Sastrawan sekaligus sejarawan kondang, Dr. Kuntowijoyo, dalam salah satu tulisan mengulas pergeseran pemikiran di Indonesia: mitos-ideologi-ilmu. Mitos adalah abstraksi dari yang konkret. Kenyataan ditangkap sebagaimana cerita dewa-dewi atau pahlawan yang penuh adikodrati. Singkatnya, fenomena mitos tampak dari kecenderungan menghindari yang konkret, memasuki yang abstrak.
Sedangkan ideologi merupakan cara berpikir yang berlandas pada kumpulan konsep baku, atau bersistem. Sementara ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu yang disusun berdasar metode pengamatan atas fenomena, yang digunakan untuk menerangkan kenyataan.Saya mencatat warna budaya dan politik negeri ini masih belum jauh-jauh dari mitos. Tradisi ruwatan, menggelar wayang kulit semalam suntuk, dalam rangka mengusir hari sial, masih mengakar erat. Ada hitungan hari baik untuk menyelenggarakan hajatan pernikahan, pindah rumah, atau khitan anak laki-laki. Dan, di sana sini kita akrab menyaksikan sesaji di bawah pohon besar, di makam-makam keramat, yang konon buat mengadang bencana sekaligus beroleh berkah. Acara padusan, mandi bersama di sendang jelang puasa ramadan, juga masih menjadi acara “wajib” sebagian masyarakat.
Demikian pula di ranah politik. Mitos wong agung, ratu adil, masih laris manis. Soekarno, sosok kharisma, sang penyambung lidah rakyat, bapak revolusi, kerap dijadikan ikon, yang gambarnya bersanding dengan kepala banteng, lambang PDI Perjuangan. Mitos tentang trah/keturunan, membuai masyarakat bahwa keluarga Soekarnolah yang patut memimpin partai berlambang kepala banteng. Megawati, selaku ketua partai, tak tergantikan hingga beberapa kurun. Pun Soeharto, pelan-pelan dibangkitkan kembali dari kubur, dengan gambar murah senyumnya dan tulisan “isih penak jamanku tho” menghias di dinding belakang mobil truk. Fenomena mitologis juga mendera Gus Dur, Abdurahman Wahid. Beliau masuk daftar tokoh yang dimitoskan: sebagai bapak pluralisme, sebagai wali Allah yang ngerti sak durunge winarah, mengerti sebelum kejadian. Tak ketinggalan Susilo Bambang Yudhoyono, disebutnya sebagai bapak demokrasi. Amien Rais, tokoh reformasi. Hingga Joko Widodo sebagai satrio piningit, yang sanggup mengatasi masalah Indonesia.
Seiring dengan mitos, warna ideologi juga turut mewarnai, terutama di wilayah politik. Pemilu tahun 1955, pemilu yang mengetengahkan pertarungan ideologi: nasionalisme, komunisme, dan Islam. Kemudian pemilu 1999—dan terus berlanjut hingga 2019, dan entah akan sampai kapan—konon sebagai pesta demokrasi yang seirama dengan pemilu 1955, pertarungan ideologi kembali menyeruak setelah terbungkam pada era Soeharto.
Padahal ideologi-ideologi itu terlampau kaku menghadapi kenyataan. Komunisme, bahkan Marxisme, berhadapan dengan dinding tebal ketimpangan ekonomi. Dunia kini larut dalam pusaran perdagangan bebas. Begitu juga ideologi Islam kesulitan menyelaraskan dengan kemajemukan bangsa, bahkan kemajemukan umat Islam. Oleh karena itu, pergeseran cara berpikir ideologis menjadi ilmu adalah keharusan.
Ranah ilmu menuntut kita bisa bersikap terbuka, mengakrabi perbedaan, dan menjunjung kebebasan berpikir. Sebaliknya corak pemikiran ideologis cenderung kaku dan tertutup. Nah, perihal corak keilmuan, aktivitas yang tak bisa ditawar adalah menggalakkan kegairahan belajar. Istilah belajar di sini saya pahami sebagai upaya memahami suatu secara lebih. Sehingga, aktivitas yang dimaksud adalah membaca. Sebab membaca tidak sekadar menggali informasi, tetapi jauh lebih penting lagi adalah untuk meningkatkan pemahaman.
Bagi kalangan terpelajar, seperti siswa sekolah, pendidik, dosen, cendekiawan, budayawan, atau pun seniman, tidaklah tabu dengan tradisi membaca. Namun, berbeda dengan kebanyakan. Membaca belum dianggap pekerjaan yang menguntungkan. Mereka menilai: hanya akan membuang waktu, pemborosan energi, tidak produktif.
Kita patut miris dengan minimnya kegiatan membaca ini. Namun bisa jadi kita juga harus terpaksa maklum, karena memang kita tidak disiapkan menjadi individu pembelajar. Mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sekadar dicetak menjadi kuli pembangunan, buruh pabrik baik domestik maupun internasional dan manusia subsistem lainnya. Konon saat kita berkesempatan duduk di bangku sekolah, tidak ada tuntutan untuk sanggup mandiri, tidak ada pembiasaan kegiatan penelitian, tidak ada dorongan untuk mengembangkan daya cipta. Sekolah-sekolah yang bertebaran sebatas membenarkan teori dan menghafal banyak pepatah, sehingga gagap begitu selesai sekolah dan mengantongi ijazah perguruan tinggi.
