Pendidikan Karakter

Cinta Yang Berpikir

Siang itu, Sabtu 8 Desember 2018, di ruang dekanat lantai 3 Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes. Saya nyaris telat. (Eh, sudah telat, bukan lagi nyaris! Telat tujuh menit.) Begitu memasuki ruangan, tampak Ellen sedang berorasi di hadapan seratusan lebih mahasiswa jurusan Psikologi Unnes. Dan anehnya pula, para mahasiswa itu tampak serius memperhatikan sang narasumber. Mereka tertegun. Atau lebih tepatnya, tersihir oleh setiap mantra yang didendangkan Ellen. Seperti biasa, dan memang itu ciri khasnya, Ellen memakai metode Socrates. Seni berbicara di hadapan banyak orang, tapi tak menggurui. Ia memulai percakapan dengan bertanya, dan bertanya.

“Ketika ada teman sedang berpendapat, apakah yang lain menyimak dengan baik?” seru Ellen, usai meminta pendapat beberapa mahasiswa tentang pendidikan karakter. Dan ternyata, setingkat mahasiswa pun gagal memenuhi karakter utama yang digariskan Charlotte Mason: kebiasaan memperhatikan  atau fokus, dan kebiasaan respek.  

Pertanyaan dasar yang dilontarkan Ellen sebelumnya, “apa itu pendidikan karakter?”

Dan berulang-ulang Ellen meneguhkan bahwa pendidikan karakter tidaklah berbicara mengenai teori pendidikan, kurikulum, dan kesanggupan peserta didik untuk menjawab soal-soal ujian. Namun lebih dalam dari itu. Amat mendasar, yaitu menyibak filosofi pendidikan. Nah, Charlotte Mason secara runtut mengenalkan filosofi itu. (Dan, sungguh beruntung kita kini, mengenal seorang Ellen Kristi yang telah puluhan tahun meriset gagasan mendasar pendidikan Charlotte Mason, lantas meringkaskannya menjadi buku Cinta Yang Berpikir.)

Ellen, kemudian, menampilkan beberapa foto tokoh terkenal dunia: foto masa kecil, dan foto setelah dewasa serta menjadi tokoh terkenal. Ada Hitler, SteveJobs, dan beberapa yang lain. Pesan yang tersampaikan: kita tak akan bisa menebak biografi seseorang hanya dari wajah lucu plus menggemaskan saat masih kecil. Artinya, rupa Hitler yang imut-imut ketika kecil, dan siapa sangka, begitu dewasa  malah menjadi ikon jahat abad XX. Dan sebaliknya yang lain.

Maka, sekali lagi, memperbincangkan karakter ialah menelisik secara mendalam wajah kemanusiaan. Butir pertama Charlotte, children are born persons. Artinya karakter itu berbicara tentang pribadi. Anak adalah pribadi bukan robot. Kepribadiani merupakan karakteristik yang membuat seorang manusia tetap menjadi manusia. Namun demikian, seiring waktu manusia jualah makhluk yang paling tidak stabil. Ia gampang tesergap gelisah. Sehingga kegelisahan menjadi ciri khas manusia. Sapi, kambing, dan binatang yang lain akan terus melenggang sepenuhnya dalam stabilitas, tapi manusia tidak. Sehingga masuk ke butir kedua Charlotte, they are not born either good or bad, but with possibilities for good and for evil, manusia juga terlahir sebagai makhluk kemungkinan. Oleh karenanya butuh pendidikan. Hanya manusia yang memerlukan pendidikan.

Pendidikan bagaimana? Lantas seperti apa kurikulumnya? Apakah kurikulum, yang saat dijelaskan ke anak didik, tapi malah justru bikin mengantuk? Kurikulum yang diajarkan, tapi hanya diorientasikan untuk menjawab soal ujian? Coba kita ingat lagi, selama 12 tahun lebih kita dulu di sekolah, karakter apa yang diperoleh? Lebih mendasar lagi, bersekolah itu sesungguhnya untuk mencari ilmu atau nilai? 

Mengutip Peter Gray bahwa sekolah tak lebih sebagai ajang  pamer, bukan tempat belajar. Kenapa? Karena sistem pendidikan dewasa ini mengacu pada utilitarian. Bahwa nilai sesuatu atau tindakan ditentukan oleh asas manfaat. Bahwa yang berguna dipakai, yang tak berguna dibuang. Begitulah pendidikan modern. Yang memandang nilai, ranking, dan seabrek penghargaan yang material itu sebagai ukuran keberhasilan. Setelah lulus: bekerja dan kemudian dihargai uang. Akhirnya, terbit kesadaran bahwa nilai keberadaan manusia sebatas lembaran uang. Itulah yang dikritik Charlotte Mason. 

Lebih jauh, Ellen memaparkan ciri pendidikan modern yang mendasari sekolah: pengetahuan tak berantai menjadi perilaku; belajar bukan sebagai kontrol diri; bukan untuk memperoleh kebenaran, melainkan memuaskan nafsu kekuasaan; bukan untuk kebijaksanaan; dan tiada dialog dengan masa lalu. 

Maka, jelas sudah. Konsep pendidikan modern yang dipraktikkan sekolah-sekolah saat ini akan face to face, bertabrakan, dengan konsep Charlotte Mason. Sebab menurut Charlotte, tugas sekolah itu dua saja. Pertama, mengacu prinsip education is a discipline, sekolah mesti teratur melatihkan kebiasaan baik. Dan kebiasaan paling mendasar yang mesti dilatihkan, yaitu: kebiasaan respek pada otoritas, kebiasaan memperhatikan, kejujuran, mengerjakan sesuatu dengan sempurna, pengendalian diri, integritas.

Selanjutnya tugas sekolah yang kedua, supply of living ideas. Kenapa? Ya, tiada lain karena, sebagaimana prinsip, education is a life. Betapa dalam diri anak, tidak hanya tubuh yang wajib tumbuh, tapi juga akalbudinya. Dan makanan bergizi yang menumbuhkembangkan akalbudi adalah ide. Gagasan yang menginspirasi. Wawasan yang mengajak anak merenung.  

Nah, dari kedua tugas sekolah tersebut, meniscayakan pada pihak kepala sekolah, guru, dan/atau orangtua untuk berani keluar dari zona nyaman. Sebab merekalah fokus dari reformasi pendidikan. Education is an atmosphere, tegas Charlotte. Bahwa baik guru, kepala sekolah maupun orangtua harus menjadi atmosfer.

Syahdan,  betapa jelas kini bahwa pendidikan Charlotte Mason adalah education is an atmosphere, discipline, and life. Kemudian bermuara menjadi  magnanimous personality, insan kamil, yang high thinking, lowly living. Sosok yang memiliki kesanggupan berpikir mulia, dan hidup bersahaja. Itulah, sekali lagi berbicara soal karakter tak lain ialah keberanian untuk keluar dari kemapanan.  Lantaran berkarakter sama artinya dengan kemampuan menjalin relasi mental, moral, jasmani, religius, dan sosial. Singkatnya bahwa pendidikan itu mesti memuliakan kepribadian anak, bukan asal memenuhi target kurikulum. Dan seorang guru, juga orangtua mesti bisa mendampingi anak secara personal. 

Sudahkah? Ah, entahlah. Yang jelas, hanya demikian itu yang berhasil saya pungut dari acara seminar pendidikan karakter yang diinisiasi Aziz, dan melibatkan 100 lebih mahasiswa psikologi angkatan baru. Seminar sebelum masa pandemi.

Ungaran, 18/11/2021

Baca juga: Sekolah Tomoe

Post a Comment

0 Comments