Heru Kurniawan

RKWK Purwokerto

Heru Kurniawan adalah inspirator. Saya datang ke rumahnya, Jumat malam, 26 November 2021. Ia bak bara yang bakal memantik siapa saja yang dekat dengannya. Ia menjadi ruang berbagi gagasan yang menyenangkan di tengah suasana yang serba minim ide-ide kreatif. Ia mendirikan Rumah Kreatif Wadas Kelir, biasa ditulis RKWK, awal 2013, di atas lahan seluas 25 X 15 meter, tidak jauh dari rumah kediamannya. Lahan itu pun hanya dikontrak, tidak dibeli. Entah alasan apa, saya tak sempat mengoreknya.

Walau Heru selalu merendah dengan menyebut diri sebagai guru anak-anak, tapi saya melihatnya jauh menjulang, lebih dari sekadar guru pendidikan usia dini. Ia seorang intelektual sekaligus aktivis gerakan. Hal itu jelas dari komitmennya yang siap menempuh segenap risiko demi terwujudnya masyarakat pembelajar. 

Heru adalah pemimpin gerakan, buktinya ia sedemikian gampang menjaring relawan-relawan yang setia mengiringnya turut berjibaku demi masyarakat yang melek pengetahuan. Heru adalah pribadi yang hangat dan teramat lekat di hati masyarakat Wadas Kelir. Sehingga, RKWK, akhirnya, seakan menjadi badan usaha milik bersama segenap warga Karangklesem, Purwokerto Selatan.

Dan, satu hal jelas, Heru Kurniawan merupakan bagian dari penggiat TBM yang bergabung di Pengurus Pusat Forum TBM 2020-2025. Ia dipercaya untuk menangani divisi penelitian dan pengembangan. Berkat tangan dinginnya, Forum TBM berhasil mengangkat buku cerita anak, sebagai ikon gerakan Forum TBM era Kang Opik. 

Nah, di malam dingin yang menyusup tulang iga, pada Jumat malam itu, sebelum bertemu Heru saya berbincang panjang lebar dengan Bayu, Ali, dan Umi, tiga relawan RKWK. Mereka berstatus mahasiswa, tapi berdedikasi sebagai pengabdi yang tulus. Jarang saya menemu pribadi-pribadi macam mereka. Kalem tapi cerdas. Tampak lembut, tetapi cekatan menyervis tamu. Sungguh mengharukan, sekaligus mengundang takjub. 

Dari merekalah, saya memperoleh keterangan ganjil tentang RKWK, juga pendirinya, Heru Kurniawan. RKWK, meski berdiri di atas lahan kontrak, tapi telah menggerakkan roda ekonomi masyarakat Karangklesem. Bagaimana tidak, para relawan itu, kini berjumlah 26, datang dari pelbagai daerah, pelbagai pelosok, tidak tinggal dengan cuma-cuma di RKWK. Mereka tinggal membaur dengan warga. Mereka istirahat dengan menyewa kamar kontrakan milik warga. Tidak dalam satu dua hari, tetapi dua hingga ada yang lima tahun.

Saya sontak tercengang: si Heru ini gila. Ia pendiri RKWK, kemudian menjaring relawan, dan menuntut relawan tinggal bersama di lingkungan RKWK. Maksudnya, relawan ini mesti siap bekerja 24 jam untuk RKWK. Namun, tak sepeser pun Heru memanfaatkan aji mumpung. Ia tak mengambil keuntungan atas kehadiran para relawan itu dengan membikinkan rumah singgah, sehingga keuntungan uang sewa masuk ke kantongnya, misalnya. Tidak. Heru justru meminta para relawan tinggal dengan mengontrak kamar-kamar milik warga di lingkungan Karangklesem.

RKWK juga tidak lantas mendirikan kantin untuk kebutuhan gizi para peserta didik, warga belajar, dan wabilkhusus para relawannya. Kantin, warung makan, dan toko kelontong, diserahkan kepada warga lingkungan untuk mengelolanya. 

Karena serasa telah jadi milik masyarakat, aula RKWK biasa dimanfaatkan warga untuk pertemuan PKK, untuk pertemuan rapat RT. RKWK pula, di mana TBM ada di dalamnya, siapa saja bebas membaca, dan diperbolehkan membawa pulang. Di situ pun, mungkin lantaran Heru selain dosen juga seorang penulis, ada kelas menulis.

Kesempatan berikutnya, RKWK menjelma menjadi industri menulis, terutama untuk menyuplai buku bacaan anak. Heru sadar, dengan memperhatikan tren dari hasil survei, penjualan buku bacaan dan aktivitas anak selalu menempati tangga tertinggi dari buku-buku lain. Dan, buku-buku yang mereka lahirkan itu pun tidak main-main, karena diterbitkan oleh penerbit besar di negeri ini, kelompok Penerbit Gramedia. Dengan sistem jual lepas dan royalti, penghasilan hingga puluhan juta rupiah pun telah menghidupi nadi RKWK.   

Kemudian, satu hal lagi yang bagi saya janggal dari sisi lain seorang Heru, adalah soal kepemilikan mobil. Heru Kurniawan punya mobil pribadi. Namun, untuk ke mana-mana di sekitaran Purwokerto, ia memilih berkendara roda dua. Mobil lebih sering ia gunakan hanya untuk perjalanan jauh dan acara-acara pergerakan. 

“Saya itu tidak berniat untuk mengendarai mobil ini sendiri. Mobil saya persilakan warga kapan saja butuh untuk menggunakannya.” kata Heru Kurniawan.

Begitulah. Selama tiga hari dua malam di Purwokerto, selain saya makin takzim kepada Kang Opik dan kawan-kawan Pengurus Pusat Forum TBM, nama Heru langsung melekat di hati saya. Saya menghirup atmosfer pergerakan yang beraroma kekeluargaan. Ia bersama para relawan begitu sepenuh hati menyervis kami, melayani kebutuhan saya. Tak sedetik pun saya dibiarkan terlantar. Dari urusan makan hingga bahkan tukang pijat. Sungguh, saya teramat marem dilayani oleh Heru, oleh relawan-relawannya. 

Bahkan perjalanan saya ke Ungaran pun menjadi lapang, berkat dia dan dua relawan yang megiringnya.

“Terima kasih, Heru!”

Ungaran, 02/12/2021

Post a Comment

0 Comments