Bagaimana bisa untuk tidak pamer? Apalagi di zaman digital, di masa show media sosial saat ini. Nah, di sini perlunya membaca kembali teks-teks dari Syekh Ibnu ‘Athaillah. Terkait terapi dari kebiasaan riya’, salah satu teks beliau berujar, “Tiada sesuatu yang manfaat bagi hati sebesar uzlah untuk memasuki medan pemikiran.”
Uzlah berarti mengasingkan diri. Uzlah adalah berkesendirian dalam keheningan diri. Dengan begitu, kesempatan buat riya’ pun terbatas. Sebaliknya kita bisa fokus mendalami hakikat. Mengagungkan Allah, dan mengutamakan segala hal yang diridai-Nya.Di sini Syekh Ibnu ‘Athaillah mengaitkan uzlah dengan tafakur. Dan, menurut penjelasan Syekh Ibnu Ajibah, uzlah itu serupa pantangan makan, dan tafakur serupa obatnya. Bahwa obat tiada guna tanpa pantangan makan, dan tidak ada guna pantangan makan jika tiada obat. Sehingga, tidak ada kebaikan sedikit pun, beruzlah yang tak disertai tafakur, dan tidak ada peningkatan dalam bertafakur yang tidak dibarengi uzlah.
Jadi di sini kita diseru kepada dua hal: uzlah dan tafakur. Uzlah mirip dengan pematangan bagi seorang yang lagi sakit. Tafakur mirip dengan obatnya. Uzlah sangat penting bagi ruh, sebagaimna pentingnya berpantang dari makanan yang berbahaya bagi badan. Tafakur juga penting bagi akal dan ruh, seperti pentingnya obat bagi tubuh yang sakit.
Namun, ada juga yang berpendapat, dan ini viral di media, uzlah sudah tak relevan lagi dan bahkan bertentangan dengan sunah Nabi Saw. Dalam anggapan sebagian orang itu, Nabi Saw. telah meninggalkan kebiasaan uzlah semenjak turun wahyu di Gua Hira. Benarkah demikian?
Mari kita renungi lagi ujaran Syekh Ibnu ‘Athaillah, “Tiada yang lebih berguna bagi hati selain uzlah. Dengan uzlah, hati memasuki lapangan tafakur, memasuki medan pemikiran.” Yang sekali lagi, kita dapati sebuah untaian hikmah bahwa dengan uzlah niscaya kita mendapati keteguhan hati yang disebabkan oleh tafakur dan kesempatan lebih untuk mengambil pelajaran. Bukankah “berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah selama tujuh puluh tahun?”
Terlebih kalau kita selami riwayat, bukankah Rasulullah Saw. juga tetap mengondisikan diri untuk berjarak dengan makhluk? Beliau menyendiri bersama Allah. Ketika malam semakin larut, saat masuk setengah yang kedua dari malam, beliau bangun dari tempat tidur, dan kemudian salat malam. Beliau membaca Al-Quran.
“Hai orangyang berselimut (Muhammad). Lakukan salat pada malam hari kecuali sebagian kecil darinya. Separuh atau kurang sedikit dari separuh. Atau lebih banyak dari semua itu. Dan bacalah Al-Quran dengan tartil terang penuh perhatian.” (Al-Muzzammil: 1-4).
Dari situlah, tidak ada alasan lagi untuk tidak beruzlah. Sedianya kita bisa mengalokasikan waktu dan suasana untuk merenung, untuk bertafakur. Sehari semalam, misalnya, kita menyibukkan pikiran dengan membaca buku yang menggugah bukan yang merusak pikiran.
Sehari semalam beruzlah dari manusia, seraya mendekatkan diri kepada pengetahuan akan diri sendiri, akan identitas sebagai hamba. Mendekatkan diri untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat ketuhanan. Dan amal kebaikan lainnya.
Selanjutnya, Syekh Ibnu ‘Athaillah menuturkan, “Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia masih terpampang di cerminnya?”
Dalam hal ini, Syekh Muhammad Said Ramadhan mengurainya dengan jernih. Manusia itu, menurut beliau, terdiri dua pilar utama, yakni akal dan hati. Akal merupakan sarana untuk menyadari dan mengetahui. Sedang hati menjadi wadah berkumpul berbagai perasaan dan emosi. Hati seperti layar yang memiliki kepekaan, yang mendorong, yang membentengi, dan yang menghebohkan.
Dengan dua pilar tersebut, peradaban tercipta, ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan mewarnai kehidupan, dan sebaliknya kerusakan-kerusakan pun acap tak terelakkan. Nah, pertanyaannya, mana, dari dua pilar itu, yang dominan menggerakkan kita?
Dan, Syekh Said Ramadhan menyatakan, 70 % adalah dorongan hati, sementara dorongan intelektual hanya 30 %. Perilaku kita lebih didominasi oleh perasaan cinta, benci, iri, dendam, dan amanah, dan seterusnya. Hati memantulkan berbagai perasaan kita atas respon terhadap situasi dunia.
Lebih lanjut, Syekh Ibnu ‘Athaillah menghardik, “Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsu? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalaian? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruan?”
Nah, masih terbelenggu nafsu, belum bersuci, dan belum bertobat dari kekeliruan, tiada lain lantaran segenap kegiatan kita masih berada di bawah dominasi dorongan perasaan ketimbang panduan akal.
Kita sadar, itu tidak benar. Kita paham, Tuhan tidak meridhai. Bahkan kita juga kerap mengalami, betapa berbahaya adanya dominasi perasaan terhadap akal. Namun sayang, hati yang merupakan wadah mengolah berbagai perasaan itu telah menjerat lantas menggerakkan kita.
Sementara akal merana, hanya berfungsi sebatas lampu yang menyinari, tapi lewat begitu saja. Akal mengingatkan bahwa menghadapkan keinginan semata kepada duniawi itu salah. Namun, sekali lagi, lantaran harta benda, kesenangan, kedudukan, ketenaran, dan lain-lain itu yang menjadi harapan, yang tercetak jelas pada cermin hati, niscaya kekonyolan demi kekonyolan pun berlangsung menghias hidup.
Sekira bertumpu pada akal, niscaya keimanan terjaga. Sebab akal bisa menyadari kebenaran itu secara otomatis. Akal mustahil berkhianat bahwa 1 + 1 = 2.
Dan, jauh-jauh hari Syekh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan, “Bagaimana hati bisa bersinar, manakala anasir keduniaan masih melekatinya?” Bahwa hati akan tertutup kegelapan, jika melekat kepada hawa nafsu, kepada keinginan, kepada perasaan iri, kepada dendam, amarah.
Lain soal, ketika menghadap akal, maka benih cinta kepada Allah akan tertanam dan kemudian memancar dari hati. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.” (Ali Imran: 190).
Begitu.
Baca juga: masih pengin pamer?
0 Comments