Abadilah Roelyta

 Rully Aminudin

Seusai mengudara dari Semarang, transit sebentar di Jakarta, siang itu, 3 Juli 2019 dan tepat pukul 14.05, saya tiba di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Balikpapan. Lantas lanjut ke Jalan Gajah Mada, tempat TBM An-Nissa beroperasi. Waktu tempuh untuk sampai ke sana tidak lebih dari 45 menit. Jelas, suatu perjalanan yang tak mengundang lelah. Terlebih Budi, relawan yang dikirim Roelyta, direktur TBM An-Nissa, untuk menjemput saya, sangatlah ramah. Ia banyak cakap. Banyak informasi yang benar-benar luput dari perhatian saya yang seyogianya saya kumpulkan terlebih dulu saat masih di Semarang.

“Tujuh puluh persen, Mas, di sini nanti akan jadi ibukota Negara!” tandas Budi sembari mengemudi mobil. Saya menyimak saja setiap tutur yang meluncur darinya. “Di sini ini multietnis, dan tingkat toleransinya sangat tinggi, Mas. Semua saling menenggang. Satu hal lagi, Balikpapan ini merupakan kota terbersih.”

Pernyataan terakhir Budi soal “kota terbersih” bukanlah isapan jempol. Sejauh mata memandang, jalan raya dan kanan kirinya serta rumah-rumah penduduk tampak asri, memang. Pengguna jalan belum sepadat di Semarang, dan kota-kota besar lain di Jawa.

“Kita masuk sini, Mas!” kata Budi yang dengan lincah mengarahkan mobil, masuk gang menuju Kelenteng Setiadharma. Sontak saya tertegun. Memasuki gang ini seperti memasuki kawasan pekerja seni. Seni lukis yang menutupi tembok-tembok pagar kosong sepanjang gang, begitu artistik. Sedap dipandang. Dari pangkal hingga ujung gang, mural, yang acap dianggap sebagai modus pekerja seni memasyarakatkan karya seninya pada publik, benar-benar telah mengestetisasi lorong gang ini. Tak ada tembok kosong yang luput dari sentuhan seni mural. Apalagi corat-coret vandalisme, yang kerap saya lihat di Semarang, sama sekali tak ada ruang di sini. Semua tembok tersulap menjadi media visualitas dan tematika mural yang bervariasi. Walhasil, seni gambar ruang publik telah membuat gang di Klandasan Ilir itu enak dipandang.    

Detik kemudian, saya sampai di TBM An-Nissa. Roelyta yang menyambut. “Kopi, Mas?” tawar Roely, begitu saya memasuki ruang tengah yang berjibun buku-buku. Saya mengiakan tawarannya. Namun, perhatian saya langsung larut mencermati deretan buku-buku koleksinya. “Sungguh luar biasa!” batin saya mengagumi judul demi judul buku yang tak biasa itu. Sebuah koleksi berkelas, yang layak menjadi rujukan para mahasiswa atau aktivis. 

Bayangkan saja! Di situ saya menemu seri Das Kapital, masterpiece Karl Marx, 3 jilid. Tiga buku tebal berkover merah, yang jarang beredar di pasaran buku. Saya juga mendapati seri Ensiklopedi Indonesia, yang juga tebal, 7 jilid, berjajar dengan buku-buku “berat” lainnya seperti Madilog, The Gulag Archipelago, Sejarah Dunia Abad Pertengahan, dan lain sebagainya.

Belum lagi buku-buku sastra terjemahan, yang saat ini lagi pengin saya koleksi, di rak pustaka milik Roelyta telah berderet macam: The Hobbit dan Seri Lord of The Ring karya JRR Tolkien, Huckleberry Finn, The Prince and The Pauper, dan karya-karya Mark Twain lainnya. Saya juga langsung silau oleh The Story of My Life Hellen Keller, termasuk pula karya-karya Jane Austen, Ernest Hemingway, Frans Kafka, Louisa May Alcott, Salman Rushdie, dan banyak lagi penulis top dunia. Singkat kata, Roelyta telah mengoleksi buku-buku berkualitas (meminjam istilah dari Charlotte Mason) living books.  

“TBM An-Nissa ini ta, Mas, kubikin tahun 2011.” terang Roelyta. “Sebelumnya, tahun 2006, tempat ini hanya ada PAUD. Dan, aku tak puas kalau hanya PAUD, maka TBM ini pun berdiri,” lanjutnya.

