Sifat Asli PHI: Bergerak

Rapnas Perdana

Masih hangat dalam ingatan: semringah teman-teman Perkumpulan Homeschooler Indonesia (PHI), saat itu kata “Perkumpulan” masih pakai “Perserikatan”. Kami berfoto bareng di depan TekoDeko Achterhuis, Semarang. Raut muka mereka cerah. Mereka tampak bahagia. Terlebih saya. Ada semacam janji bahwa kami pantang surut demi kemerdekaan belajar anak-anak. Demi kualitas belajar anak. Demi terjaminnya hak anak. Demi kelangsungan pendidikan yang menebar rasa aman dan nyaman anak.

Sungguh saya bersyukur berada di tengah-tengah para hebat itu, 18 – 21 Agustus 2017. Tidak bisa tidak, berkat perhelatan Rapat Nasional I PHI itu, saya langsung terpapar virus semangat agar tak gegabah menyerahkan proses belajar anak pada lembaga yang berbasis bisnis. Kudu hati-hati, akhirnya.

Rapnas Perdana

Tahun berikutnya, 2018. Di sebuah ruang pertemuan, di hotel kecil di tengah kota Yogyakarta, para penggiat PHI itu kembali berkumpul. Sebagaimana tahun sebelumnya, mereka berangkat dari pelbagai latar yang tidak sama. Nasib yang berbeda. Profesi harian yang tak seragam. Dan lokasi tempat tinggal yang jelas-jelas berjarak, yang berbeda kabupaten/kota, bahkan provinsi.

Di ruang itu, sekali lagi saya bersyukur bisa hadir. Kami berdiskusi. Sempat bersitegang. Tapi, tetap atmosfer riang gembira yang dominan. Penuh canda, meski tak mengurangi bobot percakapan. 

Kami dibagi dalam empat kelompok kecil. Tiap kelompok merumuskan persoalan dan solusi pendidikan. Tiap kelompok mendiskusikan kasus-kasus yang menimpa homeschooler. Lantas, keempat kelompok bergiliran mempresentasikan. Saling sanggah. Tukar pengalaman. Dan kemudian saling meneguhkan. 

Di ruangan itu, kesadaran kritis yang menjadi damba penggiat sosial di mana pun, serasa hidup. Kami terasuki semangat untuk terus berdaya, apa pun keadaan yang mengimpit. Bahwa kami mencermati aparat pemerintah belum bersungguh-sungguh menjamin kelangsungan pendidikan informal. Homeschooling (yang sejati), yang berbasis keluarga, bukan lembaga, belum mendapat tempat. Pun masyarakat luas, masih menganggap homeschooling itu sekolah, kalau pun ada yang menganggap bukan sekolah, tetap menyamakan. Padahal, pendidikan karakter, yang sempat diramaikan pemerintah sebagai jargon sekolah, itu bakal mewujud nyata, justru bukan dari lingkungan sekolah, melainkan di tengah keluarga.

Saya selalu duduk tertegun di belakang di setiap sesi diskusi, baik diskusi besar maupun diskusi kecil. Saya suka mencatat dan menyerap energi kawan-kawan. Suka memperhatikan sorot mata mereka masing-masing. Saya terpesona. Juga terharu. Mereka datang dan pulang dengan ongkos sendiri. Bahkan, saat makan malam, mereka  mesti jajan di luar, Gudeg Sagan, karena memang tak ada jatah makan malam dari panitia. Mereka paham hal ini.

Di ruang itu, saya dimantapkan bahwa PHI ini betul-betul wadah yang tepat sebagai organisasi pembelajar. Saya tidak salah memilihnya sedari awal berdiri. Saya langsung menemu kawan-kawan yang berasa satu keluarga, yang satu frekuensi, yang gampang mengulurkan tangan. Yang tidak bosan mengasah pikiran via buku-buku berbobot, buku-buku kritis. 

Di PHI, saya dan kawan-kawan didesak untuk tidak mengumbar kemarahan. Karena kemarahan hanya luapan emosional yang tak teragendakan. Yang tak bertarget jangka panjang. Yang tak sempat menelisik kedalaman masalah.

Kami terbantu untuk belajar mengembangkan gerakan yang mesti ber-platform, yang berorientasi visi. Yang menyoal isi bukan kulit. Yang mendasar, bukan yang di atas permukaan. Bergerak dalam rencana-rencana aksi yang terukur, yang dikonsensuskan bersama. Dan, yang hanya mementingkan diri sendiri sedianya menyingkir, karena sama artinya ia telah berbuat zalim pada nasib generasi mendatang. 

