Jangan-Jangan (?)


Ngaji Hikam bersama Gus Sholahuddin

Rezeki kita itu sudah ditanggung Allah. Benarkah? Nyata-nyata di tengah keseharian, orang-orang masih harus berjibaku mengumpulkan pundi rezeki. Kendaraan-kendaraan memadati jalan raya, berangkat pagi dan pulang petang, menyemut bak berebut rezeki.

Salahkah mereka? Dan, kenapa pula, hikmah Syekh Ibnu ‘Athaillah justru seakan meminggirkan perlunya mencari rezeki? Beliau mengungkapkan, “Kesungguhanmu untuk mengejar sesuatu yang telah dijamin pasti untukmu dan kelalaianmu dari menekuni apa yang menjadi tanggungjawabmu, adalah bukti atas rabunnya mata hatimu.”

“Sesuatu yang telah dijamin pasti” itu lazim disyarahi sebagai rezeki. Sedang “apa yang menjadi tanggungjawabmu” adalah pengabdian beribadah kepada Allah. Kiai Maftuh Bastul birri, misalnya, menerjemahkan matan Syekh Ibnu ‘Athaillah itu menjadi, “Bersungguh-sungguhnya kamu dalam mencari sesuaru yang telah ditanggung (yaitu mencari rezeki) dan lengahnya kamu di dalam sesuatu yang diperintah (yakni beribadah) menunjukkan penglihatan mata hatimu tidak berjalan.”

Dari situ terbaca, ada sisi di mana Allah menjamin kita, satu sisi lainnya Allah menuntut kita. Dan, Syekh Ibnu ‘Athaillah sepertinya merujuk ayat, “Perintahkan kepada keluargamu untuk mendirikan salat dan sabar melaksanakannya. Kami tidak akan meminta rezeki darimu, bahkan Kami yang memberi rezeki kepadamu.” (Thaha: 132).

Ngaji Hikam di ruang kediaman Gus Sholah

Jelaslah, Allah telah menanggung dan memberesi rezeki kita. Tinggal kemudian, kita fokus menjalankan kewajiban ibadah dan amal-amal yang dituntut Allah. Kita mencurahkan segenap usaha dan pikiran untuk menjalankan tugas yang dibebankan.

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (az-Zariyat: 56-58).

Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya ….” (Hud: 61).

Sehingga akhirnya cukuplah kita menekuni, pertama, mempraktikkan penghambaan kepada Allah sebagaimana rukun Islam. Kedua, memakmurkan bumi, secara materiil maupun peradaban, yang mendatangkan kebahagiaan manusia, baik individu maupun masyarakat, menyebarkan cinta dan kasih sayang.

Syekh Ibnu ‘Athaillah melanjutkan, “Jangan sampai tertundanya karunia Tuhan kepadamu, setelah kau mengulang-ulang doamu, membuatmu putus asa. Karena Dia menjamin pengabulan doa sesuai pilihan-Nya, bukan sesuai pilihanmu; pada waktu yang diinginkan-Nya, bukan pada waktu yang kau inginkan.”

Mengulas hikmah tersebut, Syekh Said Ramadhan terlebih dahulu mengajak kita memahami makna doa. Doa adalah ungkapan tentang keadaan jiwa yang memenuhi dua perkara, pertama, kehadiran hati dan perasaan menuju Tuhan. Kedua, dimulai dengan bertobat kepada Allah atas segala kemaksiatan yang dilakukan.

Menurutnya, kehadiran hati dan perasaan penting karena adakalanya lidah mengucapkan kalimat-kalimat seraya kedua tangan menengadah, tapi pikiran kita tidak menentu, malah memikirkan hal lain. Kemudian, ada orang yang tekun bermaksiat, tapi berani menghadap Allah dan meminta keinginannya segera diwujudkan. Itulah yang bagi Syekh Said Ramadhan terasa aneh, karena memohon anugerah, selagi tak bersikap logis kepada Tuhan. Bagaimana wajar seorang hamba yang bergelimang dosa, tanpa tobat, tiba-tiba meminta kepada Tuhan dan apalagi dengan “memaksa” permintaannya segera dipenuhi.

