Gambar saya comot dari mediaindonesia.com |
Kumbakarna, adik Rahwana, menunjukkan kesetiannya kepada Alengka. Ia yang punya kebiasaan tidur lama, bikin prajurit Alengka kesulitan untuk membangunkannya, sebelum maju perang melawan pasukan kera Sri Rama. Dan Kumbakarna mati di medan laga di tangan Laksmana.
Kematian Kumbakarna, kematian yang setengah tak diharapkan oleh para bidadari surga. Ya, bagaimanapun Kumbakarna, raksasa yang berhati putih, telah bersumpah setia untuk membela Alengka dari ancaman kehancuran. Kumbakarna gugur tidak dalam rangka memihak Rahwana, melainkan Alengka yang nyaris hancur. Kumbakarna selama hidupnya tak bersepakat dengan kebijakan Rahwana, tapi rela mati demi negeri Alengka. Dalam konteks kita, ia sosok yang right or wrong is my country.Wibisana, adik ketiga dari Rahwana, berbeda dengan Kumbakarna, yang memilih untuk meninggalkan Alengka dan Rahwana. Wibisana melihat ambang kehancuran Alengka akibat dari kesewenang-wenangan sang kakak Rahwana.
Menurutnya, Rahwana telah bertindak di luar batas kewajaran laiknya raja agung. Ia selalu memaksakan kehendak pribadinya dan mengatasnamakan Alengka. Termasuk yang paling naif, ia menculik Sinta, istri Sri Rama, yang menyulut Wibisana marah, tak tahan dan pilih membelot dari Rahwana. Tindakan Rahwana sudah tak bisa ditolerir, dan harus dilawan, kira-kira begitu yang dipikirkan Wibisana, sehingga ia bergabung dengan pasukan Rama. Wibisana mengambil sikap right is right and wrong is wrong.
Keduanya sama-sama adik Rahwana. Sama-sama dibesarkan dari kemegahan negeri Alengka. Sama-sama menentang kebijakan Rahwana. Tapi muaranya berbeda. Kumbakarna lebih memilih gugur di tanah airnya, sedang Wibisana berpihak kepada “musuh”. Nah, sikap mana yang benar?
Kisah Ramayana memaparkan keduanya dianggap ksatria, yang berhak surga. Kumbakarna, gugur dan ruhnya langsung menyatu dengan dewi yang elok penghuni surga, persis dengan karna dalam Mahabharata, yang memihak Duryodhana, tapi gugur sebagai syahid. Kumbakarna disejajarkan dengan Rama dan Laksmana, pun begitu Karna yang disandingkan dengan Arjuna, bahkan di atasnya. Kecintaan Kumbakarna atas Alengka di atas segalanya bahkan di atas dirinya sendiri yang siap dikorbankan demi negerinya itu.
Kecintaan Kumbakarna yang menuntutnya berperang melawan Rama, demi Alengka bukan Rahwana. Sehingga kematiannya pun mengundang decak kagum para dewi dari kayangan, dan merengkuhnya untuk bersemayam di surga. Kecintaan atas tanah airlah yang mengangkat derajat Kumbakarna melambung tinggi melampaui sang kakak Rahwana dan sejajar dengan para ksatria yang suci berdarah putih.
Dalam konteks sekarang, gambaran sikap Kumbakarna adalah lukisan jiwa nasionalisme. Mencintai tanah air, mencintai negerinya di atas segala. Mencintai negeri, yang dalam kondisi sekarang, saya rasa perlu dinyaringkan kembali, di mana aset-aset kekayaan nusantara pelan-pelan menghilang dari genggaman kita. Freeport, entah bagaimana kabar sekarang? Tembakau Temanggung, seni budaya Reog, ageman Keris, masihkah milik kita? Dan, gunung kapur Kendeng mosak-masik oleh kemaruk kapital raksasa.
Kumbakarna seakan menghardik, yang sebegitu gampang melepas aset-aset itu kepada kuasa modal. Kumbakarna seakan memarahi kita yang sedemikian welas asih dan dermawan, teramat ringan menjual kekayaan tambang bumi kepada kekuatan lain dengan harga murah. Kumbakarna yang di surga itu menangis atas kekonyolan kita yang gampang terbuai rayuan untuk terus-terusan mengimpor beras, gula, kedelai. Kumbakarna simbol nasionalisme. Simbol Persatuan Indonesia, sila ketiga Pancasila.
Sedang Wibisana menjadi gambaran semangat generasi seluler, yang pinjam istilah Romo Mangun, generasi pascanasional. Pascanasional bukan berarti antinasional. Pasca adalah setelah tapi masih beretikat dengan yang sebelumnya. Pascasarjana, setelah sarjana tapi masih sebagai mahasiswa. Pascanasional melampaui jiwa nasionalis, tapi tak menanggalkan autentitisitasnya sebagai anak negeri.
Wibisana itu berarti dari tangga ketiga Persatuan Indonesia menapaki tangga kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pascanasional berdimensi kemanusiaan secara mondial, tapi, sekali lagi bukan berarti antinasional.
Mudahnya begini, nasionalisme adalah tangga dasar atau pertama. Tangga kedua adalah kemanusiaan, dan spiritual atau ketuhanan sebagai puncak tangga atau yang ketiga. Urutannya: Nasionalisme – Kemanusiaan – Ketuhanan. Dalam nasionalisme belum ada kemanusiaan dan ketuhanan, baru jiwa nasionalis, cinta tanah air. Dalam kemanusiaan ada jiwa nasionalisme dan kemanusiaan minus ketuhanan. Dalam ketuhanan, terangkum jiwa nasionalis, kemanusiaan, dan ketuhanan sekaligus.
Pancasila, sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa adalah tauhid, puncak eksistensi yang merangkum sila kedua dan ketiga. Sila ketiga, Persatuan Indonesia adalah tangga dasar, jiwa pertama sebagai warganegara. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah nilai universal setelah nasionalisme, yang merangkum jiwa nasionalisme dan kemanusiaan.
Ketiga sila itu menjadi nilai utama setiap warga yang menghuni negeri, yang hidup di bawah payung demokrasi. Sementara sila keempat, permusyawaratan/perwakilan adalah teknis menggapai tujuan bersama: Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, sila kelima.
Sila pertama, kedua, dan ketiga adalah prinsip nilai, atau teknis dasar. Sila keempat merupakan cara atau sarana teknis, dan sila kelima sebagai tujuan. Maka, klop sudah ideologi yang kita punya itu. Tinggal menghayatinya saja menjadi laku sehari-hari.
Kembali ke cerita Ramayana, baik sikap Kumbakarna maupun Wibisana tiada yang salah, keduanya benar. Kumbakarna membawa pawarta nilai nasionalisme yang mesti ada terlebih dahulu bagi tiap kita yang menghuni negeri ini. Usai Kumbakarna adalah Wibisana yang mengetengahkan nilai kemanusiaan sebagai pascanasional yang berpihak kepada Rama demi membebaskan Alengka dari angkara murka Rahwana.
Kumbakarna visualisasi sila ketiga Pancasila, sementara Wibisana visualisasi sila kedua. Lantas siapa visualisasi sila pertama? Coba siapa? Tapi, awas ya! Ini bukan sekadar otak atik gathok alias gatholoco, eh, gathologi.
Ungaran, 28/12/2021
0 Comments