Pesan Rahma

Pesan Rahma

Selepas magrib. karib sekaligus tetanggaku, Wisnu, duduk di atas kursi panjang di teras rumahku. Dia ditemani sulungku, Isa. Istriku tak di rumah. Dia menghadiri acara temu rutin bulanan PKK, di aula balai RT. Sementara aku masih di dalam kamar tidur menemani bungsuku, Rakai. Dia minta dibacakan kisah Di Tepi Sungai Plum. Sebagaimana biasa, ia akan tidur lewat pembacaan halaman demi halaman novel itu. Dan benar, belum genap seperempat jam, atau tepatnya masih menyisir tiga halaman paragraf terakhir, Rakai sudah terlelap.

Pelan-pelan aku bangkit dari atas ranjang dan menghampiri Wisnu di teras. 

“Kakak istirahat!” aku menyuruh sulungku masuk ke dalam. Isa pun menyalamiku berikut Wisnu. 

“Bobok ya, Sa!” kata Wisnu, seraya menepuk-nepuk kepala Isa. “Besok Kamu sekolah kan?”

“Besok libur, Om.” Sahut Isa. “Kan besok hari Minggu!”

Aku tertawa. Aku melempar tatapan geli ke arah Wisnu. “Sudah, Kak! Om Wisnu nggak usah didengerin! Dia memang lupa ingatan.” Aku mengangguk ke arah Isa, memberinya isyarat segera masuk ke dalam.

Sulungku masuk. Malam pun terus merambat. Aku menatap rumah-rumah tetangga tertutup rapat. Hampir separuh lebih penghuni kompleks perumahanku sedang menghabiskan malam Minggu di rumah mereka masing-masing, sisanya piknik ke luar kota. Ya, malam Minggu yang sepi, meski di tengah memanas suhu politik 2019. Aku melirik Wisnu, duduk di samping kiriku, sedang menyulut rokok. 

“Eh ada tamu agung.” Suara tiba-tiba Rahma dari halaman. “Kok di teras sih, Yah? Nggak di suruh masuk?”

“Tahu tuh suamimu.” timpal Wisnu, “Sejak aku sering numpang mandi di sini, suamimu ini rada sewot dan malas melihat tampangku.” Wisnu menjulurkan lidah ke arahku.

Rahma menghampiri kami. Dia menyalami dan mencium punggung tanganku. Lantas turut duduk di samping kananku. 

“Ah, kamu nggak adil, Ma! Kamu tidak menyalami dan mencium tanganku.” Ujar Wisnu seraya menggeleng-gelengkan kepala.

“Mencium tanganmu! Kamu ingin aku didiemin mas suami? Ha-ha-ha...” istriku tertawa lepas. “Makanya jangan kelamaan menduda! Kasihan tuh, si Eka! Dia butuh belaian kasih seorang ibu, bukan nenek.”

“Sudah! Nggak usah dibahas!” seru Wisnu.

“Lho, siapa yang mancing duluan?” kemudian Rahma bertanya kepadaku, “Dik Rakai dah tidur? Kakak juga?”

“Adik sih sudah. Kakak Isa, entah. Ayah belum tahu, sudah apa belum.”

Rahma bangkit dari kursi dan masuk ke dalam. Dari kejauhan suara panggilan salat Isya menggema bersahut-sahutan antarsurau. Wisnu mendesis. Dia mematikan sisa terakhir rokoknya. Dia merenggangkan kedua lengan tangannya. 

“Sepi ya, Fha? Malam Minggu seperti kuburan.”

Aku hanya mengangguk-angguk untuk menanggapi pernyataan Wisnu. Memang, rata-rata penghuni kompleks berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sehingga keseharian mereka terjebak dalam disiplin waktu. Dan, malam Minggu serasa menjadi hari keluarga. Suami-istri dan anak-anak berkumpul. Mereka terbebas dari beban. Suami dan atau istri merasa utuh sebagai pribadi. Hal yang sulit terjadi ketika mereka tenggelam dalam satuan kerja, dalam karir. 

