Jalan Raya Pos

 Buku Pramoedya Ananta Toer

Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, judul karya Pramoedya Ananta Toer di rak buku saya. Bukunya tipis, 133 halaman dan hanya butuh sehari langsung menamatkan. Nah, saya bayangkan suatu saat Klub Pembaca Pram membaca bersama buku tipis itu sembari menyaksikan film dokumenter buatan Bernie Ijdis. Film perjalanan Jalan Raya Pos, yang bagian-bagiannya diisi suara atau ucapan Pramoedya Ananta Toer. Sensasi pembacaan yang mengasyikkan. 

Pram menulis Jalan Raya Pos, Jalan Daendels dengan gaya bertutur. Setiap kota yang dilalui, baik pernah maupun sama sekali tak tesinggahi Pram, diulas sekilas tentang potensi dan latar belakang sejarahnya. Sehingga buku ini bisa menjadi panduan dalam menulis catatan perjalanan. Menulis pengalaman singgah di suatu tempat dengan menyertakan kisah sejarah, menyertakan potensi yang melingkupi, dan karakter masyarakat. Dan dari penyisiran Pramoedya Ananta Toer itulah saya tertarik  merangkumnya.

Jalan Raya Pos dibangun Mr. Herman Willem Daendels rampung dan dipergunakan pada 1809. Jalan yang kerap disebut Jalan Daendels membentang  1.000 km mulai Anyer sampai Panarukan. Pram menyebut sebagai jalan raya terbaik dan terpanjang di dunia pada masanya sama dengan jalan raya Amsterdam-Paris.

Mr. Herman Willem Daendels memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos melalui penjatahan pada para bupati yang kabupaten dilalui jalan ini. Penanggungjawab teknis kerja rodi, yang tak dapat menyelesaikan jatah, digantung sampai mati di dahan-dahan pohon sekitar proyek. Tak terbilang jumlah pekerja mati karena kelaparan, lelah, dan malaria. Bagian terbesar jalanan itu sudah ada, dalam arti Daendels tak semua bikin baru. Daendels tinggal melebarkan sampai 7 meter. Namun semua batu untuk peninggian dan pengerasan jalan, rakyat kecil atau petani yang harus setor tanpa imbalan. Atau dengan imbalan, tapi tak mengucur ke rakyat kecil, karena terlebih dulu diambil oleh Residen dan atau Asisten Residen. Sudah jadi rahasia umum pada saat itu, orang-orang atasan memiliki kekayaan bertahta kejahatan, kebengisan, dan kekejaman terhadap petani kecil tak berdaya.

Jalan Raya Pos dibikin untuk akses pertahanan militer dari serangan Inggris. Maka tempat-tempat yang diperkirakan akan bisa didarati Inggris diperkuat dengan benteng. Ketidakberdayaan Belanda menangkis serangan di laut memaksa Daendels menggariskan sistem pertahanan darat. Dan jalan raya sepanjang utara Pulau Jawa mesti dibikin untuk menguatkan pertahanan darat. Kemudian penataan jalan raya dimulai dari Anyer. 

Pada 5 Januari 1808, Daendels menginjak tanah Anyer. Saat itu Anyer merupakan pelabuhan kuno, terletak pada bagian tersempit Selat Sunda, tempat bersandar kapal-kapal layar dari Eropa tujuan Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Cina, Jepang, dan Filipina. Tetapi Anyer yang didarati Daendels bukan Anyer sekarang, karena pantai dan beberapa desanya habis tersapu tsunami letusan Krakatau pada 1883. Sekarang Anyer terdiri: Anyer Lor (Utara) dan Anyer Kidul (Selatan). Anyer Lor itulah bekas Anyer sebelum tersapu Krakatau dan menjadi bandar internasional, serta saksi perlawanan rakyat melawan Kolonial Belanda, sebelum dan setelah Daendels. 

Sebagai bandar internasional dan ramai, tempat pertemuan kapal-kapal layar Cina, yang hendak pulang atau meneruskan pelayaran ke Barat, tidak aneh jika Daendels menduga tempat ini bakal menjadi pendaratan Inggris menguasai Jawa. Daendels mendirikan benteng yang cukup besar di Anyer.

