Yang Luput Soal Sayyidah Aisyah


Buku karya Muhammad Said Ramadhan

Utsman terbunuh. Fitnah besar pun menyelimuti kaum muslimin tempo itu. Ali ibn Abi Thalib, pengganti Utsman, menerima getah kisah buram selama berabad-abad hingga hari ini. Kisah yang tak jelas, apa sebenarnya yang terjadi. Demikian pula yang mendera Sayyidah Aisyah, yang kerap dikisahkan memendam benci kepada Ali ibn Abi Thalib.

Benci yang bermula tatkala fitnah keji menimpa keutuhan Sayyidah Aisyah bersama kanjeng Nabi Saw. Aisyah diembuskabarkan oleh para munafik, berselingkuh dengan Shafwan. Madinah gempar. Namun, Allah menjaga kesucian Sayyidah Aisyah, turun ayat, surat al-Nur: 11-21, yang menandaskan bahwa kabar yang dibawa Abdullah ibn Ubay adalah dusta belaka. Kemudian kaum muslim yang turut menyebar berita hoaks itu pun dihukum cambuk, Hassan ibn Tsabit salah satunya.

Tapi, entah kenapa, spekulasi pascakabar dusta itu masih beredar dan bertahan hingga hari ini, bahwa hubungan Aisyah dengan Ali tidak baik. Terlebih kemudian, seolah terbukti benar, berkecamuk peristiwa Perang Unta, antara kubu Aisyah dengan kubu Ali ibn Abi Thalib. Perang saudara yang menelan korban tak sedikit.

Pertanyaannya, benarkah ada keretakan hubungan antara Sayyidah Aisyah dengan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib?

Menjawab pertanyaan tersebut, saya merujuk pada kitab ‘Aisyah Ummul Mu’minin karya Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Mengingat kapabilitas Syekh Muhammad Said al-Buthi yang terakui oleh dunia internasional sebagai ulama abad ini. Apalagi beliau kerap dijuluki sebagai Al-Ghazali abad XXI.

Dari paparan Syekh Said al-Buthi, tidaklah benar bahwa ada kebencian di hati Sayyidah Aisyah terhadap Ali ibn Abi Thalib terkait pascakabar dusta yang diusung Abdullah ibn Ubay. Terhadap Hassan ibn Tsabit saja, Aisyah menaruh hormat, padahal jelas-jelas turut menyebar fitnah keji tersebut. Tidak ada riwayat yang menuturkan bahwa Aisyah mendengki Hassan. Apalagi kepada Sayyidina Ali, yang selain sebagai sahabat utama Nabi Saw., tidak turut menyebar fitnah.

Adapun ungkapan Ali, “Wahai Rasulullah, masih banyak wanita yang bisa menggantikan posisinya di sisimu dan Tuan mampu melakukannya. Tanyalah kepada pembantunya, ia akan menyampaikan kabar tentangnya.”, jelas tidak menunjukkan tuduhan fitnah kepada Aisyah.

Ungkapan Sayyidina Ali, menurut Syekh al-Buthi, masalah yang mendera Nabi Saw. itu adalah lebih sebagai motivasi agar Nabi Saw. tidak memendam gelisah yang berkepanjangan. Ucapan Ali tidak berkaitan benar salahnya Aisyah. Karena mereka, baik Nabi Saw. sendiri maupun Sayyidina Ali, tahu betul siapa Sayyidah Aisyah, yang jelas-jelas lahir dari keluarga mulia, Abu Bakar Ashiddiq.

Nah, hari-hari tasyriq setelah Utsman terbunuh, para istri Nabi Saw. tengah menunaikan ibadah haji di Mekah, artinya Aisyah beserta para istri yang lain tidak sedang di Madinah. Pada saat bersamaan, di Madinah kaum muslimin telah berbaiat kepada Ali ibn Abi Thalib.

Di Mekah, selain para Ummul Mukminin, berkumpul pula para pemuka sahabat. Kemudian datang Ya’la ibn Umayyah, gubernur Yaman yang diangkat oleh Utsman ibn Affan. Juga Abdullah ibn Amir, gubernur Basrah, yang juga diangkat oleh Utsman. Mereka berdua sengaja menemui Ummul Mukminin mendiskusikan soal kematian Utsman ibn Affan. Dari situlah, Aisyah mengemukakan pendapat agar mereka menuntut kisas atas pembunuhan Utsman.

Orang-orang yang ada di Mekah menyambut seruan Sayyidah Aisyah tersebut. Lantas mereka bersepakat untuk memulai kampanye tuntutan di Basrah. Mereka juga sepakat untuk mengangkat Sayyidah Aisyah sebagai koordinator kampanye.

Setiba di Marbad, pinggiran kota Basrah, rombongan yang berjumlah ribuan di bawah kepemimpinan Sayyidah Aisyah beristirahat. Kemudian datang sepasukan dari Basrah yang dipimpin Hakim ibn Jabalah, salah seorang yang terlibat pembunuhan Utsman, membuat kisruh dan akhirnya terjadi perselisihan dengan pengikut Aisyah. Peperangan pun tak terelakkan. Pasukan Hakim terus merangsek, menyerang rombongan Aisyah.

