Masih Ingat

 Masih Ingat Gambar aksi di depan kantor Gubernur Jateng

Saya masih ingat sekali dengan tahun itu. Tahun Reformasi 1998. Bendera kebebasan dikibarkan. Rezim otoritarian digulingkan. Tembok Orde Baru yang kokoh berdiri selama 32 tahun, pun akhirnya jebol. Soeharto, yang dengan senyum khasnya, laiknya raja Jawa yang penuh wibawa, terpaksa menyerahkan tahta kekuasaan kepada pembantunya, BJ Habibie.

Ya, Soeharto turun. Seusai gelombang protes ribuan mahasiswa yang menduduki gedung parlemen. Setelah penjarahan, bakar-bakaran, dan pelecehan menimpa warga keturunan, di Jakarta dan Solo. Singkatnya, sang diktator turun setelah didahului kisah pilu yang mencekam.

Saya masih ingat dengan kondisi yang mencekam itu. Teringat karena pada saat itu, persis saya terbaring lemas di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, sebagai pasien yang tak berdaya. Saya menyimak peristiwa itu, walau sebatas dari tayangan televisi dan tulisan-tulisan di koran. Saya mengikuti peristiwa itu, lantaran teman-teman SMA yang menjenguk, mendadak berlagak aktivis. Pidato panjang lebar bak korlap demonstran tentang situasi kota Solo. 

Ya Mei 1998. Tonggak reformasi yang menjanjikan, atau setidaknya membangkitkan gairah untuk mengalami Indonesia yang sebenarnya. 

Mengalami Indonesia sebelum tahun 1998, konon serasa hidup di negeri antah berantah. Segalanya terlarang. Segalanya tidak bebas. Organisasi massa yang tak mencantumkan Pancasila sebagai asas akan terus diawasi sebagai pembangkang negara. Seorang kiai yang hendak mengisi khotbah Jum’at, mesti mengantongi surat izin berkhotbah. Dan juga, terlebih dahulu wajib menyerahkan transkrip materi khotbah kepada aparat kepolisian. Serta, orang-orang yang vokal bicara, yang vulgar mengkritik kebijakan pemerintah, sontak esoknya masuk bui. 

Saya masih ingat: Sri Bintang Pamungkas, akademisi UI, yang melepas jaket dan atribut PPP kemudian bikin partai baru, dan lantang menantang Soeharto, akhirnya meringkuk di tahanan. Demikian pula nasib yang menimpa para aktivis PRD. Lantaran ketakutan akut penguasa akan masuknya ideologi komunis, lagi-lagi tangan besi Soeharto membungkam mereka ke dalam jeruji penjara. 

Saya memang tak sepenuh merasakan pahit getirnya tahun-tahun sebelum 1998. Saya tak mengalami detail era rezim Soeharto yang sanggup berkuasa lebih dari 30 tahun. Saya tak menghayati lebih jauh, bagaimana Pancasila ditatarkan sebagai pusaka sakti yang harus dihafalkan oleh setiap pelajar di negeri ini. 

Ya, konon Pancasila sedemikian dikeramatkan, bak keris pusaka keraton yang tak seorang pun bebas mengotak-atik makna filosofi di baliknya. Setiap kata yang menguntai sila demi sila Pancasila wajib dihafalkan. Dan bagus, memang, dan samar-samar saya ingat itu. Saban Senin, wajib mengikuti upacara bendera yang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan melafalkan sila-sila Pancasila. 

Rezim Soeharto pun berhasil bikin hari “Kesaktian Pancasila”. Sungguh, terasa banget bau mitosnya, laiknya tokoh Brama Kumbara dalam cerita Saur Sepuh, sang tokoh sakti mandraguna. 

Namun, tangan besi itu runtuh. Mei 1998 dengan reformasi-nya berhasil mencampakkan segala atribut yang menyertai jubah Soeharto. Jubah kebesaran Soeharto yang berupa stabilitas ekonomi, massa politik mengambang (floating mass), penataran P-4, asas tunggal Pancasila, mayoritas tunggal Golkar, dibuang jauh-jauh dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Reformasi 1998, benar-benar mengundang harapan akan perubahan yang lebih beradab. Ekonomi diharapkan tak hanya stabil di lingkaran kekuasaan, tapi menyebar luas ke segenap lapisan masyarakat. Bahwa rakyat tak hanya dijadikan angka kemenangan lima tahun sekali dalam pemilihan umum, tetapi benar-benar berdaya politik. Saban hari mengerti betul desah yang berembus dari istana. Saban waktu bisa mengekspresikan kecewa dan harapan atas ekonomi-politik yang tak kunjung membaik. 

