Terpikat Forum TBM

 Raker Forum TBM

Bersahaja. Itulah kesan yang mengemuka di benak saya, setiap kali mengikuti obrolan daring mereka. Mereka berangkat dari latar dan profesi yang beragam, tapi terjun ke dunia literasi dengan sepenuh hati. Jauh dari hura-hura politik. Jauh dari gesekan kepentingan. Kalau pun ada, tak lebih dari sekadar bumbu pertemanan.

Akhirnya, harapan akan sebuah perkumpulan yang spesifik menyeru pentingnya membaca itu masih ada, bahkan terus menggema. Titipan cita-cita masih dapat dialamatkan kepada mereka. Paling tidak, usai Kang Opik, sapaan akrab Opik, M.Pd, mengumumkan susunan Pengurus Pusat Forum TBM periode 2020-2025. Kang Opik, sang ketua umum, meminta saya turut menjadi bagian dari awak Perahu Forum TBM. Saya diminta menempati Divisi Program, guna menyusun kegiatan-kegiatan yang menyasar masyarakat luas (berat aslinya, saya tak terbiasa merumuskan program kegiatan).

Forum TBM yang dilambangkan perahu dan lembaran buku terbuka, merupakan wadah berhimpun para pegiat TBM, penggerak komunitas dan masyarakat. Berhimpun untuk bersama turut mengembangkan gerakan literasi. Bersama-sama mengikhtiari negeri ini sebagai bangsa pembaca.

Telah berseliweran makna literasi, seiring pelbagai komunitas yang mengusung isu ini terus mengembang dan meluas. Bahkan aparat pemerintah—Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—telah menyusun modul enam literasi dasar, wujud manifestasi Gerakan Literasi Nasional. Enam literasi dasar itu adalah literasi baca-tulis, literasi digital, literasi sains, literasi numerasi, literasi finansial, dan literasi budaya-kewargaan.

Namun, Forum TBM memaknai literasi sebagai kecakapan hidup. Dan, saya menangkap literasi baca masih menjadi induk dari segala jenis literasi yang mendukung kecakapan hidup. Buktinya, dari zaman kuno hingga kini, masyarakat literat itu masih ditandai dengan adanya kemauan dan kemampuan membaca. 

Saya masih suka terenyuh dengan catatan dari pelbagai diskusi bahwa rata-rata minat baca masyarakat Indonesia hanya 0 sampai 1 buku per tahun. Padahal minat baca di Amerika Serikat, misalnya, itu rata-rata bisa 10 sampai 15 buku per tahun. Dengan Malaysia saja, negeri serumpun kita, rata-rata sampai 3 buku per tahun. Artinya, kita benar-benar mengalami ketertinggalan.

Semula saya termasuk yang tak percaya bahwa minat baca masyarakat kita rendah, terutama anak-anak. Saya ke mana-mana bilang: minat baca kita tinggi, cuma daya beli buku saja yang rendah. Sehingga, itulah salah satu pentingnya kehadiran Taman Bacaan Masyarakat untuk menyuplai bahan bacaan. Untuk memudahkan masyarakat mengakses buku bacaan secara gratis.

Semula saya meyakini minat baca kita itu tinggi.Namun, keyakinan tersebut lambat laun pupus, seiring dominasi sihir teknologi digital menyerbu ruang privat kita. Terlebih hari-hari ini, kita beramai-ramai migrasi ke ranah virtual. Saya tak percaya lagi, selain daya beli buku memang rendah, minat baca kita sesungguhnya juga masih minim. Acap saya mendapati apologi: minat baca kita tidak rendah kok, buktinya pengguna media sosial facebook kita yang tertinggi keempat setelah India, Amerika Serikat, dan Brazil. 

Baiklah, cuma kemudian pertanyaannya: apakah para pembaca facebook itu juga sudah menjadikan perpustakaan sebagai bagian dari hidup keseharian? Apakah para pengguna media sosial itu sudah mengenal kata perpustakaan, bahkan istilah Taman Bacaan Masyarakat, seperti halnya mereka familiar dengan kata restoran? Apakah mereka sudah menjadikan membaca buku sebagai aktivitas favorit? 

