Obsesi Gus Yahya

Ketua Umum PBNU 2022-2027

Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, dalam suatu obrolan menggariskan, yang paling mendasar dari ketiga ukhuwahUkhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathoniyah dan Ukhuwah Basyariyah—adalah Ukhuwah Basyariyah. Bahwa rasa persaudaraan dan solidaritas sesama manusia itu adalah kunci terwujudnya kedua ukhuwah sebelumnya.

Bahkan solusi hari ini, di tengah kecamuk dan ketidakstabilan nilai-nilai, adalah kesediaan menjunjung Ukhuwah Basyariyah dan secara sungguh-sungguh mengamalkan prinsip persaudaraan antarmanusia. Ukhuwah Basyariyah menjadi prasyarat cita peradaban masa depan. 

Mengingat, ungkap Gus Yahya, sapaan KH. Yahya Cholil Staquf, telah ada empat perubahan mendasar. Pertama, perubahan tata politik dunia. Perubahan ini berkaitan dengan peta politik dan identitas agama. 

Kita tengok sejarah, Islam lahir pada abad pertengahan awal ketika Romawi mulai melemah. Imperium itu terbelah dua: Romawi Barat dengan Roma sebagai pusat pemerintahan, dan Romawi Timur atau Bizantium dengan Kontantinopel sebagai pusatnya.

Seiring melemahnya Romawi, di Jazirah Arab lahir Dinasti Umayah dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahan. Ia memperkuat stabilitas dan meluaskan wilayah kekuasaan dengan kekuatan militer. Dan, dinasti ini berakhir pada 750, setelah Abu al-Abbas merebut Damaskus dan menggulingkan Marwan, khalifah terakhir dari Dinasti Umayah. Abdurrahman ad-Dakhil, salah satu keturunan Dinasti Umayah berhasil meloloskan diri ke Andalusia dan meneruskan kekhalifahan Umayah di sana. Ia memerintah di Kordoba dan menjadi pusat peradaban di Eropa.

Sementara, Dinasti Abbasiyah memindah kekuasaan dari Damaskus ke Baghdad. Sehingga terbitlah, dua pemerintahan Islam, sekaligus dua peradaban dunia saat itu. Kordoba di Barat, dan Baghdad di Timur. Ilmu pengetahuan, perpustakaan, arsitektur, musik, hingga rumah sakit paling maju pada zamannya ada di Kordoba dan Baghdad. 

Ibnu Rusyd mewakili kecemerlangan Kordoba. Sementara Al Kindi, Ibnu Sina, dan Al Khawarizmi mewakili kecemerlangan Baghdad. Namun, kecemerlangan kedua imperium itu pun berakhir. Umayah di Kordoba runtuh pada 1031, sementara Abbasiyah di Baghdad runtuh pada 1258. 

Kemudian Osman Bey mendirikan Turki Utsmani pada 1299—di Jawa berdiri Majapahit—dan selanjutnya berkembang menjadi simbol peradaban dunia hingga Perang Dunia Pertama, 1914-1918. Pada Perang Dunia Pertama, Turki Utsmani kalah. Akhirnya tahun 1923, resminya 3 Maret 1924, kekhalifahan Turki Utsmani yang menjadi representasi Islam benar-benar terhapus dari peta muka bumi. 

Kedua, perubahan demografi. Seusai Turki Utsmani runtuh, menjadi babak baru lahirnya konsep negara-bangsa, yang tidak lagi memakai identitas agama. Hampir semua negara, termasuk yang berlepas dari kekuasaan Turki Utsmani menunjukkan gejala kemajemukan dan multikulturalisme, tidak berlabel Islam. 

Ketiga, perubahan standar norma. Standar norma berubah seiring dengan berbagai macam kepentingan yang terus berubah. Kepentingan-kepentingan yang melahirkan standar norma ini sesuai kepentingan zamannya. Bahwa manusia akan terus-menerus bergulat untuk perubahan norma, untuk memperjuangkan perubahan standar nilai-nilai. Dan acap kali, standar norma saat itu menjadi alat penekan dalam pergaulan antarnegara. Gus Yahya mencontohkan, sistem perbudakan yang lazim di abad pertengahan, kini tidak berlaku lagi.

