Sesosok Misterius

 Lengang kompleks perumahanku

Gelap. Malam ini langit tiada bintang. Sungguh kelam. Lampu jalanan hanya satu-dua yang menyala, sisanya mati. Entah rusak atau memang sengaja tak dipasang lampu, aku tak tahu. Namun, orang itu masih terus mengikutiku. Aku berhenti, ia ikut berhenti.  Aku berjalan, ia pun turut berjalan.

“Ah, kenapa aku tadi nggak bawa sepeda!” umpatku dalam hati. 

Aku tengok ke belakang, Sosok tinggi besar plus gelap itu masih ajek di belakangku.  “Ya Allah, siapa dia? Kenapa mengikutiku terus? Apakah dia orangnya Ganjar? Ah, nggak-nggak. Masak zaman udah maju kayak sekarang, masih berlaku intimidasi ala kolonial!” 

Aku terus berjalan setengah berlari, menyusuri trotoar menuju rumahku. Masih sekitar setengah jam lagi, aku akan tiba di rumah. “Yah, kenapa tadi harus memotong jalan ke sini sih!” Memang jalanan ini sepi, tapi merupakan jalan terdekat untuk segera menyeruput kopi suguhan istriku.  

“Hati-hati lo, Fha!” seru Dicki, yang tiba-tiba mengiang di benakku. 

“Kamu kan nggak bawa sepeda, nginap sini aja!” ajak Lekan, yang aku ingat banget dia tadi tampak begitu mencemaskanku. 

Tadi, di Saung Kita, aku menemani diskusi para muda yang haus perubahan. Ada banyak anak muda yang datang. Paling hanya aku, Dicki, Luthfi, Lekan, Danang, dan Eka, yang tak lagi belia. Sisanya, sekitar 20-an adalah para muda-mudi. Kami mendiskusikan kedaulatan Petani Kendeng. Begitu usai, pukul 22.30, aku langsung berpamitan. Malam ini aku tak bisa berlama-lama sebagaimana biasa, kami mengobrol hingga pagi. Aku harus di rumah. Aku telah berjanji pada Rahma untuk tak menginap.

Aku berbelok masuk gang sepi dan lari. Ya, aku berlari secepat mungkin. Aku tengok belakang, syukurlah, sosok itu tak kelihatan. Semoga ia tak sanggup mengejarku. Begitu tiba di ujung pertigaan gang ini, belok kanan berarti telah memasuki gang tempat tinggalku. Aku masih terengah-engah. 

Lagi-lagi aku tengok belakang, benar, sosok gelap itu tak ada. “Tiiiit...tiiit...tiiit....” suara panggilan ponsel di saku celanaku. Aku rogoh ponsel, ternyata istriku yang menelepon.

“Ya, Bun!”

“Ayah di mana?”

“Tak lebih dari 15 detik Ayah dah di rumah.”

“Nggak lupa beli kado kan?”

“Wuaduh, maaf, tadi Ayah cepat-cepat. Jadi lupa beli kado buat Isa.”

“Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting Ayah...”

“Bentar, Bun! Sambung nanti ya!” Aku tutup ponsel dan cepat-cepat menepi ke teras rumah tetanggaku. Sosok itu berjalan dari arah depan mendekati rumahku.   

Sementara malam terus bertambah larut. Aku lirik jam di ponsel, karena memang tak terbiasa memakai jam tangan, telah menunjuk angka 23.13. Aku masih merapat di teras rumah tetangga, empat rumah dari rumahku. Sosok itu telah berdiri tepat di depan rumahku. Detik kemudian, aku lihat ia menyulut rokok sembari berjalan mondar-mandir. Aku masih belum jelas melihat rupa wajahnya. Padahal  sudah terkena cahaya lampu teras rumahku dan lampu penerang jalan. Ya, wajahnya agak sedikit terhalang oleh topi ala almarhum Tino Sidin, pelukis sketsa terkenal era 80-an. 

