Merawat Kuntowijoyo

Buku Dilarang Mencintai Bunga

Bermula dari obrolan ringan dengan seorang karib, Hasan Fuady, tentang kecenderungan minat baca dan diskusi yang kurang terawat di kalangan mahasiswa, terutama yang aktivis, lahirlah komunitas Klub Baca Profetik. Saat itu, tahun 2014, istilah “profetik” dipilih lebih karena kecenderungan minat kami kepada Kuntowijoyo. Tokoh Muhammadiyah satu ini, lain dari pada yang lain. Kuntowijoyo, paling tidak buat kami, sosok komplet. Ia akademisi, sejarawan, budayawan, sastrawan, aktivis gerakan Muhammadiyah, kolumnis, dan entah apa lagi.

Namun, dari sekian tokoh-tokoh terkemuka negeri ini, sebut saja Goenawan Mohamad, Cak Nur, Kang Jalal, Gus Dur, dan yang lain, kiranya Kuntowijoyo yang kurang mendapat respon “wah”. Kuntowijoyo tidak punya “pasukan” yang melanjutkan gagasannya. Paling banter hanya kalangan muda (mahasiswa) Muhammadiyah yang masih mengapresiasi pemikiran Pak Kunto. Sementara ormas induknya, Muhammadiyah,  tampak masih acuh tak acuh.  

Padahal ide Kuntowijoyo termasuk genuine. Meski ia meminjam teori-teori Barat dalam menganalisa sesuatu, tapi ia tetap berpijak pada kondisi riil masyarakat Indonesia. Ia membagi zaman yang melingkari negeri ini dalam mitos, ideologi, dan ilmu. Dan kini seyogianya telah memasuki dan serius menggeluti ilmu. 

Pak Kunto jauh-jauh hari mengingatkan perlunya umat Islam memiliki basis filsafat yang merupakan turunan dari grand teori Al-Qur’an dan Hadits. Ia menyebutnya Ilmu Sosial Profetik, sebagai basis umat Islam menjalani periode ilmu.

Karena orisinalitasnya, dan disertai basis teori yang matang, maka tak cendekiawan pun yang membantah analisis-analisisnya, yang ia tuang dalam pelbagai moda ungkap tulisan: esai, novel, cerpen, dan fabel. Praktis Pak Kunto termasuk tokoh yang tidak punya “musuh”. Ia disegani lantaran keluasan dan kematangan ilmunya. Analisisnya tajam atas perkembangan politik dan budaya tanah air.

Dalam satu tulisannya, dalam kumpulan esai di Paradigma Islam, ia mengingatkan konsep Humanisme-Teosentris. Suatu kesadaran kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan sekaligus. Bahwa pusat keimanan adalah Tuhan, tapi berujung aktual pada manusia. Tauhid merupakan pusat orientasi nilai, pada saat yang sama, manusia adalah tujuan transformasi nilai. 

Bagi Pak Kunto, Islam adalah agama yang gelisah sepanjang mengenai problem yang menimpa manusia. Problem serius kemanusiaan menurut Al-Qur’an dalam tafsiran doktor sejarah UGM itu adalah kemiskinan. Orang yang tak peduli terhadap kehidupan orang miskin, kelak bakal menghuni neraka. Jadi logislah kenapa zakat diwajibkan. Zakat fitrah –yang umum kita kenal—sebagai aksi kemanusiaan, dimaksudkan untuk membersihkan puasa. Pertanda, kekurangan yang bersifat Ilahiah dapat ditebus dengan perbuatan kemanusiaan.

Sehingga jelas, Islam merupakan humanisme teosentris, ada kontinuitas antara perbuatan Ilahiah dengan perbuatan kemanusiaan. Kalau orang tidak kuat berpuasa, gantinya dengan membayar fidyah, memberi makan fakir-miskin. Tidak akan berarti ibadah mahda seseorang jika tak berlanjut pada perbuatan baik kepada sesama manusia. 

Humanisme teosentris serasa penting dan mendesak, mengingat umumnya umat Islam masih bersikap menyebelah. Yang aktif sebagai penegak kemanusiaan, macam aktivis HAM, kesataran gender, dan demokrasi berdiri dalam oposisi biner dengan aktivis masjid. yang emoh bersentuhan dengan yang serba duniawi. Aktivis kemanusiaan hanya melulu bersinggungan dengan masalah-masalah manusia, sebaliknya yang “sok Ilahiah” juga merasa “pasti” surga lantaran intim dengan Tuhan dan berjarak dengan detak kehidupan dunia. 

