Acap Lebih Bonek

Gajah Mada

Pembantaian itu. Panah-panah berhamburan memburu sasaran. Penduduk desa yang melakukan pepe, menjemur diri di bawah sinar mentari menuntut keadilan di alun-alun istana Majapahit, justru memperoleh sambutan kejam dari para prajurit.

Adalah Ra Pangsa, pimpinan kesatuan yang ditunjuk Ra Kuti,  tega menyapu bersih kawula Majapahit yang menjemput keadilan itu bak musuh berbahaya. Anak panah terus dilesakkan menyambar tubuh-tubuh tak berdaya. Satu demi satu orang-orang bergelimpangan. Ada yang sekadar kesakitan. Ada yang sekarat. Hingga ada yang langsung mati. Penduduk desa benar-benar tak menduga bakal disambut dengan cara tak biasa seperti itu. 

Ra Kuti memang beda dengan Jayanegara, raja kedua Majapahit. Pengganti Sanggramawijaya itu selalu mengundang siapa pun yang melakukan pepe ke Sitinggil Bale Witana untuk di dengar apa kemauannya. Sedangkan Ra Kuti bertindak sebaliknya. Ia mengusir bahkan hingga kejam membantai kawula yang saban hari hanya bergelut cangkul dan hasil tani itu dengan tombak dan anak panah. Singkatnya, rakyat desa (terpaksa) mati oleh tajamnya lidah penguasa, Kuti. 

Demikianlah saat itu, tahun 1319. Kekerasan melanda kehidupan Majapahit, yang disaksikan dan dicatat oleh Prapanca. Ia adalah juru warta, yang dengan pandangan mata dan pengalaman langsung berada di tengah-tengah konflik, akan selalu mencatat setiap kejadian dan dituturkan kembali dalam bentuk seloka kepada Gajah Mada. Gajah Mada, sang bekel dari pasukan Bhayangkara, dengan cermat menghimpun kekuatan untuk mengembalikan kekuasaan Jayanegara. 

Dan Langit Kresna Hariadi melukiskan kembali peristiwa berdarah itu dalam buku Gajah Mada. Pembantaian awal abad XIV di negeri patirtan. Peristiwa yang sungguh menyentak nurani. Saya tak habis pikir dan kehilangan kata untuk mengenangkan tragedi itu. Sedemikiankah latar belakang negeri ini? Dari pembantaian ke pembantaian. Kekerasan demi kekerasan, dan terus terukir dalam album harian hingga hari ini.

329 tahun kemudian, alun-alun berdarah kembali terulang. Amangkurat I, penguasa Mataram, membantai 6.000 ulama dan keluarga mereka. Ya, hari itu, juga di suatu siang yang terik pada tahun 1648, raja penerus Sultan Agung itu menitahkan kepada Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa, Tumenggung Suranata, dan Ngabehi Wirapatra untuk membunuh semua laki-laki, wanita, dan anak-anak –yang diduga berkomplot dengan Pangeran Alit, adiknya sendiri—yang menetap di wilayah Mataram. Enam ribu jiwa melayang, lagi-lagi oleh tajamnya lidah penguasa. 

Peristiwa berdarah seolah tak mau absen dari bumi nusantara, yang konon dianggap sebagai penggalan surga. Adalah Soeharto, yang meneruskan kekuasaan Soekarno, berhasil menciptakan horor yang hingga hari ini masih menyisakan trauma. 

Kekerasan berulang. Pembantaian kembali berlangsung, bahkan dalam skala yang lebih besar, pada 1965-1966 terhadap anggota dan simpatisan komunis. “Orang-orang yang dituduh terlibat PKI serta merta diciduk. Tidak peduli apakah dia sebenarnya bergabung atau tidak. Anak melaporkan bapaknya. Sesama saudara saling melaporkan. Pokoknya mengerikan. Jika kita tidak disukai, dengan mudah orang bisa memfitnah PKI, dan alamat hancur hidupnya dan seluruh keturunannya.” (Genduk, 2016, hal. 153)

Kekerasan karya Wijaya Herlambang

Sundari Mardjuki merajut novel Genduk dengan apik. Ia menyelipkan sekilas Gestok sebagai zaman geger antara kaum santri dan abangan. Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 menyebut: memang kesengajaan penguasa saat itu untuk mencipta suasana geger. Benar-benar saya terperangah. Ada jarak yang begitu jauh dengan cita-cita luhur. Negeri ini telah dan selalu menyaksikannya dengan darah. 

Sundari mengetengahkan “Iku zaman lagi geger antara kaum santri dan abangan. Rumit, Nduk. Bapakmu memang salah satu yang menjadi korban. Terus Gestok meletus pas umurmu setahun. Suasana tambah runyam. Geger lebih parah. Giliran wong abangan PKI yang jadi korban. Banyak yang diambil, tanpa tahu keberadaannya hingga sekarang. Kamu tahu Mbok Sujiyem yang rumahnya pinggir kali? Suaminya diciduk gara-gara ikut pertemuan dan baris-berbaris. Padahal suaminya itu ndak tahu apa-apa. Cuma ikut-ikutan. Tetapi nasibnya entah bagaimana.” (Genduk, hal. 151)

Genduk

Demikian menyedihkan. Dan kini kita (masih) hidup di sini. Di atas puing yang sebagian dibangun dari ritus kekerasan itu. Dalam situasi penuh konflik. Berebut perhatian. Indonesia, yang jelas-jelas bukan negara agama, tetapi selalu tersebut sebagai religius. Bahkan acap dikatakan adiluhung. Negeri super ramah. Negara yang lahir dan terbentuk dari dan oleh masyarakat plural, tetapi hingga kini tetap saja tumbuh subur gerakan antipluralisme. Identitas kelompok menguat. Di mana-mana bermunculan gerakan me-lokal. 

Sungguh betapa kekerasan. Dan pembantaian kepada yang tak berdaya. Kepada yang tak bersenjata. Kepada yang kecil kemungkinan memperoleh akses dan limpahan “berkah” dari penguasa. Dulu mereka dibasmi dengan menggunakan pedang, lemparan tombak dan anak panah. Terpancung di tiang gantungan. Kemudian dengan bedil dan oleh lemparan granat. Dan kini tersudut oleh lontaran fitnah, caci maki lantaran beda pilihan politik. Atau disisihkan karena dianggap menghambat pembangunan. Juga acap kali terciduk sebab bersikukuh pada tanah leluhur. 

Benar-benar ironi: Penguasa beserta aparatusnya justru bikin keder rakyat sipil. Pun begitu yang beridentitas selaku mayoritas malahan hobi mengumbar fanatisme mengeroyok kaum lemah. Bonek! Ya, penguasa acap berlaku lebih bonek ketimbang para bonek. 

Ungaran, 18/11/2021

Post a Comment

0 Comments