Jangan Cupet Deh!

 Di sebuah acara literasi

“Kenapa Tuhan harus turun menjadi manusia, supaya manusia bisa naik ke tingkat ketuhanan”. Kata-kata yang dikutip Budhy Munawar Rachman (di beranda facebook-nya) ini bikin kita damai. Sebagaimana Budhy, saya pun terpesona.

Ungkapan yang mengingatkan saya akan Frithjof Schuon. Dalam bukunya, Islam & Filsafat Perenial, Frithjof mengulik istilah kebenaran dan kehadiran. Kristus adalah kehadiran dan kebenaran. Kristus adalah Perwujudan dari Yang Mutlak. Dan Perwujudan dari Yang Mutlak itu identik dengan Yang Mutlak. 

Muhammad Zuhri melukiskan Kebenaran dan Kehadiran dalam potongan sajak di Secawan Cinta:

Lewat keperawanan Maryam
Dari jamah nafsu insan
Sabda menjadi manusia

Lewat kemurnian Muhammad
Dari jamah budaya insan
Manusia menjadi Sabda

Kita tahu, Maria adalah bunda yang perawan. Sedang Muhammad (Saw.), seorang buta huruf, ummi, dan yang cuma diilhami oleh Tuhan serta tidak menerima apa pun dari manusia. Mereka perantara Tuhan untuk kehadiran sekaligus kebenaran: Yesus Kristus dan Al-Qur’an al-Karim.  Lantas Sang Perawan Maria dan Nabi Muhammad Saw. itu menjelma sebagai sosok feminin: Bunda Maria yang berbelas kasih, dan Muhammad sang kunci rahmat Allah.

Perawan Maria yang suci dari dosa, telah mengandung dan melahirkan Yesus. “Sabda menjadi manusia”, kebenaran disatukan dengan kehadiran. Muhammad Saw., lahir dari kalangan terhormat yang relatif miskin, penerima pesan dari Allah. “Manusia menjadi sabda”, dan risalahnya menyebar dalam beragam tafsir. Sehingga, saya dibikin mengerti, bahwa kebenaran itu pun tidak tunggal.

Teks Suci Bukan Prosa

Teks Quran selalu dibuka, kecuali At-Tawbah, dengan: “demi Tuhan yang penuh kasih dan sayang”. Ia tersaji bersama alam puisi yang sarat simbol. Martin Lings, dalam buku Muhammad menjelaskan, ketika teks suci ini turun, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Mekah itu puitis. Dan memang, keindahan berbahasa merupakan dambaan setiap orangtua Mekah terhadap anak-anak mereka. Nilai seseorang dilihat dari kefasihan dalam bertutur kata, serta puncak kefasihan itu adalah puisi.

Logis saja, Al-Quran bekerja dengan bahasa simbol, rasional, tapi kaya dengan bela rasa. Tuhan seperti sengaja menghidangkannya sebagai wujud keunggulan dalam bertutur. 

Utbah bin Rabiah, pemuka cerdas Bani Abdul Syam, dan penentang Muhammad Saw. Namun begitu Nabi Saw. membacakan ayat yang baru beliau terima, pikiran Utbah dipenuhi kekaguman terhadap kata-kata itu. Ia terpesona oleh keindahan bahasa yang mengalir ke telinganya. Hal yang sama, dialami Thufayl, penyair dan orang terpandang dari Bani Daws. 

Maka, karena dunia simbol, saya kira tidaklah lazim kalau umat Islam itu bersikap kaku. Berbahasa dengan formula serba mutlak, dan yang hanya mendasarkan diri di balik kepastian makna teks.

Sepantasnya teks-teks Quran, dipahami bukan sebagai produk jadi yang tinggal pakai, itu ditabrakkan dengan kenyataan. Ada kontekstualisasi. Ada objektivikasi. Tidak serta merta langsung jadi hukum sosial. 

Nah, adalah Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, seorang fanatik Islam abad ke-18. Ia mencampakkan filsafat, tasawuf, puisi, seni musik, dan teori moral dalam beragama. Menurutnya, segala sesuatu yang tidak datang dari wilayah Arab itu patut dicurigai. Sufisme dari Persia, maka harus ditolak. Juga filsafat dari Yunani dan Barat.

Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab meyakini: Islam itu sederhana, dan sebagai jalan lurus, asal mengimplementasikan teks Al-Qur’an dan Sunnah secara literal, tidak perlu tafsir yang rumit-rumit dengan menggunakan pelbagai pendekatan ilmiah, Tidak usah ada kontekstualisasi, juga tidak perlu objektivikasi, serta menaati praktik ritual kudu semurni-murninya. 

Jauh sebelum Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, pada awal Islam tahun 661, ada kelompok ekstrimis yang melancarkan aksi atas kemelut antara kelompok ‘Ali di Madinah dan kelompok Mu’awiyah di Damaskus. Kelompok ini kemudian terkenal dengan sebutan kaum Khawarij. Bahkan mereka berhasil membunuh ‘Ali. Namun gagal melenyapkan Mu’awiyah, yang berhasil melindungi diri. 

Kaum Khawarij memusuhi siapa saja yang bukan golongannya. Mereka mengembangkan konsep “hijrah”, bahwa setiap orang Islam harus berpindah dan bergabung dengan golongan mereka. Jika tidak, maka akan diperangi.

Khaled Abou El Fadl, dalam buku Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, menggambarkan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan pengikutnya ini sebagai Khawarij Islam modern. Mereka mendorong umat Islam untuk kembali pada Islam yang asli dan murni. Islam yang dicipta oleh Nabi Saw, para sahabat, dan tabiin. Mereka menolak seluruh pengalaman sejarah selain era Nabi Saw. dan sahabat. Mereka tak mempercayai demokrasi. Mereka juga (sekali lagi) menampik puisi. Menolak segala upaya berbela rasa dengan ungkapan sastrawi.

Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu

Sukma, putri Presiden pertama RI, membacakan puisi itu pada acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya, 28 Maret 2018. Puisi itu langsung menuai kontroversi karena dianggap melecehkan Islam. 

Benarkah Sukma  telah melecehkan Islam? Saya tidak tahu persis motif Sukmawati. Saya cuma memahami bahwa syariat berbeda dengan fikih. Syariat itu kehendak Tuhan yang ideal dan bersifat abadi. Sedang fikih adalah hasil dari upaya manusia memahami kehendak Tuhan.  Suatu pemahaman dan pelaksanaan syariat. 

Cadar, sebagai kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan), dikaitkan dengan ayat 59 surat al-Ahzab, yang memerintahkan kaum perempuan umat Nabi Muhammad untuk mengulurkan jilbab. Kembali saya mendasar dari penjelasan Khaled Abou El Fadl (dalam buku Atas Nama Tuhan) bahwa ayat itu turun karena merespon problem khusus: pelecehan kepada  kaum mukminat dari para pemuda Madinah, yang menganggap sama dengan perempuan budak. 

Artinya perintah itu karena persoalan pembedaan antara perempuan budak dan perempuan merdeka, dan persoalan gangguan, seperti bunyi ayat: “agar mereka lebih mudah untuk dikenali (sebagai perempuan merdeka), sehingga mereka tidak diganggu.” 

Lantas bagaimana memakai jilbab? Cara memakainya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan perempuan dan adat mereka. Persis sebagaimana menyanggul rambut atau berkonde. Baik berjilbab maupun berkonde, sesungguhnya mengikuti perubahan dan selalu berkembang.

Jadi, model busana abad VII yang agraris, itu jelas berbeda banget dengan model kekinian yang serba cepat, tentu saja. Maka, tidak usah rusuh, berasa paling syariat, paling dekat Tuhan, paling benar. Dan ingat: Tuhan tidak berbicara dalam prosa.

Cukup Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan pengikutnya saja yang gemar berlaku literal. Kita jangan! Sebab kita, yang muslim, adalah pengikut Muhammad Saw, sosok yang penuh toleran dan sangat penyabar. Pribadi yang dapat dipercaya. Beliau adalah tetangga yang baik, selalu menghindari pertengkaran. Beliau tak pernah mengucapkan kata-kata makian. 

Beliau adalah penyembah yang tulus tunduk kepada Tuhan. Beliau penuh cinta kepada sesama makhluk. Maka, terasa aneh saja, sekiranya kita para pengikut beliau justru tidak lagi berjuang untuk menjaga harum nama beliau. Tapi sebaliknya, malahan menjadikan ajaran beliau tampak menjemukan dan suram, serta seram.

Jangan cupet deh!

Ungaran, 08/11/2021

Baca juga: Saya Memahami Islam

Post a Comment

0 Comments