Ayahnya seorang hakim dan ibunya guru. Demikian Wien Muldian. Saat bincang santai Aku, Buku, dan TBM bersama Heri Maja Kelana, Jumat 12 Juni 2021, ia mengenang masa kecilnya. Berangkat dari lingkungan keluarga yang familiar pengetahuan, sedari kecil Wien sudah akrab dengan buku. Bahkan sejak kelas 4 SD, membaca buku tak sekadar sebagai hiburan, tapi juga ia hayati bak kebutuhan untuk menyadap informasi atau pengetahuan. Baginya, bacaan itu sumber referensi.
Ketika SMA, ia bikin kelompok ilmiah remaja yang fokus pada kajian ilmu sosial, Kelompok Penelitian Humaniora. Saat itu ia prihatin, komunitas-komunitas remaja yang ada hanya berkutat seputar eksplorasi alam dan bimbingan belajar. Tidak lain.Tahun 1996, Wien yang masih mahasiswa UI, mendapat kesempatan pendidikan singkat di Jepang. Ia mengamati pendidikan dan budaya di sana. Sekembali ke Tanah Air, ia kian menggebu membuat macam-macam aktivitas literasi. Dan memang, sebagaimana ungkap Heri, Wien Muldian benar-benar kaya gagasan soal pengembangan literasi di negeri ini. Bagi Wien, literasi itu bersierat dengan perubahan kapasitas diri sekaligus perubahan sosial.
“Buat saya bacaan itu tidak hanya sebagai hiburan, tapi juga bagian dari membangun kecakapan hidup.” ujarnya.
“Sehingga TBM,” imbuhnya, “sedianya bukan sebagai penyedia akses bacaan saja, melainkan bagaimana bacaan-bacaan itu bisa membawa kecakapan untuk orang bisa mengembangkan kapasitas diri lebih baik. Membawa lingkungan berdaya.”
Dan menariknya, Wien Muldian memiliki penjelasan unik soal TBM. Menurutnya, sebuah taman bacaan adalah konsep paling sederhana dari sebuah perpustakaan. Biasanya bermula dari perpustakaan keluarga, berkembang menjadi taman bacaan, hingga bermuara sebagai perpustakaan komunitas.
Taman bacaan koleksi bukunya baru sekitar 100, atau 200 saja. Setelah koleksinya mencapai 10.000 atau 20.000, sehingga mensyaratkan sistem perpustakaan untuk mengklasifikasi buku agar memudahkan pengelolaan,.sebetulnya bukan lagi taman bacaan, melainkan perpustakaan. Karena dikelola komunitas, tersebutlah Perpustakaan Komunitas.
Dari situlah, Wien berpesan, “Sudahlah, usah dipertentangkan lagi antara TBM dan Perpustakaan! Janganlah memperbandingkan antarpusat belajar, antarpusat-pusat pengetahuan, hanya karena istilah, hanya karena nama!”
Wien menegaskan, terlebih hari-hari ini, membincang Perpustakaan Komunitas maupun TBM, semestinya bukan lagi soal pengiriman buku, bukan lagi bagaimana buku diakses. Era sekarang, lebih dari sekadar buku. Karena ternyata bacaan tidak hanya didapat dari buku. Konten ada di mana-mana, pengetahuan berhamburan di sana-sini. Yang terpenting kini, bagaimana kita sanggup mengelola konten yang ada di sekitar menjadi konten berkualitas.
Bahwa era sekarang era imajinasi, bukan lagi era buku. Era, di mana pengetahuan bisa memuaskan imajinasi. Sehingga, akhirnya jelas, sungguh bukan lagi soal minat baca, bukan lagi kegemaran membaca, melainkan membangun daya baca. “Bukan daya buku lho ya, bukan buku lagi urusannya.”
Dari daya baca meningkat menjadi daya literasi. Bahwa taman baca sewajarnya merupakan taman yang bisa menghasilkan karya dengan semua pengetahuan yang bertebaran itu. Bahwa taman baca, wahana berkarya seperti menulis buku, bikin koreografi tari, bikin robot, resep makanan, dan bikin lagu,
Sebuah taman bacaan sedianya menjadi agen, sebagai ujung tombak perubahan sosial. Karena dialah yang terdepan dalam mengetahui dan mengelola pengetahuan. Hanya sayang, ungkap Wien, sebagian besar pegiat masih sibuk dengan dirinya sendiri.
Sudah saatnya, TBM fokus membangun daya baca, daya literasi, dan mencipta lingkungan berkarya, serta menjadi tempat menyimpan pengetahuan lokal yang ada di sekitar TBM. Alhasil, bukan lagi buku fokusnya, kecuali buku tersebut memang bisa mengantar kepada capaian-capaian baru, kepada perubahan kebudayaan.
Wien yang juga Ketua Umum Perkumpulan Literasi Indonesia itu berharap, pegiat TBM wajib berbenah, terus berubah. Pantang bosan membangun kapasitas demi kepentingan masyarakat, demi pemberdayaan ekonomi. Pegiat harus mulai memahami sumber belajar dan bacaan apa yang tepat disuguhkan. Bacaan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh lingkungan sekitar. Bahwa konten pengetahuan itu, sekali lagi tidak hanya dari buku, tapi dari mana saja.
Berikut, yang tak kalah penting, pegiat juga mesti mencipta konten-konten positif. Sehingga, hoaks yang dari sananya gampang beredar, ada konten tandingan. Seorang pegiat harus bisa menghidangkan sumber-sumber pengetahuan yang membawa kepada pendalaman. Dan, terakhir, seorang pegiat bisa memetakan kapasitas individu-individu di TBM, juga yang ada di Forum TBM.
“Era kita itu kan era membangun spesialisasi. Jadi, kita mesti membangun spesialisasi diri dengan pengetahuan yang kita sukai, yang kita minati. Dan, ingat ya, bukan berdaya buku!” tandas Wien.
Begitulah Wien Muldian!
0 Comments