Ada harapan baru: Indonesia tidak lagi dikepung perasaan takut menyuarakan hak. Dan saya masih ingat itu, meski saya tak benar-benar memahami, tuntutan reformasi dibentangkan oleh para mahasiswa. Dan memang demikian akhirnya, Pemilu 1999 tidak lagi diikuti tiga partai, tapi ada 48 tanda gambar partai yang terbentang. Asas tunggal Pancasila tidak berlaku. Berbagai aliran dan paham, yang sebelumnya tiarap, mengemuka ke permukaan begitu Soeharto tumbang. 

Sekali lagi saya masih mengingat peristiwa yang menandai reformasi itu. Saya mengingatnya terus, dan kini pada ujung tahun 2021, silih berganti kepala negara menduduki kursi di istana negara. Mulai BJ Habibie yang tidak genap setahun, tapi lumayan telah menegakkan demokratisasi awal. Awal yang menjanjikan. 

Kemudian terpilih K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang tidak juga genap lima tahun, tapi berhasil mendesakralisasi keangkeran istana negara. Gus Dur berhasil menegaskan semangat pluralisme. Berhasil mendudukkan warga keturunan Tionghoa sejajar sama tinggi dan sederajat. Dan memecah kebekuan dwi-fungsi ABRI. 

Terus Megawati, tapi sayang saya belum tahu betul prestasinya dalam mengantar rakyat naik tangga atau lebih berdaya. 

Berikutnya Soesilo Bambang Yudoyono, yang beken disapa SBY, bertahta 10 tahun. Jargon dan slogan didengungkan. Antikorupsi disiarkan, tapi lagi-lagi saya juga susah melihat prestasi yang menonjol selama 10 tahun itu selain kian vulgarnya kebusukan penghuni pemerintah. Banyak pejabat, entah yang di kabinet maupun yang duduk sebagai anggota dewan yang terhormat, terjerembab sebagai pesakitan di penjara. Banyak pejabat yang tersandung korupsi. 

Selanjutnya giliran Joko Widodo, masyhur dipanggil Jokowi, yang menjajal kursi panas istana. Janji-janji dikibarkan, dan tanpa tedeng aling-aling semua kalangan menatap tajam kepadanya. Janji yang hanya akan tunduk pada kehendak rakyat. Janji yang akan memihak dan menaikkan kesejahteraan sosial rakyat. 

Jokowi, mengikuti jejak SBY, bertahta 10 tahun yang berakhir tahun 2024. Meskipun hari-hari ini terbit wacana tiga periode, tapi jelas keinginan relawan pendukung Jokowi itu tidak mungkin berwujud, selagi pasal 7 UUD 1945 tidak diamandemen. Apalagi janji-janji kampanyenya belum sepenuhnya teruji. Malahan kini seakan hanya menjadi tumpukan berkas yang tersimpan rapat di laci brankas. Berkas yang sepertinya kecil kemungkinan disentuh kembali. 

Hmm, saya masih ingat tahun 1998. Dan kini, di ujung tahun 2021, era Jokowi dengan deretan harapan serasa masih mengambang di langit-langit dan entah kapan maujud. Kepemimpinan yang serba merengkuh dan menangisi derita wong cilik yang tak kunjung membaik, apakah hanya ada dalam cerita Mahabharata. Lapangan kerja yang dijanjikan akan merebak dan memudahkan kawula alit untuk tegak berdiri, masih berupa cita-cita. 

Akhirnya, reformasi 1998 yang membuka awal baru dan mengundang euforia harap dan angan, serasa terus dilangsungkan. Atau memang sengaja dipertahankan, supaya harapan, angan dan cita-cita itu terus mengambang di awan. Agar kita semua bersiteguh menjaga angan-angan, merawat cita-cita, dan melupakan kenyataan. Melupakan program pencapaian, dan hanya menggantungkan kepada cita-cita. 

Ah, sungguh, mengalami Indonesia itu serasa pewarta: surga adalah nanti, tidak sekarang. Bahwa kita hidup di tengah-tengah dunia yang penuh masalah, penuh soal. Dan jawabnya, dunia ini bukan surga, maka tidak ada sempurna.

Tapi, ya, tetaplah bahwa Mei 1998 disebut sebagai tonggak reformasi di negeri ini. Dan, saya mengingat itu.

Ungaran, 29/12/2021 

Post a Comment

0 Comments