Rindu Pak Muh

Muhammad Zuhri

Bertemu langsung dengan Muhammad Zuhri adalah anugerah. Saya acap kali ke rumahnya, di Desa Sekarjalak, Pati, cuma ingin mencium tangannya. Kemudian mulai tahun 2001, saya rutin mengikuti pengajiannya, setiap tanggal 21 (bulan masehi). 

Muhammad Zuhri menghadirkan tasawuf, tidak sebagaimana para sufi tempo dulu yang lebih mengutamakan uzlah. Ia tak menekankan laku pengasingan diri untuk sekadar memusatkan perhatian pada ritual ibadah. 

Dari dialah, saya memperoleh wawasan keislaman yang menyejukkan sekaligus filosofis. Ia menandaskan bahwa nilai seorang muslim sesungguhnya bukan pada sujud, bukan pada rukuk, melainkan perbuatannya. Hal itu berdasar perolehan Nabi Muhammad Saw. dalam pengalaman spiritual tertingginya, Isra Mikraj.

Kita tahu dalam formula salat: ada duduk, ada sujud, ada rukuk, ada berdiri. Kemudian keempat formula itu diikat oleh “gerak”. Dan setiap gerak harus disertai ucapan “Allahu Akbar”, Allah Mahabesar. Jadi jelas, nilai seseorang itu ada di dalam “gerak” atau perbuatan, yang sekaligus menjadi saksi bahwa Allah itu ada dan sekaligus Yang Mahabesar. 

“Wahai hamba-Ku, Aku lapar. Kenapa engkau tak memberi-Ku makanan?
“Mahasuci Engkau, ya Allah! Bagaimana saya sanggup memberi-Mu makanan, sedang Engkau adalah Tuhan semesta alam?”
“Lihat, tetanggamu ada yang lapar! Bawakan ia makanan. Engkau akan bertemu Aku di sana.”

Ya, sebuah wawasan konsep “Sidratul Muntaha” dari Muhammad Zuhri yang merujuk hadits qudsi, yang terekam lumayan baik dalam benak saya. Yakni upaya membina hubungan baik dengan Tuhan adalah dengan membina hubungan baik kepada sesama, terutama yang kurang beruntung.

“Tarekat kita bukan lagi tarekat seperti zaman 500 tahun silam. Kita tak perlu membuat tata laku yang aneh-aneh dalam menggarap diri.” terangnya lagi. Saat itu saya mendengar wejangannya dari tempat duduk yang agak jauh. Saya berada di luar kalangan kecil teman-teman yang melingkarinya. 

Dulu memang, seorang guru sangat berperan dalam membuat aturan ritual dan perilaku. Dan sang  murid harus membaca wirid sekian ribu kali. Namun kini tidak. Berdasar keterangan yang saya peroleh dari Pak Muh, sapaan akrab Muhammad Zuhri, seorang penempuh tak perlu lagi mencipta latihan. Tuhan sendirilah yang akan langsung melatih sang penghayat. Tatkala sakit, ketika merugi dalam berdagang, anak tidak lulus ujian nasional, atau ketika belum mendapat kerja, adalah sarana latihan dari Tuhan.

Sang guru menegaskan: “kita tak perlu repot membuat latihan-latihan untuk membenahi diri. Tunggu saja, Tuhan yang akan memberikan pelatihan! Lantas kita respon dengan baik dan benar. Itulah tarekat kita yang relevan dengan situasi sekarang.”

Baitul Haq Muhammad Zuhri

Muhammad Zuhri. Penempuh jalan sunyi yang memang tak mendirikan lembaga tarekat. Dan di pojok gelanggang percakapan mereka itu, saya berusaha keras mencerna setiap ungkapan sang guru yang mengalun indah bak puisi.

“Tetangga,” sambung Pak Muh, “adalah cermin keberadaan kita. Maka jangan coba-coba kita merespon harapan dan keluhan tetangga secara asal! Tetangga adalah cermin. Tetanggalah yang mendewasakan kita.”

Kemudian, di waktu yang berbeda ia kembali mengentak-entak benak saya, “Agama itu teknis, tujuannya surga, akhirat. Akhirat itu bukan nanti dan di sana, melainkan sekarang dan di sini, yaitu ‘aku’, dunia diri.” 

Pak Muh menuturkan hikmah itu seraya menyirami pot-pot bunga, usai pengajian. Ya, saat itu, seusai pengajian 21-an saya jadi terbiasa untuk tidak langsung pulang ke Semarang/Ungaran. Saya masih pengin menghirup hawa hikmah dari sang guru. Bukan di ruang pengajian, melainkan aktivitasnya di halaman rumah.

Filsuf kita ini memiliki kebiasaan untuk menyirami tunas-tunas perdu di halaman rumahnya. Ia geser pot-pot tanaman. Ia tata sedemikian rupa. Acap kali ia pindahi pula, batu-batu kecil yang mengelilingi pohon asam, dan pohon nangka. Sungguh bersahaja. Namun saya terkesan sekali akan kebersahajaan itu.

Saat-saat begitu, saat saya berada di samping ia melakukan aktivitas khasnya, saya selalu mendapat paparan ganjil. Pernyataan yang sontak bikin dahi saya mengernyit. “Tanaman ini adalah cermin kita untuk mengenal sang aku. Bagaimana kita merespon perintah-Nya di balik tunas-tunas. Bagaimana kita menanggapi daun-daun yang mulai mengering. Mereka berseru ‘kami haus, tolong sirami!’.”