Anyer merupakan bagian Kesultanan Banten, di mana rakyat setia pada sultan melawan penjajahan asing. Bila terdesak akan menyeberang ke Pulau Sangiang atau meneruskan ke Lampung, juga masih wilayah Kesultanan Banten. Pulau Sangiang terletak di tengah-tengah Selat Sunda oleh Belanda dinamai Dwars in den Weg Eiland (Pulau melintang di tengah jalan). Namun nama ini tak pernah ada dalam bahasa dan geografi Indonesia.   

Setelah Anyer, Jalan Raya Pos ke Cilegon, juga termasuk wilayah Kesultanan Banten. Untuk kepentingan pertahanan, Daendels membangun benteng di Merak, tapi gagal karena tersapu malaria. Kemudian masuk Banten Lama, pusat kesultanan Banten.

Dengan panji-panji Islam, Banten memperluas pengaruh dan kekuasaan ke seluruh Jawa Barat. Kekuatan Banten berhadapan dan tak bersedia gabung dengan Mataram mengusir Belanda dari Batavia. Dan Banten semasa pemerintahan Sultan Ageng abad ke-17 merupakan kerajaan pribumi pertama yang dengan sadar atau tidak menyerap kekuatan dari Eropa. Semua pelarian kompeni dari Batavia diterima dengan tangan terbuka, lantas dimanfaatkan untuk membangun Banten dengan teknologi Eropa. Tamansari Tirtayasa dan Masjid Raya Banten peninggalan yang masih tegak hingga sekarang. 

Dari Banten Lama, Jalan Raya Pos mengarah ke Serang, kemudian Tangerang. Tangerang semestinya ditulis dan diucapkan: Tanggeran. Tangerang dibelah oleh Ci Sadane, jadi perbatasan antara kesultanan Banten dengan Kerajaan Jayakarta. Dua puluh lima kilometer ke timur dari Tangerang, Jalan Raya Pos sampai Batavia. Semula Batavia adalah benteng yang dibangun dan diresmikan oleh Jan Pietersz Coen pada 12 Maret 1619. Dalam perkembangannya menjadi ibukota kerajaan Belanda di Asia dan Afrika, mengakhiri pelayaran liar kompeni, karena telah ada tujuan yang pasti. Batavia semasa Coen adalah Jakarta Kota yakni Kodya Jakarta Utara tanpa Kepulauan Seribu.

Batavia dibangun menurut pola kota Belanda dengan sejumlah kanal, jalan raya, dan gedung, termasuk pembangunan Jalan Raya Pos, tak lain dari sarana babak sejarah umat manusia dunia selatan sekarang untuk menjadi ladang dan tambang kemakmuran dunia utara. Batavia oleh Daendels diperluas lebih ke pedalaman. Dan untuk menangkal serbuan Inggris, pusat pertahanan ditarik lebih ke selatan Weltevreden (Gambir) ke Meester Cornelis (Mester/Jatinegara).

Nama Batavia hapus dari peta sejarah sejak pendaratan Jepang. Melalui keputusan pemerintah Jepang, Batavia diubah menjadi Jakarta. Dan Jalan Raya Pos membentang ke selatan sepanjang 22 km melalui Pasar Minggu, Lenteng Agung, Pondok Cina, sampai Depok. Lenteng Agung dan Pondok Cina dulu pernah berdiri megah sebuah kelenteng dan pemukiman penduduk Tionghoa. Sementara Depok semasa kompeni Belanda (VOC) milik C. Chastelein, anggota Dewan Hindia, yang dibeli seharga 700 ringgit. 

Dua puluh dua kilometer di selatan Depok, Jalan Raya Pos sampai Bogor. Semasa kolonial lebih dikenal dengan nama Buitenzorg, terjemahan dari Perancis, Sans Souci berarti: tanpa beban pikiran, santai saja. Pembangunan Jalan Raya Pos dari Batavia sampai Bogor diberitakan lancar. Kemudian meninggalkan Bogor masuk daerah Priangan. Hanya menuruni beberapa kilometer lereng timur Gunung Gede sampai ke Cianjur. 

