Ibarat Sungai dengan Airnya

Di Baturraden, Banyumas

Tiga hari dua malam. Pengurus Pusat Forum TBM periode 2020-2025 berkumpul di Banyumas, persisnya di Baturraden, 26-28 November 2021. Tidak semua pengurus bisa hadir memang, tapi sedikit kehadiran mereka itu tetap representatif untuk menandai keberadaan organisasi yang mengusung agenda literasi di negeri ini.

Bagi Forum TBM, literasi bermakna sebagai kecakapan hidup. Literasi merupakan perangkat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencipta masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Masyarakat yang berdaya dan mandiri.

Nah, di ruangan yang diselimuti hawa dingin Gunung Slamet itu, mereka yang berhimpun di Forum TBM, yang terdiri para penggiat TBM, penulis, jurnalis, sastrawan, penyair dan pekerja kebudayaan, merumuskan rencana kegiatan untuk tahun 2022. Sebelumnya diawali dengan mengevaluasi kegiatan sepanjang tahun 2021.

“Semoga apa yang kita lakukan ini memberi dampak bagi penguatan gerakan literasi melalui gerakan Taman Bacaan Masyarakat.” kata Opik, biasa disapa Kang Opik, Ketua Umum Pengurus Pusat Forum TBM. 

Selama mempercakapkan dinamika Forum TBM, sejak Jumat malam hingga Minggu siang, saya tidak mendengar dengung ketidakpuasan. Bahkan bisik-bisik dalam gumam sendiri pun tak ada. Mereka tidak mengumbar gaduh penuh emosi. Justru sebaliknya, kerap terdengan humor-humor spontan yang menyulut senyum tulus, bahkan tertawa lepas.

Kami bercanda ala keluarga sendiri. Padahal latar pengetahuan, gaya hidup, budaya, dan pendapatan para penggiat ini berbeda. Ada yang datang dari pinggiran kota kecil. Ada yang tinggal di tengah keramaian kota. Dan tak sedikit yang berasal dari pedalaman desa, yang jauh dari kemudahan mengakses internet. Kami juga bukan kerumunan pelawak, bukan himpunan komedian. Hanya Bojes (sapaan akrab Heri Majakelana) yang pernah menjajal kemampuan melawak di Stand Up Comedy di sebuah audisi stasiun televisi.  

Sayang, saya telat datang. Saya tiba di lokasi Sabtu dini hari. Sehingga di obrolan pembuka pada Jumat malam, saya hanya bisa mengintip dari dokumentasi yang diunggah. Saya tidak merasai langsung canda-canda segar mereka saat mengawali rapat kerja. 

Sabtu, setengah enam pagi, kami hirup udara segar gunung. Sembari menatap awan lembab yang melayang-layang di sela dedaunan pohon pisang, kami juga dimanjakan oleh sajian menu khas Banyumas, mendoan. Tidak hanya saya ternyata, ada Deasy, Bojes, Aris, dan Kang Opik, yang keranjingan menyantap mendoan, seraya menghikmahi dinginnya lereng Gunung Slamet. 

Seusai sarapan, kami masuk aula rapat, tidak jauh dari ruang makan, yang dikelilingi oleh aneka tanaman. Sehingga, ke mana pun mata memandang, hamparan hijau benar-benar menyuguhkan aura damai. Sungguh pintar Heru Kurniawan, biasa disapa Om Guru, memilihkan tempat buat rapat kerja. 

Heni, sekretaris jenderal Forum TBM, memimpin lalu lintas perbincangan. Penggiat TBM asal Yogyakarta itu telaten mencatat jalannya rapat. Kemudian memilahkan hal-hal krusial untuk dipecahkan, dicarikan solusi, dan diputuskan sebagai rencana aksi.

Kang Opik, yang dari sononya memang aktivis gerakan, turut menambahi persoalan-persoalan yang perlu ditangani dengan segera. Pun demikian dengan Wily Ariwiguna, yang runtut dalam menyampaikan gagasan, kian menambah gayeng percaturan diskusi pada Sabtu jelang siang itu. 