Singkatnya, PHI bukan sebuah kerumunan yang sekadar berkumpul dan menuntaskan hajat sesaat, melainkan sebuah barisan rapi. PHI adalah organisasi yang mengerti betul adanya ketidakberesan di dunia pendidikan. PHI tidak akan mengurusi luaran homeschooling: apa kurikulum dan bagaimana metode belajar? Ada hal mendasar yang digarap PHI: persoalan ketidakadilan yang telah nyata-nyata menggerus esensi pendidikan informal.   

Di Yogya

Di ruang itu, 28-29 April 2018, saya berusaha menghirup dalam-dalam atmosfer kesadaran: kalau tidak kita benahi sekarang, sama artinya sedang menggali lubang kubur untuk anak-anak.  Langkah yang tak bisa ditunda-tunda lagi. 

Maka, masih di tahun yang sama, 2018, flyer-flyer sosialisasi homeschooling pun mewarnai media sosial. Terang sudah, ke mana PHI menghela arah mata anginnya. PHI sungguh-sungguh bukan sekumpulan orang yang tiba-tiba bangun akibat mimpi di siang bolong. Mimpi reaksioner, yang hanya sibuk bereaksi merespon isu-isu yang berseliweran di media sosial. 

Saya berani bersaksi bahwa PHI bukan sejenis organisasi yang terbentuk karena sikap reaktif atas keadaan homeschooler semata. Namun, PHI merupakan akumulasi perjalanan panjang para praktisi pendidikan informal yang bekerja senyap. Yang lahir dari kajian mendalam tentang idealitas pendidikan berbasis keluarga. Yang terbentuk karena ada asa soal masa depan generasi luhur. Generasi berkarakter mulia. Tentang anak-anak yang sepenuhnya menikmati merdeka belajar. Anak-anak yang tanpa diskriminasi memperoleh asupan pendidikan berkualitas. 

Dan, PHI sampai hari ini, sudah empat tahun bergerak semenjak Rapat Nasional perdana tahun 2017, masih mengusung idealitas tersebut. Masih juga memperjuangkan hak kemerdekaan belajar. Membangun kesadaran kritis para pesekolah rumah. Mendorong aparat pemerintah untuk serius menangani pendidikan yang memfasilitasi humanisasi, yang membebaskan, dan yang memelihara kemajemukan.

Dari flyer yang beredar, esensi homeschooling beserta legalitasnya menjadi target awal gerakan. Menjawab pertanyaan-pertanyaan: Apa itu homeschooling? Apakah yang mengundang guru privat ke rumah? Atau yang mengikuti bimbingan belajar di sebuah lembaga profit? Lantas bagaimana ijasahnya? Bisa tidak untuk melamar pekerjaan atau melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi? Dan seterusnya.

Ya, begitulah  PHI, yang memang (dan barangkali) sekadar sebuah noktah di atas lautan sejarah negeri ini, tetapi paling tidak hingga hari ini, saya merasa PHI tampil konsisten sebagai perkumpulan praktisi homeschooling yang berdaya. Yang turut serta berlelah-lelah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang bergotong royong dalam kerangka besar turut merawat kemajemukan bangsa. Merawat kebhinekaan. 

Beriang gembira demi masa depan anak

Upaya itu terasa sampai hari ini.  Saya sungguh merasakannya. Walau dalam dua tahun ini pandemi corona mewabah. PHI tetap bergerak dengan menumpang ruang zoom, yang sebetulnya bukan hal baru buat aktivis PHI. Karena sejak tahun 2019, para penggiat PHI telah biasa menyelenggarakan rapat-rapat mendadak via media sosial: whatsapp group dan ruang zoom. 

Maka, begitu Virus corona atau Covid-19 merebak pertama kali di Wuhan pada 31 Desember 2019 dan mengglobal sampai hari ini, yang praktis tahun 2020 -2021 masyarakat berbondong-bondong migrasi ke ruang zoom, aktivis PHI telah biasa dengan ruang baru itu.

Akhirnya, penting untuk dicatat, bergerak adalah sifat asli PHI. Mengupayakan pergeseran paradigma pendidikan adalah proses yang entah sampai kapan, karena di sana sini persoalan mendasar pendidikan masih menjadi konsumsi eksklusif aktivis, belum menjalar sebagai problem bangsa. 

Begitu.

Ungaran, 06/11/2021

Post a Comment

2 Comments