Dari Cianjur ke timur sejauh 40 km Jalan Raya Pos mendatar dan mendaki lagi memasuki Padalarang. Barang tiga kilometer kemudian ke tenggara sampai Cimahi. Lantas Bandung. Sekitar empat puluh kilometer ke timur, sedikit serong ke timur laut, Jalan Raya Pos sampai Sumedang. Daendels dalam pembangunan di Sumedang menghadapi banyak kesulitan dengan penguasa pribumi terutama bagian Cadas (Jurang) Pangeran. Dalam pembangunan jalan inilah kali pertama ada angka 5.000 orang mati.

Meninggalkan Sumedang, menjulur berkelok dan bertikung ke timur, kurang lebih 100 km ke Karang Sembung, titik akhir tahap pertama pembangunan Jalan Raya Pos. Namun sebelum jalanan ke Karang Sembung selesai sepenuhnya, Residen Cirebon (Chirebon) memohon pada Daendels agar pembangunan diteruskan sampai ke ibukota Karesidenan Cirebon.

Dari Cirebon, Jalan Raya Pos mulai memantai pesisir laut Jawa, masuk Losari. Meninggalkan Losari memasuki Jawa Tengah, 30 km sampai Brebes. Kemudian berturut-turut menyusuri: Tegal, Pekalongan, Batang, Weleri, Kendal, dan Semarang. 

Mencapai Semarang, Jalan Raya Pos meninggalkan pantai utara karena tertumbuk rawa-rawa pantai. Maka dilengkungkan ke tenggara dan tidak langsung membelah kota Semarang. Sekitar 28 km sedikit serong ke timur laut, Jalan Raya Pos mencapai Demak. Kemudian menyusur ke timur: Kudus, Pati, Juwana, dan Rembang.

Sekitar 55 km memantai agak serong ke tenggara, Jalan Raya Pos sampai Tuban. Tujuh puluh lima kilometer ke timur, Jalan Raya Pos mencapai Sidayu atau Sedayu. Kemudian lima kilometer di selatan Kota Sidayu, Jalan Raya menyeberangi Bengawan Solo, dan barang 22 km ke selatan sampai Gresik. Sebuah kota tua termasyhur dengan adanya makam Malik Ibrahim. Tujuh kilometer dari Gresik ke selatan sampailah Surabaya, sebuah bandar yang dikenal Ujung Galuh. 

Beberapa kilometer saja dari Surabaya, Jalan Raya Pos sampai Wonokromo. Di Wonokromo Jalan Raya Pos menyeberangi jembatan panjang yang membentang Kali Brantas. Dari Wonokromo, 18 km ke selatan sampai Sidoarjo, terus menyusur hingga Porong. Dari Porong, Jalan Raya mulai menikung ke timur sampai Bangil, dan Pasuruan (Pasuruwan dalam arsip kompeni, dan Passarouang ejaan Inggris). 

Tiga puluh kilometer menyusuri pantai selat Madura sedikit serong ke tenggara sampai Probolinggo. Awal VOC, Probolinggo pernah dijadikan ibukota Provinsi Oosthoek (Jawa Timur). Dua puluh dua kilometer ke timur, Jalan Raya Pos sampai Kraksaan. Dan ke timur lagi sampai Kota Besuki. Dua puluh delapan kilometer  menyusuri pantai arah sedikit timur laut, Jalan Raya Pos sampai terminal Panarukan. Panarukan pada masanya menjadi pelabuhan terpenting di bagian tertimur pantai utara Pulau Jawa. Dan di sinilah titik henti terakhir Daendels memaksakan proyek ambisius untuk menangkis serangan Inggris. Proyek pembangunan yang muncul dalam benak Daendels sewaktu perjalanan darat pada 29 April 1808 dari Buitenzorg ke Semarang dan Oesthoek. Pada 5 Mei 1808, keluarlah keputusan pembangunan yang lantas memakan kurban 12.000 orang. Selebihnya silakan baca sendiri Jalan Raya Pos, Jalan Daendels!

Ungaran, 09022016-15/11/2021

Post a Comment

0 Comments