Begitu pula dengan anak-anak yang sedang meniti bangku sekolah. Hari Sabtu laksana surga. Mereka bebas berekspresi, bermain, hingga berkelana. Mereka, meski sesaat, berjarak dari iklim sekolah. Mereka aman dari kewajiban menghapal dan menghapal. Jauh dari peraturan berbaris dan duduk anteng di dalam ruang kelas. Mereka tak lagi terpagar dalam area sekolah. Maka, tepatlah bahwa malam Minggu dan Minggu pagi, saat anak-anak melampiaskan keinginan. Bahkan ada yang sengaja menghambur-hamburkan biaya dan energi di luar pengawasan kedua orang tua.

Harapan utuh sebagai pribadi dari kedua orang tua bertemu dengan mimpi bebas anak-anak, membuat malam Minggu di kompleks perumahanku benar-benar serasa kuburan. Mereka mencipta kebersamaan keluarga dengan berdiam di dalam rumah. Terlebih malam ini, usai kumpulan PKK, sebagian besar para istri dan suami lebih memilih untuk menyepi di rumah. Memang, tetap saja ada yang memaksa diri berlibur ke luar kota. Mereka bermalam di kawasan wisata Kopeng atau Bandungan. Ada juga yang memilih khusyuk bersama majelis-majelis dzikir atau pengajian rutin akhir pekan. Nah, aku dan Rahma termasuk yang merasa lebih nyaman untuk menerbitkan kehangatan di rumah. Wisnu pun demikian. Dia jarang menghabiskan malam Minggu dengan kelayapan ke luar kota. Paling banter ia hanya berani singgah di gubukku ini. 

“Kok kalian diam-diaman?” tegur Rahma yang keluar dari ruang dalam sambil membawa nampan berisi dua cangkir teh dan piring berisi potongan-potongan kue coklat. Dia meletakkan di atas meja kecil di depan kami. “Silakan diminum, Om!” serunya pada Wisnu seraya mengempaskan tubuhnya di sampingku.

“Lho, teh Kamu mana, Ma?” tanya Wisnu sembari mengambil cangkir dan menyeruput isinya.

“Sudah. Saya dah kebanyakan minum tadi di kumpulan mak-mak.” Jawab Rahma.

“Jangan salah, istriku ini tidak seperti Sampean. Dia suka minum air putih non-mineral. Dia sudah ketularan Mas Topo, minum air kendi.”

“Beneran nih, Ma?” tanya Wisnu.

“Ah, nggak. Jangan percaya gombalannya!” seraya mencubit pinggangku.

“Nggak apa-apa, Bun. Bunda omong saja! Biar teman kita satu ini tidak keseringan mampir ke sini. Sesekali Bunda juga perlu menyuguhi Wisnu air kendi. Sehingga jatah kopi dan teh Ayah tidak cepat ludes. Dan, terutama Wisnu tidak berjam-jam kalau di sini.”

“Kalian mengusir nih?” sahut Wisnu.

“Nggaklah, Om!” tukas Rahma

“Ya, jelas tidaklah! Tidak keliru.” seraya aku berdehem ke arah Wisnu. Kemudian aku balik menatap Rahma, “Tadi gimana, Bun? Masih ribet soal pilpres?”

“Wah tambah nggak keruan, Yah. Ibu-ibu itu lho, babar blas Bunda nggak habis pikir. Kalau cuma bercanda sih tak soal, tapi mereka dah saling ejek kandidat. Dan anehnya, mereka yang paling seru itu justru yang PNS. Sementara Bunda dan mak-mak lain yang hanya ibu rumahan, hanya bisa melongo.”

“Lah kok sama dengan bapak-bapak?” timpal Wisnu. “Di kalangan para bapak juga terbelah. Yang pro-Jokowi nongkrong di pos ronda. Sedang yang pro-Prabowo akan merumpi di bawah pohon sukun di blok N itu. Dan kedua kubu saling cela.”

“Aku sendiri juga heran. Ini kan sekadar pesta lima tahunan! Kenapa mesti blok-blokan kayak ngadepin musuh beneran! Kalau Bunda sendiri gimana?”

