“Boleh banget ta, Nak!” jawab saya sembari menoleh sekilas mengikuti langkah kakinya menuju meja makan di dapur.
“Itu lo anakmu! Saking pengertiannya, minta izin dulu! Takut kalau ayahnya nggak kebagian.” rengut Rahma, istri saya, yang kemudian turut duduk di hadapan saya di ruang utama (sekaligus sebagai ruang tamu). “Bapak anak kok bedanya 180 derajat. Si anak kalem dan tahu diri, bapake sak-sake.”
“Udah ceramahnya?”
“Belum!” jawab Rahma ketus.
Ya, makin ke sini, terlebih sembari mengingat istri dan anak-anak bersimpuh khusyuk di makam K.H. Chudlori, saya makin mengerti bahwa saya sungguh tidak mengerti apa-apa. Sekadar menebak maksud hati si sulung, juga si bungsu, masih salah-salah. Sedikit mengerti saja tidak, atau lebih tepatnya belumlah (penghibur bahwa masih terbuka kemungkinan saya mengerti). Namun, yang jelas kini saya merasa bodoh. Benar-benar goblok.
Sepintas mengintip, ya, saya hanyalah perantau kecil dari sebuah desa kecil dan kini menetap di kota kecil. Persisnya tinggal di kompleks perumahan kecil dengan tipe rumah yang juga kecil. Bersama Rahma, saya mengayuh keluarga kecil. Berpenghasilan kecil. Lantas dengan percaya diri bikin taman pustaka kecil-kecilan, dengan sarana-prasarana kecil, juga kegiatan yang bisa dibilang cuma kecil. Ah, memang nyaris serba kecil. Termasuk tubuh saya pun kecil.
Bukan sebuah riwayat gagah yang pantas diviralkan memang. Pun tak terbukti sanggup bersanding dengan para pesohor di mana pun dan siapa saja. Namun, saya patut berbangga, sedikit mengikuti jejak melodi perjalanan “sang faqir”, Muhammad Zuhri, bahwa “di sini” dan “kini” mesti selalu bertenda cinta. Berlantai duka sesama. Senang berkelakar. Bahwa saya jelas bukanlah penampilan, dan profesi karir. Melainkan spontanitas demi spontanitas yang terungkapkan.
Kenapa demikian? Sebab, “Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Pemilik Hari Pembalasan.” (al-Fatihah: 2 – 4).
Bahwa ada Manajer Tunggal Yang Adil. Dan, sewajarnya saya berebut melamar pekerjaan menjadi abdi (hamba)-Nya.
Melamar kerja untuk menjadi abdi-Nya, jelas tak perlu sekolah tinggi yang sampai menguras anggaran non-budgeting. Tak perlu mengantre ujian kesetaraan. Tak perlu ini itu. Begini dan begitu. Cukup bermodalkan “mau”. Selesai.
Sebagai “Manajer Yang Adil”, Ia pun tak pilih-pilih. Semua adalah abdi-Nya. Tak hanya kita, para manusia, segala yang ada di alam raya ini adalah abdi-Nya. Tinggal bagaimana kita. Serius menjalani sebagai abdi-Nya yang setia atau sebaliknya membelot dari-Nya. Setia menjadikan Tuhan sebagai majikan, atau malah sebaliknya menjadikan-Nya tak penting di bawah keinginan-keinginan.
Hmmmm, melamar kerja sebagai pelayan-Nya. Jujur, baru sreg merenunginya. Sadar tak sadar, Tuhan saya mangkirkan dari kesadaran. Yang utama masih berupa ambisi kebutuhan materi. Kesenangan yang tak kenal ujung. Keinginan-keinginan agar “kayak dia yang punya itu atau bisa begitu”.
Terus, bekerja kepada Tuhan? Mengabdi kepada-Nya? Tidak, tidak! Kalau toh ternyata bukanlah untuk mengokohkan pengabdian, melainkan tetap saja demi kepentingan sendiri. Kalau toh akhirnya tetap menuhankan ambisi diri sendiri. Tetap saja, saat melantunkan permohonan kepada Tuhan, lebih karena keadaan saya belum seperti orang itu. Yang karirnya keren dan bisa memuluskan setiap keinginan atas apa saja saban waktu.
Ah, harus dilatih, memang!