“Awal, buku-buku yang kumiliki sedikit, Mas, cuma ratusan gitulah. Alhamdulillah, seiring kepercayaan para sahabat, dan masyarakat di sini, mereka mendonasikan buku-buku koleksinya. Pun, aku juga berkesempatan bisa mencicil sedikit demi sedikit buku dari Gramedia.” tutur Roely seraya menyiapkan secangkir kopi buat saya.

Dengan melihat langsung koleksi buku yang dimiliki TBM An-Nissa, apa yang dikatakan Roelyta itu benar adanya. Kini buku-bukunya sudah mencapai ribuan. Dan bahkan bisa dikatakan: teramat lengkap untuk sekelas TBM. Terus terang, baru di TBM An-Nissa, saya menemu koleksi bacaan yang banyak, bahkan sangat banyak, dan berbobot. 

TBM An-Nissa pula, seolah hendak menghadirkan pemikiran klasik dunia, yang mau tak mau harus diakui sangatlah bergizi. Mulai dari ruang tamu, ruang tengah atau aula, ruang kerja, bahkan di dapur dan kamar mandi, Roelyta menghiasi setiap sudutnya dengan pajangan buku-buku terbaik. Buku yang tak akan habis menawarkan ide, mengembangkan imajinasi, kaya inspirasi, yang oleh penggiat CMid (Charlotte Mason Indonesia) dinamai living books. Buku-buku yang bak makanan segar yang sarat enzim, lezat, dan sehat. Dan tentu saja aman dikonsumsi oleh segenap kalangan. 

Sehingga tak salah, sekira Roelyta disebut sebagai pahlawan aksara. Ia telah mendedikasikan diri untuk memuliakan buku-buku, terutama sastra yang jadi minat saya. Buku yang menggugah ide dan tersaji dalam bahasa yang indah. Naratif. Tidak bertele-tele dalam segalon kata-kata lebay. Singkatnya: keberadaan buku-buku di TBM An-Nissa itu enak dibaca.

Rully Aminudin

Perjalanan Roelyta bersama TBM An-Nissa, ternyata tak berhenti hanya sebagai penimbun buku dan layanan baca. Tidak! Meminjam ungkapan Wien Muldian dalam presentasinya: tidak mandek di level generasi 1, 2, 3, dan 4, tapi bersiap menyambut “literasi 5.0”. Roelyta tidak semata sebagai kolektor buku, pengguna, dan berjejaring, tapi ia melaju untuk mencipta “lingkungan berkarya”. Roelyta terus bergeliat. Apalagi selaku ketua RT 9, di Klandasan Ilir, ruang geraknya pun kian terbuka lebar. Terhitung sejak tahun 2017, enam tahun perjalanan TBM An-Nissa, ia turut mencanangkan “Kampung literasi” di lingkungannya. 

Literasi yang Berlanjut

Kalau saya mengutip definisi “Kampung Literasi” dari buku Panduan Penyelenggaraan Kampung Literasi yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, 2017, bahwa Kampung Literasi merupakan kawasan yang digunakan untuk meningkatkan minat baca dan pengetahuan masyarakat, dan membentuk masyarakat pembelajar sepanjang hayat.

Kampung literasi di Balikpapan

Jelas, upaya Roelyta itu merupakan kerja pemberdayaan. Proses memberdayakan, di mana “daya” adalah kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak. Dan, ketidakberdayaan di ranah literasi ialah persoalan minat baca, akses pengetahuan masyarakat, serta kemauan untuk menjadi pembelajar yang literat.

Roelyta mengambil peran pemberdayaan di lingkungannya dengan turut serta mengusung program “Kampung Literasi”. Ia memperbanyak koleksi yang dimilikinya, dan kemudian membuat pojok baca di tiga titik warung makan. Ia membikin kotak buku, macam kotak pos, yang diletakkan juga di tiga lokasi kampung Klandasan Ilir. 

Seiring waktu, ia berkesempatan bermitra dengan P.T. Angkasa Pura 1, ia bikin sudut baca di pintu masuk bandara Balikpapan. Ia juga bekerjasama dengan Radio Onix 88,7 Fm, untuk menyiarkan gagasan-gagasan literatnya, terutama ide Kampung Literasi. 

Kemudian, tahun 2018, sepertinya Tuhan mendengar rintihan langitan doa-doa Roelyta, P.T. Pertamina, yang tak lain merupakan raja korporasi di Balikpapan, menggandeng Roely untuk memuluskan program kampung literasi. Akta kerjasama pun tertandatangani, dan Roely mulai bisa bernapas lega. Ya, kita mafhum bahwa di sana sini, seorang atau komunitas yang bergerak di ranah edukasi publik atau literasi itu biasanya hidup terseok-seok. Oleh karenanya, pelbagai bentuk sokongan, mulai dari empati perhatian hingga dana, sangatlah perlu demi kelangsungan eksistensi gerakan literasi. Tak terkecuali Roelyta.  

