Kenangan

Kini telah beralih menjadi Jateng Valley

Saat itu, saya dan Rakai memanjakan kaki di hutan Penggaron, Ungaran. Suara ramai tonggeret, yang konon, penanda datangnya kemarau seolah menyambut kedatangan kami. Suara itu berdengung meriah.

Penggaron memang benar-benar hutan. Kaya vegetasi. Dan sungguh menarik, karena berada di tengah kota Ungaran. Saat itu, tak banyak yang kami kerjakan. Hanya jalan-jalan, sekali-kali mengamati daun, lantas menjurnalkannya. 

Hutan Penggaron, satu dari dua tempat mengasyikkan yang kerap kami sambangi. Sebab, selain hutan Penggaron, ada hutan Semirang yang juga menjanjikan kenyamanan. Kita bakal leluasa bersantai di kedua tempat itu, seraya menghirup udara segar, amat sangat segar. 

Di Penggaron, pelbagai tumbuhan langka dan berumur tua masih gampang ditemui. Alamnya asli, bukan buatan. Hal yang kini jarang ditemukan, sebab hutan dan sawah di sekitar Ungaran banyak yang beralih fungsi menjadi kompleks perumahan, menjadi lahan bisnis kuliner dan kawasan wisata.

Nah, di tengah alam terbuka itu, masih dan akan terus menyisakan kenangan. Kenangan yang tak hilang-hilang. Saat itu, di bawah terik matahari yang tak menyengat, tampak Rakai sangat menikmati akar-akar pohon yang menyembul dari tanah. Besar, bak ular raksasa yang lagi tidur di siang bolong.

Kami beriringan menyisir jalan satu-satunya, menembus ke sudut dalam hutan. Meski telah berulang kali ke situ, lumayan hafal setiap jalan berlubang dan titik-titik rawan longsor, tetap saja kami kudu hati-hati. Cuaca cerah saat itu pun, bukan berarti bebas dari rintangan. Namun, ya, apa pun itu tetap saja mengasyikkan. 

Saya berkali-kali mengajak Rakai berhenti, hanya pengin mengamati detail perilaku serangga putih pemakan (dan kerap dianggap sebagai perusak) kayu. Juga ketika tiba-tiba berkelebat kupu-kupu, belalang, dan ulat. (Untuk yang terakhir ini, saya tak berani mendekat, apalagi menyentuh. Serem bulunya!)

Di tempat berkelok, kami benar-benar berhenti. Duduk di atas setapak dan beralas seadanya. Malahan Rakai memilih tak beralas, duduk begitu saja. Berleleran keringat. Tapi bukan karena terik yang memanggang, melainkan jarak tempuh yang lumayan. 

Di sana sini pepohonan tinggi menjulang, dan berumur tua. Ada yang tumbang. Dedaunan rontok, dan berserakan sepanjang jalan yang kami lewati. Saya memang akan selalu tercengang dengan dunia pohon-pohon besar, apalagi terhitung langka. Dahan menjulur rendah, yang seolah mengundang saya untuk memanjat dan rebahan di situ. Ya, saya langsung teringat The Jungle Book. Ingat bocah Mowgli yang berlarian di atas dahan, tanpa khawatir jatuh, saking besarnya dahan, yang nyaman buat menapak. Dan Hutan Penggaron masih menyuguhkan pohon-pohon macam itu.

Akhirnya syukurlah, saya bisa menyelinapkan perasaan takjub terhadap alam dalam diri Rakai. Hal itu tampak, ia serius mengamati entah serangga, entah buah, atau sekadar jumlah jari-jari daun. Dan, beruntung banget Ungaran pernah punya hutan kota itu. Sebab begitu masuk lebih dalam, seusai mengaso sebentar di kelokan, menyusuri jalan aspal yang tak terawat, berlimpah pohon-pohon menjulang beserta dahan, ranting dan dedaunan menutup akses terik matahari. Artinya, suasana kian syahdu.

Begitulah kala itu. Dan hari ini, mengingat kenangan itu, saya hanya bisa berkesah. Nasib hutan Penggaron telah disulap hendak dijadikan taman wisata, Jateng Valley. Akan seperti apa, persisnya saya tidak tahu, karena kawasan seluas 371,88 hektare itu nantinya, menurut kabar, akan diisi berbagai wahana yang memadukan wisata dan edukasi berbasis alam.

Ganjar Pranowo, Rabu, 16 Juni 2021, resmi meletakkan batu pertama pembangunan Jateng Valley. Artinya semenjak itu dan entah akan sampai kapan, saya dan Rakai terpaksa gigit jari. Semenjak itu saya dan Rakai hanya bisa mengenangkan pepohonan langka dan yang tampak mencakar langit. Sebab hutan Penggaron selanjutnya ditutup untuk pengunjung umum, hingga Jateng Valley resmi dibuka. 

“Saya pesan, karena tempat ini akan dibikin lokasi wisata, orientasi lingkungan nomor satu. Sehingga orang ke sini lebih banyak pembelajaran eco friendly, enak nyaman. Sehingga pulang dari sini sadar akan pentingnya lingkungan. Energi yang dihasilkan kita minta siapkan yang green energy (energi hijau),” ujar Ganjar, seperti dilansir Tribun Jateng.

Penggaron yang benar-benar hutan, yang kaya vegetasi, yang berada di tengah kota Ungaran, yang membebaskan anak untuk melakukan pengamatan, dan penjurnalan, lantas kini dan nanti entah bagaimana? Sesuaikah dengan anjuran bapak gubernur? Atau hanya berujung wacana, sebagaimana biasa: lain di ujaran, lain di pelaksanaan. Sebab episentrum pembangunan Jateng Valley, tidak lain berupa kemaruk kapitalisme dengan menghilangkan lahan hijau.

Padahal, sungguh-sungguh saat itu, saya dan Rakai memanjakan kaki di hutan Penggaron, Ungaran. Dengan biaya murah, cukup Rp 8.000, telinga ini langsung bersentuhan dengan suara ramai tonggeret, penanda datangnya kemarau. Suara mereka berdengung meriah. 

Namun, duh Gusti, kenapa manusia ini sedemikian gemar merusak alam? Sedemikian hobi memangkas kesempatan anak-anak untuk merasai indah dan keaslian alam? 

Ungaran, 12/01/2022

Baca juga: Hutan Penggaron dan Kuasa Modal

Post a Comment

0 Comments