“Untuk itu, sekarang ini yang mendasar bagi kita adalah bagaimana memiliki mindset yang tepat guna berdialektika dengan dunia yang sedang dan akan selalu berubah.” tutur Gus Yahya.

Keempat, globalisasi. Menurut Ketua Umum PBNU hasil muktamar ke-34, dewasa ini, manusia dengan berbagai kepentingan, bergerak menuju kebersatuan. Hal itu akibat sistem ekonomi internasional (kapitalisme): perdagangan dan transaksi, penanaman modal dan investasi, perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lain, dan pertukaran gagasan dan budaya. Pendorongnya: kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi.

Dan laju globalisasi, bagaimana pun tak akan terbendung. Kita hanya bisa mengalihkan tren, yakni mengusung prinsip Ukhuwah Basyariyah. Tidak lagi dengan mengandalkan kemajuan material. 

Sebab, segala kejayaan peradaban, sejak zaman Rasul Saw. hingga masa kejayaan Umayah dan Abasiyah, lalu Turki Utsmani, adalah kejayaan material. Bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan sains itu adalah material.

Padahal, di luar material, ada kalangan sufi yang mengembangkan laku-laku spiritual atau menempuh jalan tasawuf. Namun, tasawuf belum menjadi konstruksi peradaban Islam. Baru di Nusantara saja, semangat tasawuf, yakni kekuatan rohani, kekuatan akhlak, berhasil dikukuhkan sebagai pondasi peradaban.

Nah, cita-cita Nahdlatul Ulama adalah cita-cita NKRI, menjaga keutuhan nusantara yang berpondasi akhlak, dan tawaduk. Dan cita-cita NKRI adalah cita-cita peradaban, cita-cita untuk melembagakan akhlak mulia, rahmatan lil ‘alamin.

Maka, khidmah NU adalah keagamaan dan kemasyarakatan, jam’iyyah diiniyyah ijtimaa’iyyah. Pengabdian NU adalah keseimbangan antara kepdulian terhadap masalah-masalah keagamaan dan kepedulian, solidaritas, keterlibatan terhadap masalah-masalah kemasyarakatan.

Gus Yahya memandang, sekurang-kurangnya di struktur pimpinan organisasi NU harus memperbarui wawasan dengan mengubah tiga pola pikir. Pertama, pola pikir tentang lingkup bidang khidmah dan jangkauan sasaran. Kedua, pola pikir tentang makna program. Dan, ketiga, pola pikir tentang hubungan antartingkatan kepengurusan dalam pelaksanaan program.

Hal itu perlu, mengingat NU makin ke sini kian membesar. Bahwa basis NU terus bertambah, sehingga mau tidak mau tertuntut kebaruan mindset di tubuh pengurus. Kenapa basis NU bisa sedemikian besar?  

Keponakan Gus Mus itu menjelaskan, paling tidak oleh tiga sebab. Pertama, ilmu. Bukan hanya keluasan dan kedalaman ilmu, tapi juga dedikasi paripurna dengan ketekunan, adab, bahkan riyadhah, yang ditegakkan dengan penuh disiplin oleh kiai-kiai sejak belajar, mengajar, hingga beramal.

Kedua, ri’aayah, yakni mengasuh dan membimbing umat dalam segala keadaan. Para kiai itu melibatkan diri dalam segala macam hajat dan kesulitan umat secara langsung dan tanpa pilih-pilih.

Ketiga, ikhlas. Kiai-kiai kita itu tampak begitu ikhlas, mulai penampilan, tutur kata, tindak-tanduk, dan cara bergaul mereka.