Dalam cerpennya, Burung Kecil Bersarang di Pohon, juga ada continuum kesadaran ketuhanan dengan kesadaran kemanusiaan. Pak Kunto melukis keadaan seorang imam masjid, yang mahaguru tauhid di sebuah universitas, bersih pakaiannya berjalan melewati pasar hendak menjadi imam dan khatib shalat Jun’at. Berkecamuk dalam benaknya tentang orang-orang pasar yang tak bergegas mengingat Tuhan. Betapa kotornya orang-orang pasar itu. 

Namun kemudian ia terhenti, mendengar tangisan seorang anak kecil yang menunjuk-nunjuk ke sebuah pohon dengan burung bercicit. Karena kasihan, si Imam lalu memanjat pohon. Akibatnya, ia tiba di masjid ketika jamaah salat Jumat bubar. Dan anehnya, ia justru merasa telah mendapat pencerahan. Seakan Tuhan telah mengingatkan tentang keutamaan terlibat urusan kemanusiaan, urusan kemaslahatan dunia. Sang Imam yang kakek tua ini merasa mendapatkan pencerahan bahwa ia tak boleh absen untuk ikut menuntaskan masalah yang membelit di lingkung hidupnya. 

Jelas, konsep fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah begitu menonjol pada esai-esai atau pun karya sastranya. Bertuhan adalah hamemayu hayuning bawana. Ia menghindari hal-hal yang berbau kontroversial. Ia menggunakan diksi yang bisa diterima semua kalangan. Ia benar-benar mengeliminasi ungkapan yang menuai konflik. Sepertinya, baginya, yang kontroversial itu tak mendidik masyarakat bawah, justru membingungkan dan tak mendewasakan. 

Oleh karenanya, rasanya tidak ada alasan lagi buat siapa pun hari ini untuk tidak turut menjaga dan syukur bisa melanjutkan proyek ilmiahnya. Paling tidak, kita luangkan waktu untuk serius membaca karya-karyanya. Pernah memang, beberapa kali kami—Klub Baca Profetik—serius menyelenggarakan Kelas Membaca Kuntowijoyo. Namun, sayang tak berlangsung lama, hanya empat atau lima pertemuan. Setelahnya bubar jalan. 

Padahal saat itu saya “mencuri” metode Sigit Susanto, penulis asal Boja, Kendal yang tinggal di Swiss,  untuk membaca teks-teks karya Kuntowijoyo. Buku pertama Kuntowijoyo yang dibaca berbarengan adalah Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Kami beranggapan, buku itu karya masterpiece Pak Kunto. Dengan metode Reading Group, kami belajar menghargai karya besar sejarawan kondang itu. 

Namun, apa pun itu, segala upaya untuk merawat perjamuan ide, terutama pemikiran Kuntowijoyo, patutlah diupayakan, di tengah arus deras media sosial. Karya-karya sastranya yang bersifat profetik tidak hanya berkutat di lingkaran kecil akademisi dan mahasiswa. Substansi sastra profetiknya sedianya menyentuh banyak pihak, menjadi penghayatan banyak kalangan.

Ya, apa boleh buat, Kuntowijoyo sudah lama pulang ke pangkuan-Nya. Dan, kita tidak bisa lagi memintanya untuk mengajari umat menghayati Indonesia sebagai medan aktualisasi etika profetik.  “Saya tidak pernah menyebut hasil sastra saya sebagai sastra Islam, tidak karena sastra saya bukan ibadah.” tulis Kuntowijoyo dalam Maklumat Sastra Profetik.

Kuntowijoyo mengkritisi, umumnya orang mendefinisikan sastra Islam terlampau sempit, sebagai sastra yang (hanya) menggugah kesadaran ketuhanan. “Padahal kesadaran ketuhanan barulah sepertiga dari kebenaran Sastra Profetik.” ungkapnya.

Tapi, eh tinggal sisa buku ini, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, yang ada di rak perpustakaan saya. Ah, ternyata!

Ungaran, 15/12/0221

Baca juga: Kuntowijoyo

Post a Comment

0 Comments