Keprihatinan betapa mutu pendidikan kita dan etos pas-pasan guna menggali pengetahuan, sepatutnya bersama-sama kita sikapi dengan kepala dingin. Budaya lisan lebih semarak ketimbang budaya membaca. Apalagi kini, budaya digital telah merasuk ke nadi. Jadi, belum juga kita membiasakan kegiatan membaca sebagai peralihan dari budaya lisan, kita sudah tesergap oleh budaya digital. Sehingga, maraknya budaya desas-desus, gosip ria, dan hobi mengumpulkan bahan bualan yang minim data dan fakta, harus kita tandingi dengan aktivitas literasi. Literasi dari bahasa Latin, literatus, artinya orang yang belajar. Lalu, kita hanya bisa belajar dari “yang lebih baik”, yaitu membaca dengan tujuan mendapatkan pemahaman, bukan mengingat lebih banyak informasi dengan tingkat pemahaman yang sama.
Maka, budaya tanding atas budaya lisan dan digital di sini tidak dengan menuntut MUI agar menerbitkan fatwa haram acara infotainment TV, fatwa haram menggunakan fasilitas jejaring sosial, dan seterusnya, dan sebagainya. Sebab hal itu malah kontraproduktif, tidak tepat sasaran. Bukankah hukum yang berlaku di kehidupan ini hukum tarik-menarik? Artinya semakin besar energi negatif yang kita lahirkan, sebesar itu pula energi yang kita tuai. Makin latah kita membodoh-bodohkan pihak lain, berarti kita sendiri yang sesungguhnya bodoh.
Fakta kekonyolan di masyarakat itu data. Masyarakat dan kita sendiri acap kali lengah terbuai oleh guyonan-guyonan murah ala “bukan empat mata”. Kita sedemikian khusyuk memelototi “opera van java”. Atau pun asyik dengan Drama Korea, dan sejenisnya. Nah, kecenderungan itu bukan berarti harus dimatikan. Sebab belum tentu kita akan lebih produktif menghasilkan karya adiluhung tatkala seluruh media menayangkan acara dokumenter pengetahuan.
Lalu? Langkah praktis yang bisa saya tawarkan adalah mencipta suasana belajar di rumah masing-masing. Setiap pojok ruang, kita hiasi dengan tumpukan buku yang tertata rapi. Bahkan di ruang tamu yang biasanya hanya kita isi dengan asesoris impor, bisa kita selipkan satu dua buku guna menemani asesoris yang ada. Selagi senggang, selain asyik dengan ragam acara TV, bisa sesekali melirik samping kanan kiri ruangan yang terpajang tumpukan buku. Lambat laun kita akan tersapa oleh buku-buku, yang akhirnya hobi mengunyah buku. Buku yang saya maksud di sini pun bukan sembarang buku, melainkan buku-buku berbobot tinggi. Karena, sekali lagi kita tidak semata untuk mendapatkan informasi, apalagi hiburan, tapi meningkatkan pemahaman.
Memang, akhirnya bukan pekerjaan yang seolah tinggal membalik telapak tangan. Butuh kesiapan mental dan energi yang tidak gampang putus asa. Sebab kita sedang bertanding budaya. Peralihan budaya di negeri ini berbeda dengan peralihan yang terjadi di Barat. Eropa mengalami peralihan runtut, elegan bin mulus: budaya lisan—budaya membaca—budaya digital. Sementara di kita, ada lompatan dari budaya lisan langsung ke budaya digital. Budaya membaca belum tergarap secara matang. Tak pelak, Indonesia menjadi penyumbang jumlah pengguna media sosial, terutama facebook, terbesar urutan keempat setelah India, Amerika Serikat, dan Brazil. Hal itu sekaligus mencatatkan nama Indonesia sebagai negara di Asia Tenggara dengan jumlah pengguna media sosial paling banyak.
Lantas, ya, sekali lagi, guna turut menyemarakkan kegemaran membaca tidak cukup dengan menunggu dan mengandalkan seruan para pemuka agama, tokoh cendekia, atau pun duta baca. Tapi segenap lapisan mesti bergandeng tangan, dan hal simpel yang bisa kita kerjakan adalah membikin perpustakaan mini di rumah. Keberadaan perpustakaan tersebut dengan sendirinya akan menebar aura belajar sepanjang hayat kita di rumah. Meski tidak sampai tuntas mendalami isi satu buku, misalnya, toh minimal dalam keseharian kita terbiasa membaca judul-judul buku yang terkoleksi.
Suasana pustaka ini setidaknya akan turut megisi ruang kosong di tengah budaya digital yang memang tak bisa ditawar lagi. Suka tak suka, kita dikelilingi oleh banjir informasi media sosial. Ya, antara rela tak rela. Oleh karenanya, buku adalah mitra dialog yang kudu dihadirkan. Memang, bisa saja kita cukup membaca koran, majalah, atau mendengar radio, menonton televisi, atau menyuntuki facebook, instagram, dan media online yang lain, tapi itu hanyalah pengayaan informasi. Itu hanya untuk menambah pundi-pundi informasi, tetapi tidak bisa meningkatkan pemahaman, karena pemahaman kita setara dengan bacaan, atau tontonan, atau status-status dan kolom di media sosial. Sedangkan tatkala membaca buku—pinjam istilah Charlotte Mason, buku bermutu living book—yang bercita rasa sastrawi, bisa meningkatkan pemahaman, memantapkan visi hidup. Sekaligus kita bisa berelaksasi.
Alhasil, membaca buku, selain mendapatkan informasi dan pemahaman, kita juga akan mendapatkan hiburan. Maka, di tengah kemelut globalisasi yang serba digital ini, kita benar-benar harus menjadi individu terbuka, menjunjung kebebasan berpikir. Individu yang tidak alergi dengan ragam gagasan. Teknisnya, ya, hadirnya sebuah ruang pustaka di mana-mana. Maka, mari bikin pustakaloka kecil di rumah! Paling tidak begitu.
Ungaran, 09/12/2021
Baca juga: Mengandai Living Books dan Narasi Living Books
0 Comments