Dari situlah, kita perlu mengulik kembali, betapa tidak tepat NU didirikan semata-mata untuk menentang mazhab atau paham wahabi. Kalau dikatakan sebagai tanggapan atas dikuasainya Hijaz oleh keluarga Saud, mungkin ada benarnya. Karena berdirinya Saudi Arabia menjadi momentum perubahan arah peradaban Islam yang mengerdilkan pentingnya koeksistensi secara damai dengan pelbagai warna manusia.

NU hendak mendarmabaktikan, dengan berakhirnya imperium Turki Utsmani, 1920-an, turut menghela arah peradaban dunia. Semenjak Turki Utsmani runtuh, dunia Islam memasuki musim gugur peradaban. Dengan demikian agenda absolut NU adalah membangun peradaban. 

Nah, saya bersyukur, era Gus Yahya ini, spirit peradaban itu sangatlah kuat. Pertama-tama, konsolidasi internal. Gus Yahya langsung mengumumkan bahwa jajaran PBNU tidak boleh mencalonkan/dicalonkan sebagai capres dan cawapres. 

Artinya, pada periode 2022-2027, PBNU hendak memperkukuh kembali jalinan kewargaan NU yang sempat terpolarisasi akibat politik praktis. PBNU hendak memperbaiki kualitas lahir dan batin umat, sebab membangun peradaban adalah membangun manusia, bahwa agama, akhlak dan intelektualnya diteguhkan.

Kedua, sekali lagi NU akan selalu turut menjaga keutuhan NKRI. Sebab negara adalah wasilah dialog antarbangsa menuju peradaban baru. Sekira negara runtuh, perjuangan peradaban itu pun mati.

Wujud penjagaan NKRI, Gus Yahya bersiteguh melanjutkan komitmen NU untuk mendekatkan agama dengan realitas. NU dalam Munas di Banjar, 2019, telah memutuskan bahwa kategori kafir tidak lagi relevan di dalam konteks negara modern. Baik muslim dan nonmuslim berdiri setara sebagai warganegara, tidak ada lagi sebutan kafir untuk nonmuslim.

Selain itu, sekiranya ada konflik antara kelompok muslim dan nonmuslim di mana pun saja, NU jelas-jelas menolak keterlibatan diri di dalam konflik atas dasar alasan membela sesama muslim. Landasan NU adalah upaya perdamaian, bukan pembelaan sesama muslim. 

Walhasil, organisasi terbesar di negeri ini, dalam masa khidmah yang digawangi KH. Yahya Cholil Staquf meneguhkan lagi semangat Nahdlatul Ulama, kebangkitan ulama. Pertama, kebangkitan intelektualisme. Intelektualisme jelas tak sekadar kesarjanaan yang hanya melihat kapasitas akademik. Intelektualisme di sini adalah perhatian sepenuh hati terhadap realitas masyarakat dan masalah-masalahnya, serta pergulatan pemikiran untuk meretas jalan keluar dari masalah-masalah itu.

Kedua, kebangkitan teknokrasi. Teknokrasi adalah mesin organisasional dalam ukuran besar yang diasumsikan sebagai generator transformasi masyarakat luas secara terencana dan terekayasa di atas basis teknologi.

Ketiga, kebangkitan kewirausahaan. Kewirausahaan tidak melulu soal ekonomi, meski usaha ekonomi tetap penting. Tapi ada kewirausahaan sosial, ketika orang menggagas, merintis, dan mengembangkan suatu lembaga yang menyediakan layanan masyarakat secara “rela”, tidak mengambil keuntungan ekonomi.

Itulah obsesi Gus Yahya yang berhasil saya sadap. Selanjutnya, saya berdoa, Gus Yahya tidak bernasib seperti Gus Dur: menjadi pemain tunggal. Gus Yahya bisa mendirigeni orkes simfoni Nahdlatul Ulama dengan smoothly. Baik struktural maupun kultural NU beriring dan saling jabat erat menuju peradaban mulia.

Ungaran, 25/01/2022

Post a Comment

0 Comments