Nah, suatu hari saya kehilangan kamera. Tepatnya, ada kamera tapi tak bisa dipakai lagi. Sudah tiga tahun saya memilikinya. Kamera yang sebelumnya memudahkan saya untuk pamer kegiatan, unjuk kebolehan, dan narsis keluarga, telah purna tugas.
Adalah Rahma, saat dini hari pulang dari pikniknya, dengan muka merunduk menyerahkan kamera yang terendam air pantai Pangandaran. Barangkali sangat tak enak hati, terbata-bata, tangan gemetaran, ia meminta maaf kepada saya. Naluri seorang yang merasa bersalah, tak sanggup menatap mata lawan bicara.Hati saya tertawa. Enak juga menikmati keadaan itu. Menikmati diri yang egois, seolah tak punya andil kesalahan. Menikmati kondisi orang lain yang tertekan rasa bersalah. Melihat istri yang mendadak bertingkah kaku, dan grogi. Malah ia kepingin membelikan kamera baru, sebagai penebusan rasa bersalah. Diam-diam, saya menikmati keadaan tersebut.
Memang, saya rada sebal, begitu mengetahui kondisi kamera yang beralih fungsi. Dari fungsi untuk mendokumentasikan peristiwa, mengabadikan yang berlalu, beralih menjadi onggokan alat dokumentasi. Menjadi sampah.
Namun, ya, tetap sepenuhnya bukan kesalahan Rahma. Bukan kesalahannya yang tak mahir pegang kamera. Yang kerap teledor dan gaptek dengan yang serba digital. Saya juga turut andil, tak pernah mengajarinya pegang kamera digital.
Jadilah sampah kamera itu, setelah dini hari itu, terasa pertanda kehadiran-Nya. Kehadiran Tuhan yang menuntun saya dan istri sedikit demi sedikit harus berjarak dengan benda-benda. Betapa kamera itu, contohnya, sampai kapan pun akan tetap sebagai benda yang fana. Tinggal perlakuan kita yang membedakannya. Akan terus mengikat lantaran merasuk ke dalam hati, sehingga status keberadaan kita pun senada nilainya dengan benda itu sendiri. Atau sebaliknya, benda sekadar instrumen yang bisa digunakan untuk memuliakan diri di hadapan orang lain.
Bukankah benda-benda yang ada itu bisa digunakan untuk meringankan, memudahkan, dan membantu orang lain mendapatkan apa-apa yang dia butuhkan? Yang butuh informasi, butuh pengetahuan, atau pun sekadar arahan, dan sebagainya.
Oleh karenanya, onggokan kamera menjadi peringatan-Nya bahwa selama itu saya terikat dan menggantungkan kehadiran bukan kepada-Nya. Selama itu, meski hari ini juga masih terbata-bata, dalam menjamah lingkungan dan mengisi album harian, masih salah kiblat.
Jelas sudah, saya masih harus belajar banyak. Bertakzim kepada yang alim. Berkhidmat kepada yang mencerahkan. Bahwa Allah penggenggam waktu. Bahwa Ia bersumpah demi waktu, demi masa, wal ‘asry.
Betapa yang lewat telah jadi kisah sejarah. Kisah masa lalu yang seyogianya direspon dengan syukur alhamdulillah. Bahwa segala puji bagi Allah, telah melapangkan kisah perjalanan hingga kini. Telah mengiring saya dalam mengukir prasasti. Menorehkan album harian. Yang sudah mengenangkan suka-duka berada. Mengundang rasa rindu, rasa kangen.
Dan ujug-ujug, tiba-tiba sudah terlempar ke hari ini. Seolah tidak ada kesempatan untuk mengawali. Tidak ada start. Terus berjalan atau mandek tergilas waktu. Tahu-tahu berada saat ini. Sekian detik yang terlewat, sudah jadi masa lalu, yang lagi-lagi sepantasnya disyukuri.
Tahu-tahu “sekarang”, siap tak siap harus merasai terang matahari. Mendengar kicauan burung dari rumah sebelah. Lalu lintas kendaraan di depan rumah. Berisik tetangga menyiapkan acara tahun baru. Anak-anak menangis. Para orangtua yang jumpalitan mengatur anak-anak mengisi liburan sekolah. Ya, saat ini. Seiring udara pagi, sembari ngopi, saya mainkan jemari, saya deretkan huruf-huruf, Allahu Akbar, Allah Mahabesar.