Aku masih mengawasinya dari jarak yang lumayan. Aku berketetapan, jika mendesak aku akan berteriak sekencang mugkin. Tiba-tiba, ia berjalan ke arahku. Lantas aku berjingkat pindah tempat, ke sudut yang lebih gelap. Aman. Ya, aku yakin, ia tak akan mengira aku di sini. Merapat di sudut teras yang gelap. Dan, ada satu tiang listrik, yang membikin aku makin terlindung dari pandangan. Sedangkan aku masih bisa mengawasinya di sela-sela lubang tembok. Ia makin mendekat. Ia melenggang seraya mengisap rokok. Dan, wajah itu! Deg! Benar, aku pernah melihatnya. Tapi kapan? Di mana? Ah, pokoknya, aku pernah melihatnya. Oh ya, Kalau tak salah, ia bagian dari kru reog yang tampil di depan Kantor Gubernur, dua tahun silam. Reog yang konon sengaja dihadirkan untuk menandingi aksi ibu-ibu petani Kendeng. 

Namun, kenapa ia ada di sini? Kenapa ia mengikutiku? Atau jangan-jangan ia orang sekitaran sini saja, dan aku belum mengenalnya? Ia terus melangkah di bawah penerangan lampu jalan. Aku tahan nafas, begitu ia persis di depanku. Dan, seketika aku tersentak kaget. Ia menajamkan pandangan tepat ke arahku. Aku hanya bisa memejamkan mata sembari mulut tak henti-hentinya berkomat-kamit. Melantunkan doa. Meneguhkan bahwa aku adalah hamba-Nya, yang sepatutnya Ia selamatkan.  Yang sepantasnya tak menemu masalah. 

“Ya Allah, Engkau Mahaperkasa. Engkau sungguh-sungguh berkuasa. Ahimsa, titipan-Mu itu sebentar lagi ulang tahun. Dan, hamba ingin turut merayakannya. Hamba sedang merancang acara spesial bersama Rahma untuknya. Allahumma shalli wa salim ‘ala sayyidina Muhammad!”

Pelan-pelan aku buka mata. Ia tak ada. Ya, ia telah pergi. Tapi ke mana? Bahkan langkah kakinya pun tak kudengar. Padahal sebelumnya, langkah kakinya terdengar jelas. Kemudian aku beranikan untuk berpindah tempat. Aku berjingkat pelan mendekati tiang listrik. Aku melongokkan kepala ke luar teras. Sepi. Dan, sosok itu benar-benar menghilang, seakan tertelan bumi.

***

“Ayah di mana sih? Lama banget!” seru istriku begitu aku masuk ke dalam rumah.

“Ya, tadi ada sedikit urusan. Oh ya, gimana persiapan ulang tahun Isa?”

“Udah amaannn… Adik tuh yang ribut nyiapin kejutan. Habis Ayah kelamaan.”

Malam berjalan menuju dini hari. Aku langsung rebahan, dan berusaha tak mengingat sosok itu, apalagi cerita ke Rahma. 

***

Dalam keluarga besarku, baik kakek dan nenek buyutku, kakek-nenekku, maupun ayah-ibuku, tak ada tradisi seremoni ulang tahun.  Itu pun berlanjut ke kami. Aku tak pernah menyelenggarakan ritual ulang tahun. Termasuk kepada istriku, Rahma, dan anak-anakku. 

Namun semalam, hal ini kuketahui dari cerita Rahma, anakku ragil, si Rakai, tidak seperti biasanya. Ia sibuk sendiri. Ia mencari plastik bungkus. Kemudian membongkar kardus yang berisi buku tulis, pensil, dan bolpoin. Ia ambil tiga buku tulis yang masih baru. Dua bolpoin, dan satu pensil. Lantas ia masukkan ke dalam kantong plastik tersebut.

“Bunda punya penggaris nggak?” 

“Nggak. Kenapa?”

“Nggak apa-apa.” jawabnya singkat.

Kemudian, masih dari cerita istri, Rakai membongkar almari di ruang kerjaku di sudut kanan belakang. Memilah-milah barang di dalamnya. Tak ketemu. Lantas beralih ke tas punggungku dan akhirnya mendapati penggaris yang dimaksud. 

Istriku sesaat bertahan tidak ikut merusuhi, meski merasakan kejanggalan dengan tingkah si bungsu. Rahma masih diam saja. Menahan untuk tak menanyakan apa maksud di balik “keributannya” itu. 

“Ada apa ta, Dik?” istriku ternyata tak sanggup berlama-lama menahan diri. Ia pun bertanya.  

“Bunda jangan bilang kakak!” Rakai menyahut lirih. Ia berbicara seperti orang berbisik ke telinga istriku. “Bunda ingat nggak, besok itu tanggal berapa?”

