Lebih Sering Oportunis

Bersama si ragil

Assalamu alaikum…” suara lembut seseorang seraya mengetuk pintu rumahku.

Kum salam.” jawabku tergesa. 

Kubuka pintu, dan berdiri Bu Rita, tetangga kompleks. “Ini ada titipan dari Bu Nurul, Pak, aqiqah.”

“O, nggih maturnuwun, Bu.”

Ia berlalu. Aku tercekat, dan tanpa sadar cukup lama berdiri mematung di teras. “Gustiii…! Engkau sungguh Maha Mengerti.” batinku.

“Dapat lagi, Yah?” kata Rakai sambil menuntun sepeda dari dalam hendak ke musala, ngaji TPQ. “Tadi kan sudah, Yah?”

“Ya, tadi itu dari Om Kholis. Yang ini dari Bu Nurul. Berarti nanti malam kita nggak jadi ke Angkringan Kembang ya!”

“Kok begitu?” balas si ragil sambil melesakkan jemari tangan kiri ke atas rambutnya. Ia diam. Ia sandarkan sepedanya di badannya. 

“Udah sana ngaji dulu!”

Ia menaiki sepedanya juga, meski dengan bersungut-sungut. Ya, hari ini Rahma ke Jakarta, tapi bukan dalam rangka reunian ala monas itu lho. Ada acara mendadak dari yayasan tempat ia kerja. Nah, sebagaimana biasa, tatkala Rahma tidak di rumah, untuk urusan gizi makan aku pasrahkan pada Pak Naim, yang buka warung soto di depan SMP 2 Ungaran. Soto racikannya enak. Dan Rakai ketagihan. Atau juga ke Angkringan Kembang untuk menu malam, sama: Rakai pun ketagihan.

Masih terbayang, tadi pagi, begitu ia buka mata, langsung menagih: “Ingat lho, Yah, sotooo…!” Ia ucapkan itu sembari cengar-cengir.

Ah, anak ini tidak paham, batinku. Jelas-jelas hari ini PR-ku banyak. Dan semua menuntut cepat selesai. Sehingga aku malas keluar rumah.

“Tapi pagi ini aja ya! Nanti siang makan di rumah. Ayah akan masak.”

“Ya nggak papa.” Jelas nada bicaranya tak puas. “Tapi nanti malam tetap ke angkringan lho, Yah!”

Jadilah, pagi tadi kami sarapan di Warung Soto Pak Naim. Memang soto Pak Naim ini luar biasa. Rasanya begitu nendang.

Kemudian, siang usai zuhuran, ia kembali menanyakan: “Kita makan di mana, Yah?”

Hahaha…aku paham maksudnya. “Di rumah!” jawabku tegas.

“Udah masak?”

“Belum.”

“Kapan?”

“Oke, sekarang Ayah masak.”

Aku bergegas ke dapur. Namun, belum juga aku sentuh seabrek peranti masak (aslinya cuma panci, cerek, dan wajan aja sih, tak ada lagi yang lain), lamat-lamat terdengar suara mobil berhenti depan rumah. Siapa ya? 

“Ayah, ada Om Kholis!” teriak Rakai dari ruang depan.

Aku cepat-cepat ke luar dari dapur. “Oalahhh…apa ini?” tanyaku, begitu karibku itu menyerahkan dus kecil.

“Aqiqah Rara, Mas. Aku langsungan ya!”

Begitulah. Makan siang kami pun terselamatkan oleh kehadiran kotak aqiqah dari sahabat karib. Lantas bagaimana dengan ritual menu malam? Di depanku ini sudah ada kotak aqiqah juga, dari Bu Nurul. Atau tetap meluluskan keinginan si ragil ke Angkringan Kembang. 

Ah, sebentar, tunggu Rakai balik dari musala. 

***

“Mike itu salatnya di Gereja ya, Yah?” tanya ragil menunjuk rekan sebayanya, yang kebetulan tetangga persis, mepet omah. Malam ini kami tengah bersantai di teras rumah, usai menuntaskan jatah makan malam berkat aqiqah dari Bu Nurul.

“Ya, Nak, ia sembahyang di Gereja. Emang kenapa?”

“Nggak apa-apa.” Rakai diam sejenak, “Oh iya, Yah, kenapa agama kita beda dengan dia? Kan bagus kalau sama. Bisa barengan ke musala.”

“Agama di Indonesia ini kan tidak hanya Islam, Nak. Banyak dan berbeda. Sekitar tahun 200 dan 300 agama Hindu dan Buddha datang dari India. Tahun 600 hingga 1200-an datanglah Islam dari Arab, India, dan China. Saat bersamaan, masuk pula Konghucu. Kemudian sejak tahun 1500-an datang Kristen dari Eropa. Malah jauh sebelum itu, sudah berkembang agama Cigugur, dan agama Buhun di Jawa Barat. Kejawen di sini. Agama Kaharingan di Kalimantan. Dan masih ada yang lain. Banyak kan?”

Rakai diam. Matanya menerawang, tampak memandangi pot-pot bunga.

“Udah nggak usah bingung. Yang penting sekarang gini: kita jangan menghina mereka, karena kita juga pengin tidak mereka hina. Ya kan? Kita menyayangi mereka seperti ayah-bunda menyayangimu. Seperti  kakak Isa sayang kamu. Seperti saat ini kamu menyayangi Pushkin, kucing barumu itu.”

Rakai beranjak meninggalkan beranda, masuk ke kamar tidurnya. Aku lemparkan pandanganku ke arahnya hingga dia menghilang di balik tembok kamar. Aku merasa dia kecewa, karena malam ini tidak jadi ke Angkringan Kembang. 

