Rahma

Berdua di Umbul Sidomukti

Sungguh. Memandangnya saja, tidak bisa tidak, saya sontak bersyukur. Cantik? Ya, standarlah. Atau malah bisa dikatakan “tidak”. Namun, saya tetap wajib mempertahankan rasa syukur itu. Ia sedemikian berani memilih saya, sebagai laki-laki, saat itu pemuda, yang tak bermasa depan. Saya dari kasta bawah. Belum berpenghasilan, tapi ia mau bersanding dengan saya, yang memang di bawah standar keumuman, adalah keberanian (persisnya nekat).

Saat itu, pagi-pagi benar, saya belum selesai beres-beres di kios buku di depan kampus UII, Terban, Yogyakarta, ia menelepon. Ia meminta kepastian, kesungguhan saya melamarnya. Oh ya, saat itu saya menumpang pekerjaan pada seorang senior yang punya penerbit, percetakan, plus kios buku di Yogyakarta. Nah, kembali ke soal dia. Terus terang saya kaget. Walau saat kuliah, tapi tak sempat lulus, saya terkenal sebagai mahasiswa nakal, tukang demo, dan ber-nasakom (nasib satu koma), begitu menghadapi todongan seorang perempuan, grogi juga. Tak berkutik. Saya tak sanggup menjawab “ya” atau “tidak” secara gamblang.

Saat itu, bahkan hingga saat ini, ia terlampau agung buat saya. Ia berasal dari keluarga religious. Ayah ibunya haji. Bahkan termasuk keturunan seorang wali keramat di Kebumen, Syekh Anom Sidakarsa. Ia aktivis PII berikut HMI. Pokoknya toplah. Sementara saya cuma kutu. Tak secuil pun riwayat kemuliaan melekat di dada saya, selain kesediaan menerimanya sebagai belahan jiwa.

Begitulah. Selang sebulan setelah peristiwa telepon-teleponan itu, tepatnya tanggal 10 Juli 2005, kami resmi berikrar di depan penghulu. Meski saya harus berulang kali menjawab “ya” atas pertanyaan ayahnya, yang berlaku sebagai wali nikah. Saya masih ingat, di tengah sorot mata teman-teman dan tetangga sekitar rumahnya, di Petanahan, Kebumen, saya mendadak kaku untuk mengucap sumpah. Kepala saya langsung pening, antara takjub dan bingung. Takjub, karena saya jadi seorang suami atas perempuan alim, tapi juga bingung kenapa sedemikian cepat proses menuju pelaminan ini. Kenapa tidak ada acara pacaran, atau main-main dulu ke manalah untuk mengitari Pulau Jawa. Benar-benar bingung, karena tiba-tiba masa “seenaknya sendiri” itu terhenti.

Di depan penghulu, saya serahkan maskawin seperangkat alat salat—maskawin yang teramat standar—padanya. Saya tidak tahu bagaimana perasaannya saat menerima, senang atau gemas, atau apalah, tapi yang jelas hingga kini seperangkat itu masih terjaga, dan acap ia pamerkan kepada saya tatkala meminta saya jadi imam salat malam.

Tiga atau empat bulan kemudian, ketahuan ia hamil. Lagi-lagi saya terlampau dungu, saya tidak tahu mesti bagaimana. Ia pun sama, tetap beraktivita sebagaimana biasa. Siang hingga sore, ia masih harus wira-wiri ke Unnes, kuliah S2. Saya mengantar dan menungguinya. Acap kali bantu mengerjakan tugas-tugasnya di perpustkaan kampus. Kami melakoni keseharian di sebuah kontrakan di Kampung Jambon, Ungaran, layaknya bulan madu. Sore, ketika senggang usai kuliah, padahal sering senggangnya ketimbang tidak, kami jalan-jalan mengitari Ungaran. Sebagai pemukim baru, tentu saja kami mesti paham lagi hafal seluk-beluk kota Ungaran dan sekitarnya. Kami tanjaki lereng Gunung Ungaran. Kami susuri desa demi desa yang mengitari Kota Ungaran.

Tapi, ah, memang begitu yang digariskan Tuhan. Ternyata calon anak pertama kami, tidak Ia izinkan untuk turut membersamai kami. Sang kecil gugur dalam kandungan. Saya syok. Ia pun muram. Akhirnya ia putuskan untuk tidak menyelesaikan kuliah. Ia berhenti, padahal tinggal kuliah akhir dan pengerjaan tesis.

Acara jalan-jalan, yang sempat jadi ritual saban sore, pun kami hentikan. Kami menjalani proses berkeluarga layaknya orang rumahan. Masih bertempat di kontrakan. Saya menyewakan dan jual keliling buku. Sedang ia buka bimbingan les privat baca Quran. Pelan-pelan keceriaannya pulih. Ia tak lagi memendam durja lantaran tak dipercaya Tuhan untuk mengasuh anak.

Lagi-lagi saya patut bersyukur, bahkan kualat sekira tidak. Ia lebih tegar. Kini, bersama Isa (yang berarti anak kedua) dan Rakai (sang bontot), kami mengayuh biduk keluarga penuh riang meski bersahaja. Ia sedikit pun tak mengeluh. Bahkan sekadar baju ganti atau kerudung pun, ia tak pernah menuntut saya untuk mengadakan. Termasuk urusan berbagi peran, domestik dan publik, ia tak menyoal. Benar-benar, bersamanya adalah surga. Anugerah tak bertara.

Rahma beserta anak-anak

Hmmm, saya masih teringat banget, ia begitu grogi menyentuh tangan saya saat acara foto-foto, usai menerima buku nikah, setelah berikrar di depan naib. Padahal sudah resmi sebagai suami-istri. Sudah sah untuk apa saja, apalagi sekadar berpegangan tangan. Sungguh, berdiri untuk foto dengan para handai taulan pun mesti saya papah. Entah, lantaran saking cinta atau sekadar haru, atau apa? Ah, tak soal, memang. Sebab, yang pasti ia, Rahma, tak bermanyun ria di hadapan saya itu sudah lebih dari cukup. Itu merupakan surga. Rahma merupakan rupa berornamen surgawi bagi saya. Dan, bagaimana mungkin saya tak bersetia padanya! Terlebih setelah kehadiran kedua biji mata, Isa dan Rakai.

Ya, surga saya itu bernama Rahma! Ia membimbing saya untuk tidak silau dengan gemerlap modern, dan segala sihir dari negara maju.

Post a Comment

0 Comments