Syahdan, impian akan layanan literasi demi meningkatkan potensi kampung, mengangkat citra warga, dan sekaligus merekatkan etnis yang beragam, oleh Roelyta sebagai langkah awal dituangkan dalam wujud seni mural. Dan, P.T. Pertamina yang menyokong keuangan.

Seturut Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi kelima), mural adalah lukisan pada dinding. Yang secara umum, kita memahaminya sebagai seni lukis luar ruang, dalam hal ini adalah tembok-tembok kosong di area publik. Maka, acap kali seni mural disebut seni rupa publik.  

Lantas Roelyta mengundang 84 perupa, baik senior maupun yang masih pemula. Dibikinlah Mural Competition 2019, dengan tema: edukasi, literasi, dan kearifan lokal. Nah, dalam waktu 3 hari, pengerjaan seni mural itu pun selesai. Pemenang telah diumumkan. Dan, kini kita bisa menikmati kerja “semi kompetisi” dan gotong royong para perupa itu, mulai dari ujung gang masuk hingga akhir gang, dengan 43 jumlah karya seni mural yang, sekali lagi, sedap dipandang.

Seni mural telah membuat dinding-dinding, yang sebelumnya sekadar mengada sebagai tembok, menjadi tampak indah. Lebih jauh dari itu, program muralisasi ini turut memperindah wajah kampung Klandasan Ilir. Hunian pun jadi lebih humanis, lantaran seni rupa publik ini memang ditakdir Tuhan untuk memperkaya batin. 

Monumen Ingatan

Nah, kalau di Semarang ada Tugu Muda. Di Jakarta ada Monas, Tugu Pancoran, dan patung-patung lain yang berserakan, yang tiada lain ada untuk menandai keberadaan kota. Sebuah monumen yang memelihara ingatan publik. Dari situlah saya membayangkan keberadaan mural yang diinisiasi Roelyta di Klandasan Ilir, tidak sekadar praktik pengindah kota, tetapi memanusiawikan kota. Mural telah dan akan selalu menjadi penanda ingatan warga. 

Lebih terangnya, kita mafhum bahwa keberadaan seni mural di mana pun itu, senantiasa menerbitkan kebanggaan kolektif warga. Tembok-tembok kosong yang semula dipandang sambil lalu, lantaran mural, telah menyusupkan ke warga sebuah perasaan memiliki. Mereka menjadi acuh dengan lingkungan. 

Alhasil, muralisasi telah menumbuhkembangkan kepercayaan diri warga. Pelan, tapi kemungkinan pasti, juga akan menumbuhkan komunitas yang berwawasan lingkungan. Sekira hal ini pun tak maujud, paling tidak upaya Roelyta memuralisasi dinding-dinding sepanjang gang telah merangsangkan kegairahan estetik di setiap benak warga Klandasan Ilir. Roelyta telah menyulap kawasan tengah kota Balikpapan itu kian rupawan, memikat, dan memiliki nilai jual. Corat-coret yang biasa dianggap mengotori wajah asri kota, seni mural sukses membalik kelaziman. 

Aplikasi seni ini, di mana-mana, memang terbukti ampuh memeriahkan dan menyenikan rupa kota. Dan, Roelyta menangkap peluang bahwa mural merupakan ekspresi seni yang murah meriah dan demokratis. Tembok-tembok pagar, yang lagi-lagi sebelumnya tak menjanjikan, adalah kanvas yang sungguh tepat buat keindahan kota. 

pojok baca di sebuah warung

Begitulah! Pada akhirnya Roelyta, TBM An-Nissa dan kehidupan komunitas seni, serta literasi telah menemu ruang hidup yang tepat. Kampung Literasi maujud dalam gelimang karya, terutama kegiatan seni yang benar-benar bakal memperkaya batin.

Dengan kata lain, sebuah investasi yang tak biasa dari Roelyta. Sebab saya masih meyakini bahwa wujud manusia adalah perbuatannya. Manusia akan dikenang oleh kerjanya. Artinya, kerja bisa mengabadikan yang terbaik dari manusia. Dan, Roelyta telah menunaikan dharma hidupnya: menerbitkan perasaan bangga di sanubari warga, membangun ingatan publik, dan memprovokasi betapa buku tetaplah berharga, walau di tengah gelombang digital.

Maka abadilah Roelyta. 

Ungaran, 12/07/2019 

Baca juga: Muhammad Zuhri     

Post a Comment

0 Comments