“Lah, emang beneran kan musuhnya: kejumudan. Ha-ha-ha…” Rahma tertawa renyah, sehingga lesung pipinya sontak menyejukkan mataku. “Kalau aku sih pilih diam di tengah para mak tadi. Siapa pun presidennya, toh akan menghadapi persoalan pelik yang mesti kita sengkuyung bersama. Indonesia ini luas, luas pula masalahnya. Samudera persoalan pun telah siap mengadang. Entah Jokowi, entah Prabowo, atau entah siapa pun yang bakal memimpin kita kelak, akan menemu soal sama: bangsa ini masih terbelakang. Indeks literasi kita rendah. Minat baca kita masih stabil di urutan kedua dari bawah di muka bumi ini. Belum lagi persoalan sumber daya alam. Permasalahan lingkungan. Krisis air, kebakaran hutan, sawah-sawah yang kian ludes. Dan banyak hal lain lagi….”

“Sebentar, aku potong ya, Ma. Maaf!” Wisnu memotong uraian Rahma. “Fha, aku kok iri ya sama kamu. Istrimu itu lho cerdasnya minta ampun. Coba misalkan….” 

“Makanya jangan lama menduda!” tukas Rahma, gantian memotong Wisnu.

“Lho, lho, lho, kok ke situ lagi omonganmu! Tapi emang bener, suasana pilpres tahun  ini kayak mengulang pilpres 2014, teramat sangat-ngat menyesakkan dada. Ingat nggak, Fha, pas sambung rasa kemarin lusa, Pak Heri, yang jelas-jelas kerja di kantor kepegawaian daerah itu, begitu enteng tanpa sungkan sama sekali berujar bahwa Jokowi merupakan pilihan tepat. Jangan pilih yang lain, katanya, sebab Prabowo hanya modal gagah, tapi tak becus bina keluarga. Coba! Nggak benar kan?” kata Wisnu dengan semangatnya sambil menyeruput teh dan kemudian mengambil potongan kue di atas piring. 

“Sama, Om,” sahut istriku. “Tadi itu pas di kumpulan PKK, ibu-ibu tidak lagi ribut soal cicilan motor, dan rekening listrik membengkak. Bu Ria, yang juga PNS, pegawai kecamatan, dengan sengit malah mengatakan bahwa Jokowi itu terlalu kerempeng untuk seorang presiden. Sangat tidak pantas, menurutnya. Seorang presiden itu mesti yang bertampang wibawa. Omongnya runtut, tidak belepotan. Bahasa Inggrisnya oke. Lagi-lagi katanya, mending Prabowo yang kayak Bung Karno, berani bersuara lantang pada dunia. Bersama Prabowo, Indonesia bakal sama sederajat dengan negeri-negeri maju di Eropa maupun Amerika. Intinya, Bu Ria mengajak para ibu yang hadir untuk memilih Prabowo.”

“Wuah, seru ya?”

“Iya, Om, malah sampai musuhan. Bu Bayu tidak terima. Ia balik menuding, justru Prabowo sosok militer yang gagal berkarir. Jadi gimana akan mimpin negara, sengit Bu Bayu. Lantas Bu Agus, yang sekubu dengan Bu Ria, tak mau kalah menyebut bahwa Jokowi dikelilingi pemodal-pemodal hitam, tukang kemplang, asing, dan Cina. Dan itu, menurut Bu Agus, bencana besar. Terus Bu Benny ….” 

“Udah-udah! Kok kita malah jadi ngrasani tetangga!”

“Bukan begitu, Yah, ini hanya buat introspeksi kita.”

“Introspeksi apaan? Bahlul 1) kamu, Bun!” suaraku rada meninggi. 

“Ha-ha-ha....” Wisnu tertawa. “Kena Kau, Ma! Kayak nggak ngerti pikiran suamimu. Semula aku dah nebak, ini pasti bakal perang bharatayudha. Bagaimana enaknya? Aku tetap di sini dan menjadi wasit atau....”

“Pulang saja!” Aku potong komentar Wisnu. “Ini urusan dalam negeri, bukan urusan Sampean.”