Namun, apalah daya pasukan Basrah pimpinan Hakim itu melawan rombongan sahabat pimpinan Aisyah. Setelah pertarungan yang cukup sengit, barisan pasukan Basrah hancur porak poranda. Hakim sendiri terbunuh beserta 70 orang pasukannya.

Sementara itu, Ali ibn Abi Thalib r.a. mengalihkan perhatian dari Syam ke Basrah ketika mengetahui apa yang tengah berkemelut di sana. Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang Tuan kehendaki?”

Ali menjawab, “Tiada yang kuinginkan selain perdamaian.”

Singkat kisah, Ali mengutus al-Qa’qa ibn Amir, seorang pemuka Kufah, untuk menemui Aisyah di Basrah. Dan, di hadapan Aisyah, ia berkata, “Wahai Ibunda, apakah yang mendorongmu berjalan sejauh ini hingga tiba di sini?”

“Anakku,” jawab Aisyah, “sesungguhnya aku menginginkan perdamaian di antara umat.”

“Jika begitu, apa syarat yang diinginkan agar perdamaian itu terwujud dan bagaimana mewujudkannya?”

“Kami menginginkan orang-orang yang membunuh Utsman. Jika urusan ini diabaikan berarti kita mengabaikan perintah Al-Quran.”

Al-Qa’qa pulang menemui Ali dan melaporkan hasil diskusi dengan Aisyah. Ali sangat senang, karena ternyata ia dan Ummul Mukminin bersepahaman menghendaki perdamaian. Dan esok paginya, Ali beserta pasukan bergerak ke Basrah hendak menemui Aisyah. Di sisi lain, Aisyah juga bergerak hendak menyambut sang Amirul Mukminin. Akhirnya kedua pihak bertemu dan berhadapan.

Tidak ada peperangan antara keduanya. Mereka bersepakat menjaga perdamaian dan ketenangan di tubuh umat. Mereka sama-sama bersepakat bahwa segala urusan kisas atas pembunuhan Utsman diserahkan kepada Amirul Mukminin untuk menuntaskannya.

Lantas, pada malam harinya, kedua pihak beristirahat dalam ketenangan dan kedamaian. Mereka sama-sama menjunjung martabat Islam sebagai agama damai. Baik Ali maupun Aisyah, sama-sama menghendaki keutuhan perdamaian.

Namun, ternyata tidak semua orang dapat tidur tenang pada malam itu. Para perusuh yang terlibat dalam pemberontakan dan pembunuhan Utsman dilanda gelisah dan takut luar biasa. Mereka, yang sesungguhnya bukan bagian dari kedua kelompok yang merayakan perdamaian.

Malam itu mereka tak bisa tidur. Mereka adalah al Asytar al-Nakha’i, Syuraih ibn Awfa, Abdullah ibn Saba yang terkenal dengan sebutan Ibn Sawda, Salim ibn Tsa’labah, dan Ghulam ibn al Haitsam. Mereka merupakan para penyusup dan penebar fitnah, yang selanjutnya berhasil menghasut perselisihan antara pihak Ali dengan pihak Aisyah.

Menurut Syekh Muhammad Said al-Buthi yang mengutip catatan Ibn Katsir, di antara kelompok penebar fitnah itu tak satu pun sahabat Nabi Saw. Dan, di antara para penyusup itu, orang yang paling berbahaya, paling jahat, paling provokatif, adalah Abdullah ibn Saba. Dia bersama komplotan jahatnya menyusup dan bercampur dengan pasukan, baik di pihak Ali maupun Aisyah. Mereka mengobarkan peperangan. Dan, terjadilah kemudian, Perang Unta.

Sungguh keji upaya yang dilakukan Abdullah ibn Saba beserta penyusup jahat lainnya itu. Keadaan saat itu teramat kacau, dan sungguh di luar dugaan siapa pun, baik di pihak Ali maupun pihak Aisyah. Bayangkan, tatkala bangun tidur, orang-orang yang tulus dari kedua pihak, tergeragap tak mengerti, mendapati diri di tengah kecamuk peperangan yang sebetulnya buah rekayasa para penyusup. Pasukan loyal dari kubu Ali dan Aisyah tanpa sedikit pun mengetahui mengapa itu terjadi dan mereka hanya bisa mempertahankan diri dengan menyerang siapa saja yang datang menyerang.

Aisyah berseru lantang, “Wahai anak-anakku, hentikanlah, hentikanlah! Ingatlah Allah, ingatlah Allah, dan ingatlah Hari Perhitungan!”

Namun, kedua pihak tetap merangsek maju. Aisyah terus menyeru mereka menghentikan peperangan. Ali pun demikian. Akan tetapi, benar-benar teriakan Ali dan Aisyah tak mampu membendung dan memadamkan api perang. Masing-masing pihak terjebak untuk berusaha menyelamatkan diri dengan menyerang lawan, tidak bisa lain.

Syukurlah kemudian, tidak lama, walau darah telah tertumpah banyak, Ali berhasil mendekat menemui Aisyah dengan wajah cemas, “Bagaimana keadaanmu, Bunda?”

“Keadaanku baik.” jawab Aisyah.

Ungaran, 18 September 2021

Post a Comment

0 Comments