“Oooo...! Bunda tahu.” Rahma coba menggoda Rakai. “Adik ingin bikin kejutan Kakak Isa kan?”

“Awas jangan kasih tahu Kakak lo, Bun!” seru ragilku.

“Beres, Bos!” jawab Rahma. “Tapi boleh kan bilang ke Ayah?”  

“Oh iya, Ayah kok belum pulang ya?” tanya balik Rakai.

“Bunda juga nggak tahu, Dik. Dah sekarang tidur!” Rahma menyuruhnya istirahat, karena memang waktu telah merangkak ke tengah malam, saat kira-kira aku tengah merapat di teras rumah tetangga. Gara-gara sesosok bertopi ala Tino Sidin. 

***

Tadi pagi, pukul 05.00, Rakai sudah bangun tidur. Lagi-lagi tidak sebagaimana kebiasaannya. Biasanya, ia bangun pagi paling telat. Ahimsa juga sudah segar. Ia bangun duluan ketimbang adiknya. Sembari menunggu antrean ke kamar mandi, ia membaca “Science Comic Piramida”. 

Kemudian, saat suasana di luar rumah belum begitu terang, Rakai mengumpulkan kami bertiga—aku, Rahma, dan Ahimsa—ke ruangan tengah. Lantas ia berlari ke kamar tidurku, mengambil bingkisan “kejutan”. Sebetulnya, bingkisan tersebut tidak terlampau istimewa. Hanya buku tulis, pensil, bolpoin, dan penggaris yang ia masukkan ke dalam kantong plastik warna putih. 

“Ayo berdiri semua!” perintah Rakai yang tergesa-gesa dari kamar dalam sembari menenteng plastik. 

Detik selanjutnya, “Selamat ulang tahun ya, Kak!” ucap Rakai sambil menyerahkan plastik, dan merangkul Ahimsa. Mereka berangkulan. Lumayan lama. Tak ada ucap apa pun yang keluar dari mulut Ahimsa. Ia berkaca-kaca. Barangkali ia tak menyangka. Termasuk aku dan kulirik Rahma hanya bisa terdiam. Bahkan sekadar mendendangkan lagu “Happy Birthday” pun tidak. Aku yang biasa mengabadikan setiap adegan dalam kamera, pagi tadi pun luput. Aku hanyut dalam suasana haru. Istriku pula, tak sanggup menahan rinai air mata yang membasahi pipinya. Ternyata Rakai pun juga turut berkaca-kaca. 

Hmmmm...anak-anakku. Sungguh, kalian itu telah menghipnotis ayah-bundamu! Sehingga tak sanggup berkata-kata. Hanya hati dan mata kami yang merespon. Betapa kalian, matahari yang sedang dan akan senantiasa menghangatkan hari-hari di rumah ini. 

***

Kamis siang ini seperti hari-hari biasa yang lain pada bulan Desember, hanya sedikit panas yang terpancar dari matahari. Matahari kalah gesit ketimbang awan-awan yang bersiap mewarnai Kota Ungaran. Ahimsa dan adiknya, Rakai, berada di rumah. Mereka di rumah menemaniku. Atau lebih tepatnya, hari ini aku tak ke mana-mana, sehingga bisa bercengkerama dengan anak-anak. Rahma, istriku, pagi-pagi sekali telah berangkat kerja. Ia masih terikat dinas pada suatu instansi yang super eksklusif di Kota Ungaran. 

Bersama anak-anak

Matahari pagi terus merangkak. Lagi-lagi bersaing ketat dengan arakan awan. Benar, nyaris tidak ada yang istimewa untuk diceritakan pada hari ini. Hanya rutinitas. Sekali lagi, hanya rutinitas pagi: bangun tidur, sarapan, dan menyuntuki buku cerita. Bermain petak umpet. Dan, berserakan buku-buku di atas lantai. Juga di atas kasur. 

Selang beberapa waktu kemudian, langit gelap. Mendung. Belum hujan memang. Namun,  lamat-lamat, arakan awan itu mengisyaratkan: sebentar lagi hujan. Dan, kemungkinan hujan deras. Kalau menilik gumpalan awan macam begitu, hujan deras bakal mengguyur Ungaran. 