Gamblang, nyata, dan tak dibuat-buat, betapa diri ini tak sanggup berbuat yang aneh-aneh. Setidaknya yang saya rasakan, saya benar-benar bukan pelaku yang sesungguhnya. Tetangga yang lewat di depan mata, bukan saya yang menggerakkan langkah kakinya. Anak-anak yang tengah berjemur di bawah terik matahari, juga saya tak kuasa melarang.
Kicau burung tetangga itu, saya hanya bisa diam. Si burung akan berkicau terus atau tiba-tiba ngambek tak bersuara, 100 % bukan karena saya. Tiba-tiba pula, lewat sepeda motor yang suara mesinnya sangat keras, saya tersentak dan bikin mata nanar, penasaran siapakah dia. Dia sudah menjauh, saya tak tahu, dan akhirnya hanya bisa membatin, “Oh Tuhan, sungguh Engkau Mahabesar! Engkau yang menjalankan orang itu, bukan dia apalagi diriku yang blayer mesin motornya.”
Allahu Akbar. Tuhan Mahabesar. Selain Dia, berada dalam genggaman kuasa dan kehendak-Nya semata.
Ya, begitulah saat ini, semua tampil di depan mata sebagai kenyataan dan sungguh Allah Mahabesar. Lantas, sekian menit kemudian, nanti, dan belum kejadian, ah, siapa yang tahu. Maka kiranya formula tasbih, subhanallah, cara terbaik merespon kemungkinan. Berbaik sangka kepada Tuhan. Sebuah teknis menghapus pesimisme akan masa depan.
Subhanallah, Allah Mahasuci. Allah bebas dari kemungkinan prasangka-prasangka kita. Bahwa masa depan tiada seorang pun yang tahu secara utuh. Kiranya ada yang sanggup meramal, itu pun hanya kilasan saja, bukan keseluruhan. Keseluruhan tetap saja dalam kehendak-Nya.
Dengan demikian, sepertinya selaras sekira melantunkan tasbih. Disebutkan dalam kitab suci, bahwa gunung-gunung yang menjulang gagah, awan yang mengarak, himpunan burung-burung, sepoi angin, tanaman dan seluruh makrokosmos itu senantiasa mendendang tasbih kepada Tuhan. Hanya kitalah manusia, yang kadang-kadang konyol, bodoh, dan tak tahu diri, acapkali melalaikan tasbih kepada-Nya.
Subhanallah, Allah Mahasuci. Masa depan itu gelap, dan kita tidak tahu peta kepastian apa yang bakal terjadi. Demi membersihkan prasangka, membebaskan penilaian negatif akan masa yang belum terjadi, sekali lagi, formula yang tepat adalah memahasucikan Tuhan. Segenap kuasa dan kehendak-Nya itu pasti benar, baik sekaligus indah.
Dari situlah, "insyaallah" ketemu relevansinya. “Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali dengan mengatakan, “Insya Allah.” (Al-Kahfi: 23-24).
“Insya Allah” artinya jika Allah menghendaki, sebagai wujud tahu diri, bahwa kita tak kuasa menentukan waktu. Terlebih esok yang tiada informasi pasti apa yang bakal terjadi.
Memang lumrah di masyarakat, menganggap negatif ungkapan itu. Seolah-olah sebagai pembenar atas ketidakseriusan kita, pembenar bahwa ingkar janji itu tidak apa-apa. Barangkali imbas dari kata “inggih” (formula ketidakterusterangan masyarakat Jawa untuk mengungkap maksud hati yang sebenarnya, “inggih”---gih ra kepanggih---mulut bilang “ya”, tapi dalam hati bilang “tidak”).
Nasib "insyaallah" kurang lebih sama, yang mengalami degradasi makna, sebagai ungkapan ketidakterusterangan, ketidakberanian menolak, atau tidak satunya kata dan perbuatan. Padahal semestinya bukan untuk itu. “Insya Allah” merupakan bangunan kesadaran bahwa kita yang kini mengada di muka bumi ini hanyalah menumpang waktu. Tak memiliki kuasa atas waktu.
Dari situ, ungkapan Rahma tempo itu kian jelas berdengung, “Bapak anak kok bedanya 180 derajat. Si anak kalem dan tahu diri, bapake sak-sake.”
Ungaran, 26/12/2021; 10.21
0 Comments