian. Upaya penumbuhan kepekaan pribadi terhadap dunia di sekitar. Upaya melahirkan sikap sendiri. Sehingga, menurutnya, literasi tak berhenti pada kemampuan baca-tulis, pada pengetahuan tentang banyak hal, tetapi bagaimana dengan mengetahui banyak hal itu orang bisa mengambil sikap terhadap dunia.Mengambil sikap di sini mengandaikan punya kepribadian. Dan kepribadian itu tidak bisa ditiru, juga tidak dengan mencontoh orang lain. Setiap orang memiliki kepribadian yang unik, dan itu yang harus ditemukan dengan cara membaca buku, menonton pertunjukan seni, melihat atau menghadapi pengalaman estetik seperti memandang alam yang indah, lukisan seorang maestro perupa, dan lain sebagainya.
Aktivitas-aktivitas demikian yang sedianya mendorong kita makin peka dengan budi pekerti, makin halus, dan sanggup memersepsi hal-hal yang selama ini lewat begitu saja. Keindahan langit senja, misalnya, itu akan begitu saja tanpa kesan sama sekali, sekira kita belum baca buku Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma.
Kesadaran atau kepekaan hati ini tidak tumbuh dengan sendirinya jika kita hanya menjalani hidup secara biasa saja, tanpa upaya baca buku, tanpa peduli dengan perkembangan seni, tanpa peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan seterusnya. Dan, Martin menandaskan itulah sesungguhnya tujuan literasi.
Bahwa literasi bukan sekadar buat menambah informasi, menambah pengetahuan, melainkan menghadirkan kepribadian. Pribadi yang memiliki sensilibilitas, pribadi yang peka keadaan, dan punya sikap sendiri. Jelas, yang demikian tidak akan lahir karena hafalan. Yang begitu hanya muncul ketika kita aktif terlibat dalam pembacaan, mengonsumsi berbagai aspek kebudayaan. Itu kenapa, literasi di Eropa abad ke-17 berkaitan dengan sikap kritis. Literasi itu akhirnya melahirkan profesi kritik seni, kritik sastra, dan banyak hal lagi.
Namun, nah ini soalnya, ketika kita membincang literasi, yang tebersit di benak kita adalah banyak baca buku, banyak informasi. Dan, ternyata tidak mesti begitu, karena harus dilihat dulu buku apa yang dibaca, informasi apa yang disadap. Kalau buku yang dibaca sekadar menuntut kita untuk menghafal, buku yang tidak memancing imajinasi, buku yang tidak menghidupkan pikiran, itu bukanlah literasi.
Bahwa ada adagium, dengan banyak baca buku otomatis literasi kita tinggi, jelas itu salah kaprah. Lihat, kurang literasi apa kita hari ini, dengan merebak media sosial dan perangkat IT canggih, jika literasi dimaknai sebagai banyaknya informasi yang diserap. Aktif berdigital hari ini tidak otomatis berliterasi, karena toh umumnya kita, tidak lebih sebagai kolase pesan-pesan yang tak jelas antara fiksi dan fakta.
Peraih juara pertama Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013 itu menjelaskan, dalam pengertian jadul, literasi sering diartikan sebagai melek huruf. Kemampuan baca-tulis. Namun, semenjak 2010, literasi tidak lagi sekadar kemampuan baca tulis. Literasi tak semata melek huruf. Literasi telah dimaknai sebagai sifat kemelekan yang lebih luas terhadap berbagai produk kebudayaan. Suka baca buku, suka nonton film, suka menikmati pertunjukan budaya.
Nah, dalam sejarah pemikiran, literasi dikenal dan dirumuskan dalam konsep Republik Literasi. Sebuah gejala komunitas intelektual yang memproduksi dan mengonsumsi karya tulis-menulis, karya budaya, yang timbul di Eropa abad ke-17. Itulah asal muasal gerakan literasi yang dewasa ini mengemuka.
Gerakan Republik Literasi itu mewabah dengan diciptanya mesin cetak, yang bisa memproduksi buku secara massal. Berbeda abad sebelum mesin cetak, buku dibikin dengan ditulis tangan. Dengan mesin cetak, pemikiran yang tertuang dalam buku menyebar luas ke penjuru Eropa.
Selain berkat mesin cetak yang dibikin Gutenberg itu, Republik Literasi juga berkembang oleh tradisi berkoresponden surat antarpenyuka kebudayaan, antarpenulis, di seluruh Eropa. Sebuah jaringan koresponden surat, jaringan sahabat pena sesama penulis dari pelbagai tempat di sana.
Berkat selanjutnya adalah menjamurnya kedai kopi-kedai kopi di Eropa. Kafe atau kedai kopi saat itu bukan tempat selfie, melainkan tempat nongkrong dan berdiskusi para penyuka budaya, peminat pemikiran. Sembari menikmati kopi, mereka saling debat tentang ide-ide baru dalam pemikiran filosofis. Ada yang presentasi, dan yang lain menanggapi, dan seterusnya. Sehingga, menjamurnya kedai kopi saat itu, menjadi tempat rujukan untuk berdiskusi mengenai hal-hal terbaru bidang kebudayaan dan pemikiran.
