Apa Hendak Dikata

 Kawan-kawan KSB

Tapi apa hendak dikata: Rahma telah mengiyakan teman-teman itu datang. Rahma menyambut dengan teramat riang. Sementara saya, pada saat bersamaan, mesti mengikuti acara rapat forum literasi via zoom.

Maka pukul 10.56, Minggu 9 Januari 2022, mereka itu tiba di gubuk kami. Agak gendadaban saya, tapi siap tak siap harus tampak siap plus ceria. Itu rumus tuan rumah menyambut tamu, konon begitu.

Saya silakan Rofiq, Syamsul, dan Indri merasai hawa rumah mungil ini. Menyesapi dingin air Ungaran. ya, kira-kira lumayan maknyes-lah, ketimbang air Semarang atau Pantura Demak. 

Tapi apa hendak dikata: saya mesti izin tengok zoom sebentar, saya matikan audionya, walau rapat terus berjalan hingga mendekati pukul 12.00. Saya mengikuti rapat setengah-setengah, tidak sepenuhnya. Mata hanya sekali-sekali meluruskan pandangan ke layar laptop. Selebihnya asyik menemani mereka.

Betul, akhirnya saya malah larut dalam obrolan seru bersama ketiga perusuh itu. Macam-macam bahan obrolan yang mereka tawarkan, hingga saya lupa dengan kewajiban melotot di ruang zoom. Obrolan kian seru, makin asyik, dan tahu-tahu, di ruang sebelah itu, rapat selesai. Untung si pimpinan rapat, Mbak Tina, begitu ruang zoom tutup, segera mengirim notulanya.

Tapi apa hendak dikata: mereka bertiga itu kawan karib di KSB (Komunitas Santri Bajingan). Kawan seiring menempuh jalan sunyi. Mereka bertandang ke rumah ini saja, jelas limpahan anugerah spiritual sontak mengucur deras. Mereka itu pembawa berkah. Sehingga, haram melalaikan mereka.

“Nurut pandangan Njenengan soal lukisan itu gimana, Mas? Kan jelas redaksi di Bukhari, Nabi Saw. tak berkenan.” tanya Syamsul. 

Sebelum saya merespon, Rofiq lebih dahulu menjelaskan panjang lebar soal itu. Syamsul menyangkal, Rofiq tak mau kalah. Serulah pokoknya. Perdebatan alot ala mereka, antarmereka, dan sungguh asupan bergizi buat saya. Saya menyimak dan tak berkesempatan menyela, tapi memang asyik mereka itu. Indri sesekali menimpali. Sungguh mati, mereka tak membosankan.

Perbincangan melebar, tapi bukan berarti berkurang kualitasnya. Justru kian mengasyikkan. Apalagi saat tema percakapan mereka itu pas dengan minat saya, saya bisa urun omongan, meski sedikit yang saya ketahui. Soal misteri angka, misalnya, walau saya tak menguasai banget, tapi lumayan menyemarakkan suasana siang itu. Saya katakan bahwa setiap huruf Arab (juga Jawa) memiliki esensi angka. Berbeda dengan huruf latin yang sangat profan, duniawi, tidak memiliki rahasia ruh di dalamnya.

Huruf itu merupakan rahasia fisik, sementara angka menjadi rahasia ruh atau kekuatan. Jadi setiap huruf Arab, ada jumlah kekuatan yang melatarinya. Contoh, ungkapan bismillahirrahmanirrahim itu mengandung rahasia kekuatan (Ilahiah) berjumlah 796. Atau yang lain, angka 13 misalnya, sudah lazim kita dengar sebagai angka sial atau horor. Padahal, justru buat umat Islam sebagai angka keberuntungan, karena mengandung rahasia nama Allah, “Ahadun”.

Begitulah siang itu, dan obrolan terus berlanjut hingga sore pukul 17-an.

Tapi apa hendak dikata: mereka itu yang mendadak bertandang ke rumah kami. Tak ada persiapan, tapi akhirnya saya bisa menikmati kelakar mereka. Dengan tak disangka, saya betah duduk berjam-jam sebagai pendengar setia. Apalagi Rahma, yang dari sananya suka sibuk melayani tamu. Seusai berkutat dengan penyiapan makan siang, ia ikut nimbrung dalam gurauan mereka.

Rahma tampak kian ekstase di tengah canda mereka, tatkala menguliti mutu pendidikan di negeri ini. Sebetulnya saya tak begitu mengikuti topik pendidikan formal yang mereka obrolkan. Sebab bagi saya, pendidikan itu seyogianya informal, kalau formal jelas bukan pendidikan, melainkan pengajaran.

Tapi apa hendak dikata: saya ikuti saja alur percakapan mereka itu. Toh akhirnya saya jadi ngeh bahwa menteri-menteri pendidikan kita itu memang tak lebih hanya pengin mewariskan monumen program, persisnya kurikulum. Padahal, “Apa pun kurikulumnya, entah KBK, KTSP, atau Kurikulum 2013, toh sistem pengajarannya sama saja.” keluh Rofiq.   

Indri, yang juga praktisi pendidikan formal, mengungkapkan bahwa persoalan Kurikulum 2013 itu memang kompleks. Buku-buku tidak siap, dan terutama karena guru-guru yang tidak maksimal dilatih. Nah, sekarang, begitu para guru mulai merasa nyaman dan siap dengan Kurikulum 2013, oleh Menteri Nadiem diganti dengan kurikulum baru, Kurikulum Sekolah Penggerak. 

Benar-benar, betapa nyata menjengkelkan mengurai soal pendidikan bukan? Itulah yang bikin saya kurang menikmati. Apalagi buat saya, Kurikulum 2013 ini contohnya, tidak hanya persoalan teknis seperti guru yang tak siap atau sebaran buku pelajaran yang tak merata, tapi lebih mendasar lagi adalah pada filosofis pendidikan yang tak jelas. Bahwa pendidikan itu pemuliaan budi, kesadaran meng-Allah. 

Dan, sistem pembelajaran tematik integratif itu hanya akan berhasil, berkaca kepada negara-negara Eropa, jika peserta didik telah memiliki tradisi baca dan tulis yang mapan di rumah, atau di keluarga masing-masing literasi keluarganya jalan. Namun, kenyataan kita tidak demikian, sehingga wajar guru-guru di sekolah kewalahan, dan terlebih kemudian mereka terjebak urusan pengerjaan administrasi pelaporan hasil akhir. 

“Kalau di Futhuhiyyah ta, Mas, ada pembiaran berpikir.” ungkap Syamsul. “Di sana itu bukan lagi nilai ujian yang diimpikan. Sehingga anak bebas berkeliaran di pasar, sebab idak ada pintu gerbang, Mas.” 

Wah keren, sontak batin saya mengiyakan. Namun, mungkinkah itu di sekolah lain? Ah, mbuh-lah!

Yang jelas, saya terhibur saat itu: mereka telah berkenan singgah di rumah kami. Bercakap tentang apa saja, yang menyelipkan asupan bergizi, yang terus terang banyak hal baru buat saya. 

Tapi apa hendak dikata: mereka pamit pulang, pukul 17.00 lebih sedikit, saat awan putih bercampur hitam mengarak di langit. Otomatis saya khawatir, membayangkan mereka berkendara motor, tengah menyisir jalan raya, terundung hujan deras. 

Ungaran, 10/01/2022    

Post a Comment

0 Comments