Terdikte Allah

dari khazanah ulama

Inilah alasan saya menyukai setiap pengajian Gus Baha. Ia, bagi saya, adalah gambaran Islam yang penuh kecendekiawanan, bukan kesangaran. Islam yang penuh riang gembira, tidak garing.

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, yang akrab dipanggil Gus Baha, adalah satu dari sekian pakar Tafsir Al-Qur'an di Indonesia. Saya baca dari berbagai sumber, ia satu tim dengan Prof. Quraish Shihab di Dewan Tafsir Nasional. Dan yang lebih mengagumkan, Gus Baha adalah mufasir yang berlatar pendidikan nonformal. Seorang cendekia yang tak bergelar akademis. Ia bersanding dengan para profesor, doktor dan ahli-ahli Al-Quran, dengan hanya bermodal pendidikan dari dua pesantren.

Gus Baha kecil mendapat gemblengan keilmuan dari ayahnya sendiri, Kiai Nursalim, di desa Narukan. Kemudian saat remaja, Gus Baha mondok di Pondok Pesantren Al Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang. Ia berkhidmat kepada KH. Maimoen Zubair.

Kini kita melihat Gus Baha sebagai sosok ulama penuh humor, cerdas, dan berkepribadian sederhana. Gus Baha bergaya hidup sederhana. Ia menghindari keinginan menjadi “manusia mulia” sebagaimana dikte keumuman. Itulah yang hingga kini, kita tetap melihat Gus Baha tampil sederhana, berkemeja putih dan berkopiah hitam. Tampil dengan bahasa yang lugas, tapi menenteramkan hati jamaah atau pendengar.

Adalah pada tanggal 14 Juli 2020, ia didaulat untuk berceramah di hadapan para dosen dan segenap civitas akademik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sebagaimana lazim dia, hadir sebagai kiai tradisional, tapi berkualitas tinggi isi materi ceramahnya.

Ia mengkritik para dai yang acap mengeklaim diri mengajak ke Allah dan Rasul, tapi sebetulnya mengajak kepada kelompoknya sendiri. “Saya ini termasuk kiai yang masih orisinil,” kelakar Gus Baha. “Suatu saat atau kapan saja, saya sudah tak laku sebagai kiai, asal Islam jalan saya tetap senang. Karena nggak penting yang populer saya atau bukan, itu nggak penting, yang penting Islam tetap jalan.”

Gus Baha mengingatkan bahwa perbedaan antara nafsu dengan komitmen beragama itu tipis sekali. Pernah suatu ketika ada seorang pemuda lewat, dengan cueknya, di depan masjid yang sedang dipakai majelis Nabi Saw. bersama para sahabat. Terang saja banyak sahabat mengomel: “Celaka benar pemuda itu!” 

Nabi Saw. justru membela: “Ketahuilah, pemuda itu akan mencangkul lahannya. Dia yang bekerja mencari nafkah demi keluarganya, demi kebaikan, itu adalah bagian dari ajaranku.” 

Begitulah. Nabi Saw. malah berbesar hati bahwa kerja meladang seperti pemuda itu juga bagian dari ajaran Islam. Bahwa pelaksanaan ajaran tidak mesti maujud datang ke majelis Nabi Saw. “Dan bisa saja yang sedang hadir dalam pengajian itu orang-orang yang lagi menghindari omelan istrinya. Mungkin pula, anak-anak UMM yang ke pengajian sekarang ini lantaran bosan jalan-jalan. Jadi nggak mesti pula yang datang ke pengajian itu niatnya benar.” canda Gus Baha.

Nah, di dunia kiai-kiai yang masih orisinil, nafsu itu benar-benar dilatih. Dan, yang hilang dari peradaban modern kini, Allah tak begitu hadir di hati kita. Allah tak begitu mendominasi kita. Karena toh nyata, bukan Allah yang sebetulnya mendikte kita, melainkan keadaan.

Acap kali kita ini, entah dosen, doktor, profesor, atau kiai sekali pun, didikte oleh orang bodoh. Sekira orang bodoh itu menjengkelkan, kita pun larut ikut jengkel. Nah, kita yang jengkel karena dijengkelkan itu namanya terdikte, dan itu jelas bodoh. Larut bersama kebodohan. Jikalau kita betul-betul pintar, semestinya hanya bisa didikte oleh Allah swt. Dan di antara hukum Allah itu adalah kita selayaknya berbuat baik kepada yang telah berbuat buruk. 

Gus Baha mewanti-wanti bahwa persoalan dewasa ini, baik orang pintar maupun bodoh sama-sama bisa terdikte oleh keadaan sekeliling. Maka, agama itu unik: “berbuat baiklah kepada orang yang berbuat buruk padamu! Sambunglah orang yang memutus kamu!” Dengan demikian, kita hanya terdikte oleh Allah bukan keadaan, bukan oleh hukum sosial.

Sekira kita membaiki orang baik, itu wajar sekaligus gampang. Namun, sebaliknya, berbuat baik pada orang yang berbuat buruk itu yang susah, dan itulah yang justru jadi hukum agama atau perintah Tuhan. Bahwa kita sepatutnya hanya menjadi objek Tuhan. Bahwa kita jangan jadi objek keadaan. Bahwa kita harus berkomitmen untuk selalu berbuat baik, walau situasi sekeliling terus saja mengombang-ambingkan kita.

“Nabi Saw. terhadap orang munafik itu sabarnya minta ampun, padahal beliau tahu orang itu munafik. Karena dengan cara begitu, kebaikan Nabi Saw. itu adalah atas perintah Allah, bukan atas nama servis. Sehingga kita yang hidup di kurun kini mesti menghidupkan ajaran agama, yakni hanya akan bersedia didikte Allah.”

Betapa Islam merupakan agama yang tidak didikte oleh materi. Semisal kita ingin makan enak, jawaban Islam jelas, kita harus lapar banget. Buktinya, ketika puasa, kita memandang tahu tempe itu istimewa. Air putih pun menarik. Dan, kita lahap saat berbuka. 

Sehingga enak tidaknya makanan, bukan karena selarasnya makanan itu dengan selera kita. Bukan karena bakso malang, bukan karena sate, atau apa saja yang umumnya enak-enak itu, melainkan oleh rasa lapar. Lauk terbaik adalah lapar banget. Sabda Nabi Saw.: “Kita ini adalah kaum, kita ini komunitas masyarakat yang tidak akan makan kecuali lapar. Dan, kala sudah makan, akan berhenti sebelum kenyang.”

Kita tidur juga demikian, enak tidaknya bukan lantaran berbaring di atas kasur empuk, melainkan oleh rasa kantuk yang teramat sangat. Alhasil, kita hidup tak lagi terdikte materi. Islam mengajarkan itu. Nabi Saw. meneladankannya. Dan, ulama (yang orisinil) akan dengan riang hati mewarisi ajaran sang nabi. 

Ya, seyogianya kita hanya akan terdikte Allah.

Baca juga: Hanya Allah yang Penting


Post a Comment

0 Comments