Rahma masih di Jakarta. Sementara Isa mondok di Pesantren Magelang. Sehingga, praktis berasa sepi malam ini, karena hanya berdua. Rasa bersalah sontak meneror pikiranku lagi. “Rakai pasti kecewa! Tadi itu hanya pengalihan rasa kecewanya dengan sok bertanya ini itu soal keragaman agama.”

Aku pelan-pelan menuju kamar tidurnya, tidak sampai masuk, hanya mengintip dari jendela. Benar dugaanku. Rakai tak memejamkan mata. Dia terjaga. Dia hanya duduk sambil memeluk bantal menatap almari. Jelas sekali dia sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Entahlah, apa yang sedang berkecamuk dalam benaknya. Namun, kuat dugaanku, dia belum bisa menerima perintahku untuk menunda ke angkringan. 

Aku membayangkan diriku dalam seusianya. Sebagai anak ragil, yang segala limpahan kasih sayang begitu gampang mengucur kepadanya. Namun, sekadar sesekali pengin makan enak saja, padahal tidak terlampau mahal, mesti tertunda. Duuuh, sangat tidak mengenakkan. 

Aku yakin Rakai sedang berpikir keras, kenapa Ayahnya lebih sayang kepada Isa, si kakak. Mengapa sang Bunda juga kerap kali lebih menunjukkan rasa keibuan kepada sang kakak. Buktinya, segala permintaan kakaknya dipenuhi. 

Aku mencoba memahami bahwa sebetulnya Rakai ingin sekali membantah, tapi ia tidak berani. Karena itu ia diam saja. Ia menerima saja. Namun, tampak dari raut mukanya, ia menahan rasa tak puas yang menggelegak di dalam hatinya. 

“Belum tidur?” aku masuk ke kamar tidur (seakan tiba-tiba) dan sontak Rakai kaget.

Rakai hanya menggeleng dan tampak sekali kagetnya. Jelas dia tak menyadari aku sudah lama memperhatikannya. “Udah ta, maafin Ayah ya! Ayah sayang Adik.” Aku memeluknya. Dan, matanya langsung berkaca-kaca.

***

Rakai, si ragil

Sudah dua hari Rahma tak di rumah, masih di Jakarta. Dan rencana besok siang, Rabu, tiba di Ungaran. Dalam dua hari ini, sendirian menemani si bungsu, langsung mendedelduwelkan kantong saya. Betapa tidak. Rakai itu sangat mengerti bahwa sang ayah tidak sanggup menjaga keutuhan anggaran. Ya, begitulah, terus terang aku memang paling tidak bisa menahan uang untuk berlama-lama di rumah, di kantong saku baju atau celana. Lembaran kertas itu seolah punya mata dan begitu jeli untuk berpindah tempat dan memangsa sasaran. 

“Ayah, berarti nanti malam ke Angringan Kembang, karena semalam nggak jadi!” pinta Rakai siang ini. Dan aku mengiakan saja.

Ya, kelemahan latin yang mendera diriku. Dari kecil, anak-anakku telanjur menghirup udara kelemahanku, tatkala Rahma tengah tidak di rumah. Aku cenderung memanjakan mereka. Aku tak semantap Rahma untuk mematahkan keinginan mereka. Aku lemah menjaga garis kebijaksanaan ekonomi-finansial keluarga. 

“Beliin kanvas ya, Yah!” suatu kali Isa merajuk, juga saat sang Bunda lagi tidak di rumah. Kalau tak salah, saat itu Isa berusia sembilan tahun. Dan, sebagaimana biasa, termasuk saing ini kepada Rakai, aku menyetujui. 

Tiada kehadiran Rahma, benar-benar menguras isi kantong. Pagi tadi aku masih bisa membikinkan sarapan. Namun, untuk menu siang ini dan nanti malam, si bungsu jelas-jelas tak akan selera dengan racikanku. Racikan seorang ayah yang memang bukan mantan koki warung makan. Paling banter aku hanya bisa rebus air dan menanak nasi, serta goreng telur. 

Sementara Rahma, tempe saja bisa ia hidangkan dalam bermacam menu: tempe goreng, tempe bacem, tempe penyet, tempe mendoan, sambal tumpang, oseng-oseng tempe, dan macam-macam yang lain lagi. 

Ah, ternyata! Mendidik anak sama sulitnya dengan mendidik diri sendiri. Menggarap diri. Jadi orangtua yang pas buat anak-anak tak segampang angan-angan, tak semudah membalik tangan.

***

Malam sudah larut, saat kami tiba di rumah. Aku segera merebahkan diri di kursi panjang di ruang tamu. Rakai masuk kamar tidurnya. Tadi, setelah dari Angkringan Kembang, kami sempatkan mengitari Ungaran. Kemudian memanjakan mata, nongkrong di pelataran Pasar Bandarjo. Rakai tampak menikmati udara malam, menghitung lalu lalang kendaran yang melaju di Jalan Gatot Subroto.

“Langsung tidur ya, Nak!”

“Ya, Yah.” sahut Rakai dari kamarnya. “Eh iya, Yah, besok pagi dah nggak bisa nyoto ke Pak Naim kan?”

“Kenapa, karena Bunda dah di rumah ya?”

Sontak Rakai tertawa. Seolah ia mengejek diriku, bahwa ayahnya lebih sering berlaku oportunis ketimbang memegang prinsip. Prinsip berhemat kalah telak oleh keinginan memanfaatkan peluang untuk apa yang kuanggap lebih baik.

Ungaran, 23/11/2021

Baca juga: Jadi Orang dan Sepeda Untuk Isa

Post a Comment

0 Comments