Dari situlah saya menikmati kebersamaan di Forum TBM yang bersahaja ini, lantaran jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah “belum”. Saya berkesimpulan bahwa anak-anak sekolah kita saat ini sungguh rendah minat untuk membaca, terutama membaca buku-buku “serius”. Di luar jam sekolah, mereka lebih sering terlihat terpana di depan layar gadget, asyik internetan, atau mendengarkan musik.

Sudah jamak pula, tidak hanya siswa sekolah, para mahasiswa lebih suka dengan materi audio-visual (seperti video), ketimbang materi tulisan. Saya kerap mendapati fakta, hampir semuanya memuji-muji materi video, tetapi hanya sedikit yang menyebutkan terinspirasi dari buku. Jelas hal ini pasti bukan faktor kebetulan.

Nah, Forum TBM yang bersahaja ini sekali lagi berhasil memikat saya. Saya menemu wajah masa depan cerah. Mereka bersahaja, tapi bersemangat, sangat antusias, dan berkomitmen untuk menggerakkan masyarakat jadi pribadi-pribadi pembaca. Dari ungkapan dan tatapan wajah teman-teman yang berjiwa relawan, yang bekerja tanpa pamrih, saya membayangkan gerakan literasi kian merembes hingga ke ujung pelosok. Bangsa yang berbudaya literasi tinggi tidak lagi tersemat dalam kitab omong kosong. 

Mereka sedikit! Memang penggiat TBM yang berhimpun di Pengurus Pusat Forum TBM tidak banyak. Benar, mereka hanya segelintir. Namun, sebagaimana Margaret Mead pernah mengatakan, “Jangan pernah remehkan kekuatan satu kelompok kecil warga negara yang serius berpikir dan berkomitmen, mereka ini dapat mengubah dunia.” 

Mereka memang kelompok kecil, tapi yang saya tahu mereka itu berjejaring luas. Mereka menulis. Ada yang telah mengorbitkan buku dan mengusungnya ke mana-mana. Mereka menggelar buku bacaan gratis di rumah-rumah. Mengadakan kursus kerelawanan. Mengadakan temu wicara. Dialog-dialog mengulas isi buku.

Singkatnya, dari pertemuan perdana pengurus, usai Munas ke-IV di Semarang, saya merasakan denyut semangat mereka itu. Suara mereka sudah pasti tak akan layak jual di ranah kampanye politik, tapi justru secara riil mereka terus berbuat. 

Mereka tidak mau tinggal diam dalam proses perubahan yang memang akan terus berjalan. Mereka sadar bahwa kegiatan literasi itu kerja sosial. Kerja yang tak banyak peminat. Kerja yang kecil kemungkinan mendatangkan pendapatan ekonomi. Mereka sadar sesadar-sadarnya, bahwa tidak sedang bekerja di ranah bisnis oriented, tetapi layaknya pekerja sosial. 

Maka, bukan perolehan ekonomi yang teraih, melainkan penghargaan sosial. Saya terpikat kerja bareng mereka. Mengarus bersama untuk mendendangkan Indonesia Membaca, mars TBM, di atas perahu Forum TBM. 

Dan, belum lama ini, menjelang tutup tahun 2021, Forum TBM menyelenggarakan rapat kerja di Baturraden, Kabupaten Banyumas, 26-28 November 2021. Lagi-lagi tersemat ikrar dalam hati saya, betapa membaca buku harus menjadi kebiasaan. Sembari tidak bosan-bosan untuk menggelar perjamuan buku-buku bermutu di mana pun saja. Sebelum telanjur anak-anak kita itu menjadi generasi tanpa buku.

Sungguh, nikmat Tuhan apa lagi yang pengin dicari! Bahkan Tuhan pun menghardik, “Terkutuklah manusia karena mudah sekali mengingkari nikmat Allah.” (‘Abasa: 17).

Ungaran, 30/11/2021

Baca juga: Ibarat Sungai dengan Airnya

Post a Comment

0 Comments