Itulah dia. Saya benar-benar jatuh hati padanya justru tidak pada saat ia di mimbar pengajian. Aktivitasnya di halaman rumah, ketika ia memindahi dan menyirami pot-pot kembang sepatu, begitu menancap kuat dalam benak saya. Seraya mengulas senyum, ia tunjukkan pada saya: bagaimana sang diri rindu dan bercengkerama dengan Sang Jati.

“Akhirat itu sudah ada sekarang: aku, semesta diri. Dunia ini, semesta milik: fisikal, rezeki, pangkat, kekuasaan. Maka transendensikanlah dunia milik ke dalam dunia diri. Supaya dunia milik menjadi ladang atau perkebunan dunia diri.”

Amboi, betapa yang disebut beragama itu ketika sanggup menarik yang dunia ini ke dalam yang akhirat! Bagaimana jelasnya? 

Dari lantai 2, Baitul Haq Muhammad Zuhri

Keterangan detailnya saya peroleh pada kesempatan pengajian berikutnya. Tatkala kami duduk-duduk di bawah pohon asam, ia menuturkan lagi soal agama. Dan penuturan kali itu, kian menegaskan bahwa agama sengaja dihadirkan Tuhan untuk membantu manusia dalam mengarungi dimensi yang kita tak diberi alat untuk mendapatkan kebenaran. 

Seperti halnya untuk mendeteksi gejala alam, dan hukum-hukum di balik gejala, tidak perlu agama. Untuk memahami fenomena sosial, atau  peristiwa sehari-hari itu, Tuhan telah menganugerahi kita akal pikiran. Sehingga, kita tak perlu mencari-cari ayat dalam kitab suci apa ilmu di balik bakteri yang super halus, peristiwa sosial-politik, fundamentalisme pasar, atau soal pilpres, hingga galaksi-galaksi yang menghampar di semesta raya. Tuhan telah menginstruksikan akal untuk menganalisisnya, sehingga terbit pelbagai teori dan rumusan filsafat, beserta juklak-juknisnya.

Artinya, kita tinggal mengoptimalkan kebebasan berpikir, atau cukup mereguk jamuan wawasan dari para pemikir yang bertebaran.  Kemudian, ketika memasuki wilayah rasa, atau dimensi situasi, atau juga saat menangkap keindahan, akal pun mandek. Akal tak sanggup menembus. Seperti: situasi benci, rasa simpati, rasa tergerak, bersemangat, atau terbakar kemarahan. Itu menjadi kerja hati, bukan ranah operasi akal. Dan respon hati seseorang terhadap situasi itulah yang lantas menjelma karya-karya seni. 

Dengan akal lahir kebenaran objektif. Dengan hati lahir kebenaran subjektif. Namun, kedua kebenaran ini masih berdimensi ruang. Sehingga, masih belum perlu menarik agama untuk menyibak kedua masing-masing kebenaran. 

Untuk mendapati angka 4 dari 2 X 2, tidak perlu mengulik dalil kitab suci. Untuk menentukan siapa presiden yang layak, tak usah menyisir ayat per ayat kitab suci. Pun rasa suka dan tak suka atas seseorang atau sesuatu, tidak perlu menyeret agama untuk memverifikasi. Misal, mengkritik kerja kreatif Iksan Skuter sebagai pendatang penyanyi balada sosial, berdasar rasa suka tak suka, itu sah sebagai hak pribadi, karena subjektif. Namun, ketika kritikan (bahkan sampai pembunuhan karakter) itu didasarkan atas nama agama, itulah yang tidak tepat. 

Seni adalah apresiasi jiwa terhadap situasi kehidupan. Termasuk ketika mengapresiasi kemahasucian Tuhan. Merasakan keindahan suara azan. Alunan kitab suci. Seni baca Al-Quran, atau seni kaligrafi. Itu semua adalah wilayah perasaan pengalaman yang sangat pribadi. Yang membuai perasaan, yang bisa menidurkan. 

Agama! Nah, agama ada untuk mengarungi waktu. Sebuah dimensi penghayatan akan masa depan. Pak Muh menyebutkan: “... bahwa tidak seorang pun tahu di mana kelak dia dikuburkan, pukul berapa dia mati, membujur ke mana, (dan) siapa yang menunggu. Tidak seorang pun tahu apa perolehannya besok pagi. Berapa kali duka, berapa kali senang, berapa kali kecewa, (serta) berapa kali dimaki orang—ternyata tidak seorang pun tahu.” (Secawan Cinta, hlm. 162).

Menghayati agama adalah menempuh dimensi waktu. Dimensi di mana akal dan hati tak lagi sanggup mengurai lebih dalam. Al-Quran mengistilahkan “Dia telah menjalankan hamba-Nya pada malam hari.” (Al-Isra’: 1).  Sebuah perjalanan yang pikiran dan perasaan tak bisa memetakannya secara jelas.

Demikianlah, hikmah yang saya petik dari rumah Pak Muh. Dari Sekarjalak! Dan di tengah banjir informasi saat begini ini, saya merindu kajian agama secara mendalam yang sarat filosofis. Saya merindukan K.H. Muhammad Zuhri. Saya rindu Pak Muh.

Ungaran, 08/11/2021

Baca juga: Muhammad Zuhri

Post a Comment

0 Comments