Tak terkecuali Aris, Bojes, Deasy, Om Guru, Apep, dan Mama Tina (panggilan sayang untuk Suhartina), menjadikan arena rapat kerja tak terasa rapat, tapi sambung rasa. Masing-masing mengajukan usulan dan analisa, tapi tetap dengan mengendurkan tensi ambisi pribadi. Bahkan mereka itu benar-benar menampik self interest. Asyik kan!

Sabtu malam, obrolan pindah ke wisma penginapan. Sekira tetap di aula rapat jelas tidak mungkin, karena dingin makin menyerbu. Kabut turun terlalu awal, terasa lebih cepat menjemput malam. Jaket dan atau sarung pun tiada guna di luar wisma. 

Di wisma, dengan gaya ruang minimalis, kami makin asyik berolah opini tentang peran TBM dalam mengembangkan kecakapan literasi. Tentang Forum TBM yang sedianya konsisten memelihara semangat kerja dan nilai-nilai luhur pengabdian TBM terhadap masyarakat. Dan, banyak lagi pembicaraan yang lumayan menguras perhatian. Kami bersilang pendapat, dan saling meneguhkan satu dengan yang lainnya. 

Nyaris pukul 23.00, dan sebelum kami lelap, Wily unjuk kemampuan sebagai master chef. Dan, sungguh dahsyat dia. Tidak hanya pintar menyusun kalimat yang enak didengar dan gampang dipahami, ia ternyata kampiun meracik bumbu yang mengundang selera makan. 

Pukul 00.00 mayoritas dari kami baru bisa nyenyak. Hanya tersisa saya dan Aris yang masih tahan menghidupkan malam. Kami bercakap rendah, hampir berbisik. Walau akhirnya saya tidak kuat, pukul satu dini hari saya terlelap. Tinggal Aris yang ketap-ketip tidak bisa tidur. 

Minggu pagi, sebagaimana sehari sebelumnya, langit dan terik matahari masih terhalang oleh awan lembab, kami menyegarkan diri di luar wisma. Kami berjalan menuju ruang makan dan aula rapat. Di kedua ruang itu pun pembicaraan kami makin akrab. Terlebih di aula rapat, virus canda yang dibawa Deasy telah membuka simpul saraf tawa saya. Jujur, saya tidak cukup peka dan siap merespon hal-hal yang berbau jenaka dalam arena pembicaraan. Saya masih kikuk, dan kerap kesulitan mengemukakan pendapat. 

Heni membuka ruang obrolan. Seperti yang sudah-sudah, ia sedemikian terampil mengawal diskusi untuk terus bertumpu di atas rel rapat kerja. Walau canda di sana sini, tetap tak mengurangi kualitas diskusi. Dan hingga tak terasa waktu merambat cepat. Pukul 10.30 Kang Opik menutup acara. Berikutnya, kami beriring menuju penginapan berkemas.

Namun, sebelum meninggalkan penginapan, kami sempatkan untuk lebih jauh meresapi area sekitar penginapan. Kami bertandang ke Grojogan Ratu, sebuah curug atau air terjun, kurang lebih 500 meter dari penginapan. Dari situ, tebersit untuk mengasosiasikan Forum TBM dan penggiatnya dengan sungai dan air. Saya mengimani bahwa jalinan kerja-kerja literasi tidak akan bersambung apik, jika tidak diiringi oleh ikatan hati. Kegiatan-kegiatan berlangsung kaku. Pun sebaliknya, upaya mencipta jalinan hati, tanpa kaitan kerja, juga tak akan lestari. 

Singkatnya, oleh sebab demi sampai ke tepi pantai, sungai mendambakan air, sehingga keberadaannya bermakna. Begitu pula, kehadiran perahu Forum TBM yang diharapkan bisa membawa perubahan budaya literasi tidak lagi omong kosong jika berhimpun penggiat-penggiat TBM dalam suasana kekeluargaan. Berhimpun jiwa-jiwa berdedikasi pengetahuan dan penuh keakraban. Berhimpun pribadi-pribadi bercitra manusiawi, yang saling meneguhkan, bukan mengucilkan.

Begitu.

Ungaran, 30/11/2021

Post a Comment

0 Comments