Ahimsa diam. Rakai juga ikut terdiam. Hanya tatapan mataku, yang pantang lepas ke mereka. Aku sendiri tak mengerti betul: tatapan yang entah khawatir, atau sekadar iseng mengisi waktu menyambut hujan. 

“Andai rumah kita besar ya, Yah! Pasti deh, enak.” Rakai membuka suara.

“Ah itu terus yang Adik omongin. Dulu saat kita ke rumah eyang Sragen, Adik juga ngomong itu. Apa kudu dengan memiliki rumah gede, Adik merasa nyaman?” sahutku dengan nada rada tinggi. 

“Ayah marah?” tanya Ahimsa.

“Nggak.”

“Tapi kok kayak marah?”

Aku diam, tak menimpali pertanyaan anak sulungku. Memang, tinggal di kompleks perumahan bertipe sangat sederhana ini, suka tak suka, harus menerima kenyataan: menempati rumah kecil. Dan sungguh, mayoritas rumah di kompleks ini kecil-kecil. Hanya satu dua yang besar. Bertingkat. Seperti milik Dewi. Dewi, kakak kelasku di Undip, tinggal satu kompleks perumahan denganku. Hanya beda blok. 

Rumah Dewi bisa menampung anak-anak se-kompleks. Bisa dikatakan, rumah paling besar di kompleks Perumahan Bukit Asri. Rumah berlantai dua. Ruang tamunya dua kali luas rata-rata rumah di kompleks. Terlebih lagi ruang tengah. Ruangan yang cukup besar, berlantai kotak-kotak dari keramik berukuran raksasa.

“Ayah jangan marah! Tadi, itu kan pengandaian. Ya, kan, Diiik...?” Ahimsa merajuk sembari mengedipkan mata ke Rakai.

Aku mengulas senyum sekilas. Benar-benar irit senyum yang kuperagakan pada hari ini. Padahal hari ini ulang tahun Ahimsa, dan hanya ragilku yang tadi pagi memberinya kado. Lantas, aku kembali menekuni novel “Darah Muda” di ruang tamu, yang besok malam akan kubedah di sebuah kafe di daerah Patemon, Gunugpati, Kota Semarang. Aku baru mendapati separuh halaman. Persisnya bab 7, dari keseluruhan yang berjumlah 18 bab. Berhadapan dengan “Darah Muda”, aku tersergap perasaan gemas. Aku jengkel dengan Dwi Cipta, sang penulis, yang serasa menguliti masa laluku. Ah, Dwi Cipta memang kurang ajar!

Anak-anakku kini telah bermain di teras. Mereka bermain kelereng. Langit masih tampak suram. Arakan awan itu seolah benar-benar tak rela, cahaya matahari menerpa permukaaan bumi. Tak tersisa sedikit pun buat matahari untuk berbagi sinar terangnya. Ah, Tuhan, lewat alam memang punya cara sendiri untuk membolak-balik perasaan manusia. Saat kering kerontang, manusia “ngedumel”, protes: “kapan hujan”. Sementara kini, yang hampir saban hari terguyur hujan, juga mengeluh: “kok hujan terus, kapan keringnya baju-baju yang dijemur.”

“Ayaaaah...! Itu siapa?” teriak Rakai.

Aku sontak bergegas ke teras, melongokkan kepala, memandang ke ujung pertigaan gang yang ditunjuk Rakai. Dan, deg! Jantungku berdegup kencang. Lelaki itu! Lelaki yang semalam menguntit dan bahkan mengawasi rumah mungilku ini. Kini, ia tak sendirian. Berdua. Dan sama-sama tinggi besar. Sama-sama berbadan gelap. Mereka duduk di pos ronda yang persis di pertigaan. Aku masih belum mengerti siapa mereka? Kenapa di sini? Apakah berkaitan dengan tulisan-tulisan yang kusiarkan? Terutama tulisan yang menggugat kepemimpinan Ganjar. Tulisan yang merujuk tanda simpatiku pada perjuangan ibu-ibu petani Kendeng. Detik kemudian, aku menyuruh anak-anak masuk rumah. 

“Ada apa ta, Yah?” tanya Ahimsa.

“Nggak apa-apa. Udah zuhur kan!” Aku jawab asal, agar anak-anak tak ikut rusuh sebagaimana hatiku saat ini.

Ungaran, 21/12/2017: 11.53

Baca juga: Mbah Sarmi

Post a Comment

0 Comments