Nah, Syekh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan, “Jangan sampai lambatnya pemberian padahal terus-terusan berdoa membuat putus asa.

Beliau seolah menjernihkan salah kaprah yang menjamur di tubuh umat, yang mendudukkan doa sama dengan sarana untuk sampai tujuan. Bahwa doa adalah ubudiyah. Bahwa hakikat doa adalah memperlihatkan kefakiran, kerendahan, dan rasa butuh hamba kepada Allah. Bahwa doa adalah tujuan, bukan sarana. Bahwa di antara tugas hamba adalah menunjukkan penghambaan kepada junjungan. Bahwa seorang hamba setiap saat akan selalu butuh kepada junjungannya dalam berbagai urusan.

Hikmah berikutnya, “Janji yang tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu. Agar keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya kalbumu.”

Kembali soal doa sebagai wujud ubudiyah. Sehingga, urusan pengabulan menjadi kewajiban Allah. Nah, pantaskah kita, sebagai hamba, menuntut kewajiban Tuhan? kenapa kita terus-terusan mengejar hak-hak kita kepada Allah? Kenapa kita tidak mengalihkan perhatian atas kewajiban-kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Allah?

Benar memang, bahwa kita telah menunaikan kewajiban-kewajiban dari Allah. Bahwa kita telah melaksanakan salat lima waktu secara rutin dan bahkan tepat waktu. Bahwa kita telah mengeluarkan zakat. Bahwa kita utuh sebulan puasa Ramadhan. Tapi kenapa pertolongan Allah tak juga datang? Kenapa kita masih terus-terusan terpinggirkan? Mana janji-Nya, bahwa kita akan ditegakkan sebagai umat yang terbaik, selagi menolong agama-Nya?

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7).

Jangan sampai tidak terwujudnya apa yang Dia janjikan membuatmu ragu.” ungkap Syekh Ibnu ‘Athaillah. Karena, bisa jadi kita belum bersungguh-sungguh menegakkan kewajiban. Memang, kita tidak pernah absen dari salat berjamaah. Kita tidak pernah mangkir dari seruan untuk berdakwah. Namun, yang harus ditelisik, seberapa dalam kewajiban lahiriah itu merasuk ke dalam jiwa. Yang mesti kita perhatikan, apakah hakikat dari perintah-perintah itu telah sedemikian mendalam ke dalam diri. Jangan-jangan kita masih memelihara bersitan kesombongan. Merawat lintasan riya. Jangan-jangan kita masih suka atau bangga, ibadah rutin kita itu telah sukses mencuri perhatian tetangga.

Kita baca sirah, betapa Nabi Muhammad Saw. sedemikian agung, tapi beliau adalah orang yang paling merasa tidak melakukan kewajiban secara sempurna di hadapan-Nya. Paling merasa tidak sanggup bersyukur. Beliau salat malam, dan tidak pernah absen, karena sering kali dihinggapi kondisi terpuruk menganggap diri tidak dapat menunaikan hak-hak Allah.

Lantas, bayangkan diri kita, seberapa sering kita merasa masih banyak kekurangan dalam menegakkan salat? Jadi, cukupkah salat fardu kita, buat menagih janji Tuhan? Pernahkah terbit perasaan, untuk membebankan diri dengan ketaatan yang lebih banyak dan melaksanakannya dengan lebih tekun? Dan, yang paling utama, sudahkah kita benar-benar merendahkan diri di hadapan-Nya?

Tak ada Tuhan selain Engkau Ya Allah, Mahasuci Engkau, saya sungguh termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiya: 87).

Begitu.

Ungaran, 29/10/2021

Baca juga: hikmah yang lain, serta simak pelbagai tips belajar di blog Ruang Aksara yang diampu Dewi Rieka. 

Post a Comment

0 Comments