Imam Ibnu ‘Athaillah menjelaskan secara rinci tentang keterhijaban dalam sepuluh sisi. Pada bagian pertama beliau mengatakan, “Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia yang menampakkan segaa sesuatu?”
Kita mafhum, segala sesuatu adalah makhluk. Dan makhluk adalah bukti adanya Allah. Lantas bagaimana bukti adanya Allah itu justru menjadi penghalang adanya Allah?Kita berpijak bahwa makhluk itu semula tidak ada. Sehingga adanya makhluk menunjukkan adanya yang membuat ada, yakni Allah. Jika tidak ada yang membuat, maka sesutu itu pun tidak akan pernah ada. Jika Allah tidak ada, makhluk pun mustahil ada.
Kembali pada pertanyaan keheranan sang syekh, bagaimana makhluk (sebagai bukti adanya Allah) bisa menjadi penghalang kita untuk mengetahui Allah?
Jawaban kita adalah pertanyaan balik, yang juga karena heran, “kenapa terhalang?”
Kita simpan dulu kesimpulan dari jawaban “kenapa terhalang”. Kita susuri saja lagi ungkapan hikmah Syekh Ibnu ‘Athaillah selanjutnya pada bagian kedua, “Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu?”
Bagian sebelumnya, Syekh Ibnu ‘Athaillah menunjukkan bahwa segala sesuatu ada karena ditampakkan (dicipta) ada oleh Allah. Adanya makhluk menunjukkan adanya Sang Pencipta. Sedang bagian kedua, segala sesuatu berperan atau bertugas sesuai dengan kepengaturan Allah, tidak bisa bekerja sendiri-sendiri yang terlepas dari peran Tuhan.
Ada sistem yang bekerja di balik makhluk, dan sistem ini mustahil ada kalau bukan Allah itu sendiri yang bekerja. Ada sistem gravitasi, ada perputaran siang menjadi malam, ada sistem fotosintesis, ada angin, ada awan yang berarak, burung-burung berkicau dan beterbangan, ada wangi semerbak di bunga kemuning, ada hijau daun.
Dalam diri kita pun juga terhampar sistem organ yang bekerja, yang juga mustahil bukan Allah yang menggerakkan. Jantung dan paru-paru, pendengaran dan penglihatan, perasa dan otak, dan sebagainya.
Intinya, segala makhluk ada dan berperan lantaran Allah yang menjadi penyebab keberadaan dan bekerjanya segala sesuatu tersebut. Allah di balik sistem semua ini. Maka, sebagaimana keheranan sang imam ketiga tarekat Syadziliyah, “bagaimana mungkin Allah tidak kita ketahui, padahal Dialah yang menggerakkan ini semua?”
Dan jawaban kita, masih dengan pertanyaan balik, “kenapa terhalang?”
Kemudian kita berlanjut pada bagian yang ketiga, “Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu?”
Hikmah ini menandaskan bagian sebelumnya, Tuhan melalui sifat-Nya tampak nyata dalam segala sesuatu. Bahwa kesempurnaan Tuhan tampak pada kesempurnaan makhluk-makhluk-Nya.
Allah pun telah mengingatkan dalam ayat-Nya, “Sungguh di dalam penciptaan langit dan bumi, dalam perbedaan malam dan siang merupakan ayat-ayat kebesaran Allah bagi mereka yang berpikiran cerdik. Yaitu mereka yang selalu ingat Allah pada waktu berdiri, duduk atau berbaring; mereka selalu berpikir tentang ciptaan langit dan bumi; mereka akan berkata akhirnya: Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini sia-sia, Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari siksa neraka.” (Ali Imran: 190-191).
Jadi, alam semesta menampakkan sifat-sifat Allah, maka bagaimana mungkin semua itu bisa menghalangi kita untuk menyaksikan-Nya? Lagi-lagi kita pun juga bertanya: kenapa terhalang?
Pada bagian keempat, Syekh Ibnu ‘Athaillah mengungkapkan, “Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu?”
Padahal Allah telah menjelaskan, segala sesuatu tanpa kecuali itu bersujud kepada-Nya. Artinya segenap makhluk mengerti kekuasaan Allah, mengerti pengaruh-Nya, sehingga semua taat pasrah kepada-Nya. Hanya memang, tatkala menyinggung manusia, itu jadi berbeda bahwa ternyata kebanyakan kita “lebih memilih azab-Nya”. Keadaan manusia begini yang barangkali kemudian dirujuk sang imam.
“Tidakkah kau lihat bahwa kepada Allahlah bersujud segala yang ada di seluruh langit dan seluruh yang di bumi, demikian pula matahari, bulan, bintang-bintang dan gunung-gunung, pepohonan dan binatang-binatang melata dan banyak juga dari manusia! Namun banyak pula manusia yang pantas mendapat siksa.” (Al-Hajj: 18).
Sang syekh heran dengan tabiat manusia, yang seolah menganggurkan kemampuan memandang Tuhan, karena lebih memilih menjauh dari-Nya. Padahal Tuhan jelas-jelas bekerja di balik segala yang ada di hadapan kita. Angin yang terus mengembus, dan hidung kita yang bekerja baik menghirup oksigen, dan seterusnya.
Bagian selanjutnya, Suekh Ibnu ‘Athaillah menuturkan, “Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak sebelum keberadaan segala sesuatu?”
Jelas bagi kita, Allah sang pencipta, berarti ada sebelum segala sesuatu yang tercipta. Berarti juga segala sesuatu itu bersifat baru. Sementara Allah bersifat ada yang tidak ada kebaruan, tapi juga bukan berarti “sudah tidak baru lagi” atau kedaluwarsa. Allah terbebas dari sifat dunia: ada awal ada akhir.
Syekh Ibnu ‘Athaillah melanjutkan, “Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu?”
Ya, sejatinya Dia lebih tampak, maka Ia pun (seakan) tersembunyi. Persis pepatah “gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak.” Itulah kenyataan, segala yang sesungguhnya tampak itu sekilas tersembunyi. Mata kita bekerja, bisa melihat segala yang ada karena ada cahaya Ilahi di kelopak mata, dan kita tidak bisa melihat cahaya tersebut, padahal sesungguhnya ada.
Karena cahaya itu tersembunyi di balik mata, dan mata (dan semua indra manusia) hanya bisa merespon yang ada di depan, bukan yang di belakang atau di balik indra. Kita mendengar sesuatu yang datang di luar. Kita mencecap sesuatu yang datang dari luar. Kita mencium sesuatu yang di luar, bukan yang di belakang hidung, dan begitu seterusnya.
Nah, yang bekerja di balik segala itu adalah Allah, sehingga tampak tersembunyi, padahal Ia yang sejati menggerakkan.
Bagian selanjutnya, “Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yang bersama-Nya?”
“Esa tanpa ada yang bersama-Nya” berarti tiada sesuatu yang menyamai Allah, bukan adanya segala karena Allah. Dan, hal itu jelas pula, sebagaimana ungkapan sebelumnya, segala sesuatu sebelumnya tiada, kemudian Allah mengadakan. Allah mengatur hukum-hukum padanya. “Allah, tiada Tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus-menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Al-Baqarah: 255).
Juga zikir saban hari kita, la haula wala quwwata illa billah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.
Maka, mari kita renungkan terus-menerus keheranan Syekh Ibnu ‘Athaillah ini, seraya membatin “kenapa terhalang”, niscaya kita pun pelan-pelan waspada.
Begitu.
Ungaran, 07/11/2021
Baca juga: Jangan Lengah
0 Comments