“Eit, tidak bisa begitu dong. Obrolan ini tadi aku ikut andil, urusanku juga. Aku juga punya harapan, Fha. Kita semua yang di kompleks seyogianya hidup guyub. Dan rukun, saling menghargai. Jangan hanya soal beda pilihan, kita saling bermusuhan. Apalagi jelas, pegawai negeri itu mesti netral, tidak menunjukkan keberpihakan. Saya setuju dengan Rahma, obrolan kita ini tadi jadi bahan introspkesi. Tidak lain. Kan jelas, tetangga kita yang notabene PNS malah terang-terangan menggiring opini warga untuk mendukung salah satu calon. Kan dah nggak bener!” Nada bicara Wisnu tak kalah melengking dengan aku.  

Rahma merunduk. Aku beranjak pindah tempat duduk. Kini aku berhadapan dengan Rahma dan Wisnu. Wisnu kemudian terdiam. Sesaat hening, tak ada yang bersuara. Aku melongok ke dalam, memandang jam dinding yang terpasang kukuh di tembok ruang tamu. Hmmm, sudah pukul 21.33.

“Eka sama siapa, Nu?” aku buka omongan. Aku ingin mencairkan suasana yang mendadak kelam.

“Sama neneknya-lah.” Jawab Wisnu singkat.

Aku merasa suasana belum kondusif untuk melanjutkan pembincangan. Rahma masih tetap merunduk seraya menggeser-geserkan kedua telapak kakinya. Sementara kedua telapak tangannya bertumpu pada kursi. “Ada apa dengan Rahma!” batinku bertanya-tanya.

“Oke, Aku pamit ya, Fha, Rahma. Sampai ketemu esok pagi!” Wisnu bangkit dari kursi. Dia menyalami tangan Rahma dan aku.

Rahma tak berkata apa-apa, hanya menganggukkan kepala kepada Wisnu. Namun, istriku itu tak menatap mukaku. Entahlah! Aku tak mengerti apa yang sedang berkecamuk dalam benaknya. Marahkah dia padaku?

“Oke, Assalamu ‘alaikum,” ucap Wisnu seraya melangkah keluar. Dia meninggalkan teras rumahku.

“Wa ‘alaikum salam wa rahmatullah.” Aku jawab salam Wisnu. Lagi-lagi istriku tetap diam. Dia tak menjawab salam Wisnu. Adapun aku terus memandangi kepergian Wisnu hingga lenyap di tikungan. “Ayah tidur dulu ya, Bun.” Ya, dia tetap tak menjawab. Dia juga tak melempar tatapan mata kepadaku.

Aku melangkah masuk seraya membawa nampan, dua cangkir, dan piring yang masih berisi sepotong kue coklat. Aku meninggalkan istriku sendirian di teras.

***

Hari Minggu. Aku kembali merebahkan badan setelah menunaikan salat subuh, pukul 04.15. Istriku masih terlelap. Aku tidak tahu, pukul berapa tadi malam istriku menghampiri kasur, tidur disampingku. Sebelumnya, aku menengok kamar anak-anak, mereka juga terlelap.

***

Cahaya matahari sudah meninggi, menyusup melalui celah jendela kamar tidurku. Sudah pukul 10.00. Aku terbangun karena mendengar suara gaduh anak-anak di ruangan tamu. Aku mengintip dari celah pintu, ternyata Isa, Rakai, dan anak-anak tetangga sedang bermain tebak-tebakkan. Hmmm, betapa asyik mereka.

Aku bergegas keluar dari kamar tidur. Aku melewati anak-anak itu, karena memang posisi kamar tidurku berhadapan dengan ruang tamu. 

“Bunda ke mana, Kak?”

“Tadi bilangnya ke rumah Bulik Yuni, Yah.” Jawab Isa.

“Pukul berapa bunda berangkat?”

“Pukul 07.00.”

Hmmm, berarti sudah tiga jam istriku tak di rumah. Namun kenapa ke tempat Yuni? Apakah dia benar-benar marah? Terus kenapa juga mesti marah? Apa salahku? Aku tertegun di ruangan tamu seraya memandangi anak-anak itu.