Jadi ada tiga hal yang membuat tumbuhnya gerakan literasi abad ke-17 di Eropa. Pertama, munculnya mesin cetak. Kedua, jaringan surat-menyurat. Dan yang ketiga, kedai kopi yang muncul bertebaran di daratan Eropa. Nah, dari ketiga sebab itu, kemudian berkembanglah asosiasi-asosiasi pemikiran tentang bidang pemikiran tertentu. Berkembang kelompok-kelompok peneliti, dan sebagainya.
Dan yang terpenting, literasi yang berkembang pada abad ke-17 itu diarahkan untuk mendorong atau menumbuhkan semangat simpati terhadap cara berpikir, dan cara berkebudayaan orang lain. Literasi sebagai upaya pembatinan atas informasi yang diterima. Literasi adalah mengonversikan berbagai pengetahuan dengan banyak rujukan dan kebudayaan. Literasi dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian, ekspresi pribadi, atau sikap pribadi.
Di sinilah tantangan literasi kita hari ini yang masih berkutat untuk menambah begitu banyak akses informasi. Padahal, sekali lagi, literasi itu lebih dari sekadar tahu banyak informasi, yakni bagaimana merasakan, bagaimana mengambil sikap yang sangat personal menghadapi situasi, dan bisa menimbang serta menenggang perasaan orang lain. Dari situ kiranya, betapa penting baca karya sastra, menonton lukisan, atau mengoleksi benda-benda seni.
Sungguh, literasi bukanlah akumulasi informasi semata, bukan sebatas akumulasi pengetahuan. Literasi dibangun justru di atas kesadaran, di atas apresiasi pada cara orang berkebudayaan, berpikir, dan berimajinasi. Sudahkah demikian?
Ungaran, 12/03/2022
15 Comments
Oh, jadi gerakan literasi pertama kali itu di Eropa di abad ke-17 ya mas? Dulu sih semua bersurat2an ya belum ada media lain seperti sekarang. Tapi semangat literasi sejak dulu hingga kini semakin berkobar. Terutama untuk generasi muda, literasi untuk menggali ilmu pengetahuan dan wawasan itu wajib tentunya.
ReplyDeleteYup, Mbak
DeleteTulisan yang panjang tapi tuntas saya baca dengan nyaman. Tulisan tentang tulisan.
ReplyDeleteMembaca part kedai kopi, saya jadi teringat pernah baca cerita tentang mahasiswa di LN (sayangnya saya lupa di negara mana) yang selalu bimbingan dengan dosennya di kedai kopi. Walau saya blm pernah kesana, membayangkan banyak orang duduk santai, berdiskusi, (mungkin tanpa hp), sepertinya menyenangkan
Alhamdulillah....makasih ya, dibaca sampai tuntas
DeleteIstilah lainnya mgkn pengayaan literasi yg berbobot dan berfaedah ya mas. Aku banyak belajar literasi dari artikel2 mas ardhi.
ReplyDeleteHehehe...tengkiuh
DeleteSetuju, literasi tak sekadar hanya banyak membaca dan menulis tapi juga wawasan ini kita terapkan dalam berinteraksi dengan orang lain, perilaku kita yang menghargai orang lain dan bertoleransi termasuk karena literasi ya, lihat fotonya jadi kangen diskusi cerpen Kelingan..
ReplyDeleteSengaja pasang foto itu, Mbak, ben kangen...hehe
DeleteLiterasi memang sangat luas. Aku setuju, bukan soal baca tulis aja. Dari literasi bisa berpikir kritis dan lebih peka terhadap keadaan sekitar, itu makanya aku suka literasi walau masih newbie hehe
ReplyDeleteBetul, bisa buat berpikir kritis dan peka terhadap keadaan sekitar
Deletesaya suka sama tulisan ini, dengan baca karya sastra kita jadi bisa melihat suatu kejadian lebih luas dan timbul banyak pertanyaan. banyak yang bisa dipelajari dari kondisi zaman, penokohan, dan budaya dari sebuah karya.
ReplyDeleteYup, betul banget
DeleteAda beberapa istilah yang aku bingung mas. Sensilibilitas. Adagium.
ReplyDeletesensibilitas itu kepekaan. Adagium adalah pepatah
DeleteUntuk mencapai tahapan selanjutnya seperti pengayaan batin dan pengembangan pola pikir, lebih dahulu memang melalui fase banyak membaca, baik buku maupun informasi yang tersedia di berbagai kanal.
ReplyDeleteBakalan lebih cepat kita mencapai level literasi seperti yang Mas Kafha tulis ini jika saat membaca tulisan (entah itu punya siapa) itu beneran dibaca dulu, dicari kebenarannya, dan tidak langsung melanjutkan pesan tersebut tanpa menyaringnya. Dibaca oleh orang yang hanya melihat judulnya aja tuh seringnya jadi blunder malah.