Brahmana dan Sudra Sekaligus

Kelas Baca Pram

Kau sedang menyudra atau membrahmana?”
“Dua-duanya sekaligus, Bunda, melayani dan mengajar melalui koran.”
“Takkan menyesal kau nanti tidak jadi satria?”
“Tidak, Bunda, sungguh tidak.”

(Jejak Langkah, Lentera Dipantara 2015, halaman 449)

Petikan dialog Minke dengan sang ibu dalam roman tetralogi Pulau Buru itu seakan penegasan pilihan hidup Pramoedya Ananta Toer. Pram melalui tokoh Minke, tak ingin menjadi satria, tak ingin masuk dalam lingkaran kekuasaan. Pram tidak ingin menjadi sebagaimana para leluhur Jawa, berebut kedudukan sebagai penguasa, yang menghela perubahan cukup dengan jari telunjuk. Berkuasa di antara semua manusia, di atas manusia. Dan Pram lukis Minke menolak kedudukan satria. Yang menampik kesempatan menjadi bupati menggantikan sang ayah. 

Pilihan menjadi brahmana dan sudra sekaligus, Minke aktualkan dengan mendirikan koran mingguan (kemudian berubah harian), Medan. Koran berbahasa Melayu milik pribumi, bukan punya Belanda atau Tionghoa. Melayani gugatan perkara yang menghajar pribumi, dibantu seorang ahli hukum, Frischboten, suami Miriam de la Croix. Medan sekaligus juga menjadi media propaganda organisasi yang dibentuk bersama Thamrin Mohammad Thabrie.

Begitulah. Membaca Jejak Langkah, saya disuguhi pemahaman sejarah yang hidup. Penuturan sejarah yang tak berkutat pada angka tahun dan kisah orang-orang besar. Pengetahuan sejarah yang tak dihiasi dengan haru biru kepahlawanan seorang tokoh. Sangat berbeda dengan pelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang sibuk dengan waktu kejadian, tapi menafikan sisi dalam manusia. Sejarah yang tanpa cita rasa kemanusiaan. Sejarah yang berjarak dengan sastra. 

Nah, Pramoedya menawarkan sejarah dibingkai dengan sastra. Ia urai peristiwa awal abad ke-20 dalam bentuk roman. Ia tulis awal kesadaran pribumi untuk berorganisasi dengan narasi. Ya, Pramoedya menyajikan karya sastra sebagai yang indah dan bermanfaat. Indah lantaran memilih kata yang tak asal comot, dan bermanfaat karena memupuk pemahaman yang semula asing. Sastra yang tidak sekadar untuk meninabobokan pembaca, tapi jauh yang lebih penting: membongkar kesadaran usang.

Memasuki awal Jejak Langkah, Minke bukan lagi sebagai pemuda Surabaya atau Wonokromo, melainkan masuk alam Betawi. Ia masuk Sekolah Dokter. Meski akhirnya gagal jadi dokter. Namun selama menempuh pembelajaran di Sekolah Dokter, banyak peristiwa penting menyertai. Pertama, diajak Ter Haar mengikuti acara yang diselenggarakan golongan liberal. Di situ ia bertemu Jenderal Van Heutsz, yang kemudian hari menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda menggantikan Gubernur Jenderal Rooseboom. 

Tidak hanya itu, Minke juga berkenalan dengan Marie van Zaggelen—seorang jurnalis yang peduli dengan perjuangan kebebasan pribumi. Kedua, bertemu dan menikah dengan Ang San Mei—perempuan Tionghoa dan aktivis Teratai Putih atau Pai Lian Chiao, organisasi rahasia melawan monarki Tiongkok. Ketiga, bersama Ang San Mei berlibur ke Jepara dan diskusi lama dengan Kartini. Keempat, mengikuti “kuliah” umum yang diberikan oleh alumnus Sekolah Dokter—pensiunan dokter jawakraton dari Yogyakarta. Pensiunan itu berseru: dirikan organisasi, sekarang juga. Bersatulah! Kelima, Ang San Mei meninggal dunia dan Minke pun gagal menjadi dokter.

