Penting Belajar Hakikat

Ngaji Hikam di al-Itqon

Malam itu, mungkin sekali harus begitu: melantunkan ayat-ayat suci di bawah temaram senter gawai. Semua yang hadir larut dalam syahdu yang tak sengaja. Dulu ketika ikut pramuka, dalam sebuah acara renungan, sudah jamak kalau semua penerangan dimatikan. “Supaya lebih hening!” jelas kakak Pembina, saat itu.

Namun, Rabu malam itu, 15 Desember 2021, di lingkungan Pondok Pesantren al-Itqon, Semarang, lampu listrik padam persis ketika Yai Guru memimpin khataman Al-Qur’an. Sontak, beberapa peserta ngaji, biasa disebut Santri Bajingan, menyalakan lampu senter di ponsel mereka masing-masing. Saya terharu. Saya merasakan suasana sakral yang tak biasa. Berasa sekali Tuhan benar-benar dekat. 

Saya yang lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga yang tak biasa ada acara khataman Al-Qur’an, seketika menggigil. Di bahtera rumah yang kini saya tinggali, memang ada ritual baca Al-Qur’an usai magriban, tapi belum pernah sekali pun bikin acara khataman. 

Perasaan saya, sebelum Yai Sholah memimpin khataman, kian meronta tatkala beliau bertutur bahwa khataman ini merupakan ujung dari rutinan beliau. Bahwa saban malam Jumat beliau baca Al-Qur’an yang didedikasikan untuk para murid. Sehingga, kemudian beliau mengajak para Santri Bajingan bareng-bareng membaca surah-surah di juz akhir Al-Qur’an. Acara khataman itu menjadi pengganti doa penutup ngaji hikam. 

Sehingga pula, tatkala memulai khataman, pikiran saya justru mengembara, membayangkan ayat 18 surah Al-Qiyamah yang sebelumnya diulas dalam ngaji hikam, “Bila Kami telah membacakan, ikutilah bacaannya.”   

Hawa dingin terus merangsek, karena sedari siang hujan tak kunjung reda, makin kentara energi dari ruang ngaji itu. Saya merasa aura lain. Aura penyembahan yang sedemikian menyentuh dari sejak mulai pembukaan ngaji. Bayangkan saja, sebelum ngaji hikam dimulai, terdengar gelas jatuh, pecah. Hati saya mendesir. Terbayang berserakan pecahan gelas kaca di lantai keramik. Pecahan yang menambah kemilau lantai di ujung ruang dekat tempat makan.

Berikutnya masuk ke alam ngaji. Memasuki hikmah Syekh Ibnu ‘Athaillah, “Sampaimu kepada Allah berarti sampaimu kepada pengetahuan tentang-Nya.”

Ya, hikmah tentang wushul, yang sebelum-sebelumnya kerap tersebut kata “wushul”, tapi minus keterangan. Dan pada malam Kamis itu, istilah “wushul” ditandaskan sebagai sampainya hati ini akan cahaya keagungan dan sinar Allah. Sebuah kemantapan hati untuk selalu menyaksikan Allah, mengagungkan-Nya, memuliakan-Nya.

Terangnya, wushul itu adalah perasaan akan fana. Penuh penyerahan dan kebulatan hati. Yakin bahwa wujud mutlak itu hanya Allah, selain Dia pasti fana. Yakin bahwa Dialah Kebenaran Mutlak, selain Dia tidak mutlak. Dialah Yang Mahasuci, Maha Tak Tergambarkan. Karenanya, mensucikan Allah adalah membersihkan gambaran-gambaran tentang Dia. Karena itu pula, mustahil Allah tersentuh sesuatu. Tidak mungkin kita yang mahakurang ini bersentuhan dengan Dzat Mahabaik. Kita tidak akan dapat sampai kepada Kebenaran Mutlak, karena kita nisbi.

Yai Sholah tak bosan menegaskan, Allah tidak mungkin dicapai oleh kita yang relatif, tidak mutlak. Allah tidak mungkn dipahami oleh kecanggihan akal kita, yang bagaimanapun juga bersifat nisbi.   

Selanjutnya, “Kedekatanmu dengan-Nya ketika kau menyaksikan-Nya mendekatimu, karena mana mungkin kau bisa mendekati-Nya?

Hikmah yang mengajak kita merenung sebegitu dekat Allah. Bahwa Allah sudah pasti dekat. Bahwa Allah sudah pasti tahu segala gerik kita. Bahwa Dia Maha Mengawasi. Maha Melihat. Sehingga, sudah sepatutnya kita bersikap sopan, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa pun. Sedianya kita merasa terus-menerus berada di hadapan Allah.  

Sungguh akhirnya, betapa naif selagi masih demen berlagak, masih suka sok. Masih mengumbar kepongahan dan puji diri berlebihan. Betapa tidak tahu malu, “Memangnya kita ini siapa? Ingat Tuhan sangat dekat dengan kita! Dia Mahatahu. Maka, beretikalah selalu!” tutur Yai Sholah.

Syahdan, kita mesti dapat menjaga diri dari laku tidak sopan. Beliau mencontohkan, sepantasnya kita tidak sampai bertelanjang bulat, meski sendiri, di kamar, atau bahkan saat berkumpul dengan pasangan. 

Hikmah pun makin dalam, “Di saat tajalli, hakikat-hakikat datang secara global. Setelah selesai, baru terdapat penjelasan. ‘Bila Kami telah selesai membacakannya, ikutilah bacaan-Nya. Kemudian, Kami yang akan menjelaskannya’.”

Betapa lazimnya penyingkapan pernyataan Tuhan masiih bersifat global. Biasanya menimpa para jadzab, yang belum bisa menjelaskan rinci makna tajalli-Nya. Dan, biasanya juga sering disalahpahami kaum syariat, apalagi awam.

 Mansur Al-Hallaj, misalnya, yang nama lengkapnya Husayn bin Mansur al-Hallaj, meneriakkan “Ana’l Haqq”. Kaum ulama syariat menentangnya, yang kemudian keluar fatwa kufur, dan menyatakan Al-Hallaj secara hukum dapat dihukum mati.

Padahal ungkapan Al-Hallaj itu keluar karena tengah dimabuk cinta berat kepada Tuhan. Ia begitu gandrung kepada sang Khalik. Hingga dirinya sendiri serasa lenyap, yang hidup hanya Tuhan. Hanya sang Tunggal yang eksis, hanya satu. Tidak ada lagi hamba, yang ada hanya wujud Tuhan.

Namun, hukuman mati kepada Al-Hallaj, atau Syekh Siti Jenar dalam khazanah kita, tetap dilangsungkan. Kaum syariat seperti tidak sabar untuk mendapati makna ungkapan itu secara benar. Ungkapan yang sebetulnya tidak bertentangan antara syariat dengan hakikat, jika dirunut bahwa sesungguhnya memang tak ada yang berdiri tegak pada segala sesuatu, selain Allah.

Yai Sholah mengingatkan sebuah pitutur, “Hakikat tanpa dibarengi Syariat itu keliru/sesat, sementara Syariat tanpa diiringi Hakikat itu kosong, tiada roh, tanpa substansi.”

Maka, “Belajar hakikat itu penting!” imbuh sang Guru. “Supaya tidak kaku. Agar tahu diri. Dan beretika saban hari.”

Nah, makin khusyuk juga syahdu, ngaji hikam ditutup dengan acara khataman Al-Qur’an dalam temaram lampu senter telepon genggam.

Ungaran, 17/12/2021; 06.21 

Post a Comment

0 Comments