“Tadi bunda bilangnya apa, Kak, selain mau ke rumah Bulik Yuni?”

“Tak bilang apa-apa. Ada apa sih, Yah?”

“Nggak apa-apa. Ayah cuma lapar. Bunda sudah masak belum ya?” 

Isa sudah tak memperhatikanku. Dia kembali asyik bermain. Duh, istriku ada apa? Aku paling tidak tahan menghadapi istri ambek. Lebih baik maju perang di medan pertempuran daripada didiamkan istri. Kemudian aku berdiri dan masuk ke kamar mandi. 

Setelah dari kamar mandi, aku mendapati anak-anak masih bermain di ruang tamu. Anak-anak itu, penuh ceria. Riang tiada beban. 

“Kak, Ayah keluar dulu ya!”

“Ke mana, Yah?”

“Ke rumah Bulik Yuni. Ayah susul Bunda. Paling dua puluh menitlah.”

Aku mengeluarkan sepeda motor. Aku memanasi mesin sebentar dan kemudian meluncur menuju rumah Yuni. 

Kurang lebih sepuluh menit aku sudah berada di depan rumah Yuni. Sama-sama bertempat di perumahan tetapi beda kompleks. Kompleks perumahan yang ditempati Yuni termasuk kawasan elite. Rumah Yuni sepi. Aku berjalan ke arah pintu. Tok! Tok! Tok! Aku mengetuk pintu rumah itu.

“Hei, Mas! Wah tumben. Ada apa nih?” Suara Yuni begitu membuka pintu rumah.

“Hemm, ingin jemput Mbak Rahma. Di sini kan?”

“Mbak Rahma! Ada apa dengan Mbak Rahma, Mas? Dia nggak di sini kok.”

“Serius!”

“Serius, Mas. Masak saya bohong. Nggak beranilah saya sama Njenengan.”

“Di mana ya?”

“Memang sejak kapan?”

“Tadi pukul 07.00 dari rumah. Pamit pada Isa, dia mau ke sini. Maka saya langsung terbang ke sini.”

“Tapi Mbak Rahma nggak ke sini kok, Mas. Apa masuk dulu aja! Mas Har lagi nyuci di belakang.”

“Ah, nggak usah, Yun. Terima kasih. Saya pamit saja. Salam buat Hari ya! Maaf nggak bisa lama-lama.”

“Ya, nggak apa-apa, Mas. Apa mbak Rahma ditelepon saja, Mas! Sudah belum?”

“Ya, belum, karena tadi saya langsung ke sini. HP saya tinggal di rumah. Oke ya, Yun, Assalamu ‘alaikum!”

Aku langsung bertolak dari rumah Yuni menuju rumah. Aku masih belum mengerti, kenapa Rahma mengambek. Sepuluh menit perjalanan. Kini aku sudah berada persis di ambang pintu rumahku. Ternyata Isa, Rakai, dan anak-anak itu masih berkumpul di ruangan.

“Lho, Bunda mana, Yah?” Tanya Rakai.

“Iya, Yah mana bunda?” Sambung Isa.

“Ke pasar, Nak.” Aku belum sanggup berterus terang pada anak-anakku. kemudian aku masuk dan menutup kamar tidur. Aku mengempas tubuh di atas kasur sembari pegang handphone. Hmmm, ternyata ada satu pesan masuk dalam kotak pesan.

Dari Rahma! Aku tercekat begitu menelisik kotak pesan. Buru-buru aku buka isi pesan itu, “Suamiku, maaf! Aku juga manusia biasa. Aku punya perasaan. Memang aku cupet, bahkan bahlul. Namun seumur-umur, kedua orang tuaku tak pernah menyebutku bahlul, apalagi dihadapan orang lain. Tak pernah.”

Ungaran, 18/11/2019

Keterangan:

1) Bahlul adalah bahasa Arab pasaran yang berarti bodoh dan acap dipakai sebagai makian. 

Baca juga: Buat Orang Kaya

Post a Comment

0 Comments