Usai luput dari Sekolah Dokter, lantas apa yang Minke kerjakan? Lembaran baru pun ia mulai. Minke mendambakan kebebasan. Ia ingin jadi manusia bebas. Bebas dari perbudakan kolonial Eropa dan feodal Jawa. Bebas untuk memartabatkan pribumi. Bagaimana? Kata-kata Ter Haar, hasutan dokterjawa pensiunan, dan juga Mei: mulailah berorganisasi!     

Nah, Minke mulai dengan menyewa rumah gedung bersebelahan Sekolah Dokter. Ia ingin menarik perhatian dan mengumpulkan siswa-siswa calon dokter. Memulai organisasi dengan siswa-siswa sekolah itu. Dan hasilnya gagal. Para siswa belum punya kebutuhan berorganisasi. Kemudian ia pergunakan pola lama: berseru-seru mengajak dan memberi penerangan sekaligus. Namun pada siapa? 

Minke mengirim surat kepada para bupati, dan hanya empat orang mendukung. Namun  begitu didatangi malah berbalik tak sudi mendukung gagasan berorganisasi. Kemudian pilihan diturunkan satu tingkat. Bertemulah dengan Patih Meester Cornelis dan Thamrin Mohammad Thabrie. Mereka sepakat membentuk Syarikat Priyayi.

Seiring Syarikat Priyayi berjalan, Raden Tomo bersama teman-teman sesekolah (Sekolah Dokter) berhasil membentuk Boedi Oetomo. Syarikat Priyayi tak berumur panjang. Namun Medan, koran Syarikat Priyayi, tetap jalan. Malah ikut membikin Boedi Oetomo meluas dikenal seluruh Jawa.  Minke tak setuju dengan konsep Boedi Oetomo yang berbasis Jawa. Ia tetap mengidealkan Syarikat sebagai organisasi untuk Hindia yang berbangsa ganda. Sementara pokok persoalan Syarikat ada pada priyayi yang dari semula memang beku, dan tak membutuhkan organisasi. Priyayi merupakan golongan status quo yang takut mengambil risiko.

Tetralogi

Minke berpikir, mesti ada unsur pemersatu yang ampuh pengganti priyayi, yaitu: pedagang dan Islam. Dagang dan Islam memiliki landasan lebih luas dan mengikat, setidaknya begitulah pada awal abad dua puluh. Lantas terbentuk Sjarikat Dagang Islamijah, dengan Medan tetap sebagai media propaganda organisasi. Dibantu Prinses Kasiruta (istri Minke), Sandiman, Marko, Frischboten, dan Hadji Moeloek tiras Medan meluas. Sjarikat Dagang Islamijah pun turut meluas menjamah hampir semua pesisir luar Jawa.

Akhirnya, membaca Jejak Langkah tak lain adalah membaca Medan menangani kasus-kasus penderitaan pribumi. Medan memilih Bahasa Melayu yang praktis dan lebih sederhana. Medan menepikan Bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat dan menunjukkan pretensi untuk menyatakan kedudukan diri. Medan juga mengerem pemberitaan sekadar sensasi, yang klimaksnya tak dihiraukan oleh Marko, yang menyebabkan Minke ditangkap. 

Begitulah. Sekali lagi, membaca Jejak Langkah membaca Pramoedya menahbiskan diri sebagai seorang brahmana dan sudra sekaligus. Manunggal subyek dan obyek atau dengan kata lain saling memerdekakan. Tak membutuhkan sembah dan jongkok pada sesama manusia, yang lelaki tak membudakkan istri, yang perempuan tak menghamba pada suami. Seorang guru dan murid sekaligus. Penjaja impian hari depan, sekaligus sedia menempatkan diri di antara para pembelajar. 

Demikian.

Ungaran, 31/01/2016: 01.07

Post a Comment

0 Comments