Pesan Kearifan Pak Muh (1)
Ia pernah berkata, “Kita tak perlu repot membuat latihan-latihan untuk membenahi diri. Tunggu saja, Tuhan yang akan memberikan pelatihan! Lantas kita respon dengan baik dan benar. Itulah tarekat kita yang relevan dengan situasi sekarang.”
Ia adalah Muhammad Zuhri, biasa disapa Pak Muh, lahir 21 Desember 1939, wafat 18 Oktober 2011. Saya mengenalnya sebagai guru sufi, tinggal di desa Sekarjalak, Pati. Dan memang, hingga akhir hayat ia tak medirikan institusi tarekat.
Malahan ia ingin tampil layaknya orang biasa. Dalam Lantai-Lantai Kota, ia menyebut diri Ubaidillah, hamba kecil Allah. Tubuhnya kecil, rezekinya kecil, martabat dan peran dirinya di tengah lingkungan juga kecil.
Namun, ia selalu merasa beruntung. Tak pernah stres dalam menghadapi keruwetan hidup. Ia sangat percaya kepada Tuhan. Ia memiliki rumus: berikhtiar tidak mengharuskan seseorang sampai kepada yang dituju, tetapi suatu cara yang mesti ditempuh. Pasalnya, manusia telah dikaruniai akal dan pikiran, juga potensi dan perabot tubuh yang memadai untuk dioperasikan. Hasilnya up to God.
Kesadaran itulah yang ditularkan kepada murid-muridnya, dan kemudian meluas kepada khalayak umum setelah buku Lantai-Lantai Kota diterbitkan.
Nah, masih dalam Lantai-Lantai Kota, ia mengajak siapa saja yang berminat menempuh hidup di jalur tasawuf. Menurutnya, sebagai insan beriman mesti bersabar dalam menggapai cita-cita, sembari mau memahami kesulitan orang lain. Sehingga, tangan dan hati terbuka buat meringankan beban orang lain.
Hal itu sebagai pengejawantahan salat di depan Rabbul-alamin. Yakni, “assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.” Ungkapan janji untuk menggelar kedamaian, rahmat Allah dan berkat-Nya.
Diceritakan, dalam buku itu, kali pertama menjamah lantai kota, ia terperangah melihat deretan mobil yang tiada putus-putus memenuhi jalan raya, sejak pagi hingga larut malam. Tebersit di hatinya, orang-orang kota itu gemar keluar rumah dan menghabiskan umur di tengah jalan.
Kemudian, ia menyadari bahwa sekian juta umat manusia yang simpang siur itu tengah mati-matian menemukan pijakan di lantai kota. Dan itu umum, siapa pun kita, demi kelangsungan hidup, pasti perlu makan dan minum, butuh penutup aurat dan tempat berbaring yang nyaman.
Hanya saja, si Ubaid (baca Pak Muh) berpikir bahwa dalam meniti hidup itu, sedianya kita tetap menjaga harga diri dengan tidak mengacu kepada hawa nafsu yang tanpa batas. Dan cara terbaik mempertahankan harga diri adalah dengan beriman kepada Allah dan berperilaku baik kepada sesama.
Baginya, diri ini terlampau mahal, apalagi kalau sekadar dibarterkan dengan fasilitas duniawi, dengan benda-benda. Semua boleh lenyap, selain harga diri, tegasnya. Sebab diri ini milik Allah yang paling berharga. Ia adalah kendaraan pribadi-Nya di alam eksistensial. Dengannya, Allah menata semesta, menjaga makhluk-Nya.
Soal semesta diri ini, Pak Muh berpandangan, bahwa seyogianya kita tak perlu cemas menghadapi kenyataan. Sebab dunia diri adalah sesuatu yang tidak habis dikuras. Diri itu bersifat unik, karena tak ada pribadi yang sama sejak Nabi Adam sampai kiamat. Oleh karena itu pemeranannya di kancah kehidupan tidak akan mengundang persaingan.
Pengetahuan tentang diri yang unik ini akan memberi makna dan alternatif bagi semua aset yang kita miliki, mulai dari pengetahuan, keterampilan, kedudukan, kesempatan, sampai harta benda yang kita simpan. Dengan ilmu tersebut, niscaya kita peduli kepada nasib sesama.
Terus bagaimana memahami pengetahuan unik itu? Ada teknis menggarap diri yang diungkap Pak Muh. “Setelah engkau menegakkan rukun Islam, yaitu semua upayamu di dalam menolong siapa saja di dunia ini, itulah pengabdianmu. Dalam melaksanakannya jangan pernah berputus asa. Berjalanlah terus hingga batas kemampuanmu.
“Kalau engkau bisa menemukan kematianmu dalam menolong pihak lain, lakukanlah! Meski yang kau tolong hanya seorang peminta-minta. Sungguh, jiwamu akan berbahagia dan akan menjadi sempurnalah wujudmu sebagai muslim,” terang Muhammad Zuhri penuh keyakinan.
Dalam Langit-Langit Desa juga tersebut, “Kehidupan adalah kematianmu dari segala damba, bila kesadaranmu telah menggapai makna hidup yang sebenarnya. Maka, capailah kematianmu jika hatimu telah rela. Karena mati dan rela satu wujudnya, meski dua tampaknya di lorong pikiranmu.
“Bila gairah kerasmu telah melayangkanmu sampai di sana, kamu akan menemukan dirimu dalam wujudnya yang tetap. Dan saat itulah kamu layak disebut muslim yang sempurna, jika luput mencapai derajat kewalian.
“Makna salat adalah berdiri, duduk, rukuk, dan sujud di gerbang Zat-Nya semata. Saat apa di dalam kehidupan ini selain itu wujudnya. Maka, matilah kamu di dalamnya dan rajalah wujudmu yang sebenarnya.
“Tetapi bila kamu tidak cukup bergairah dan urung menjemput kematianmu, kamu akan tetap bingung seumur hidup dan terus meraba-raba hingga ajalmu tiba. Dan bila ajal menyongsong dirimu, kematianmu tak akan jauh berbeda dengan kematian hewan yang tanpa disembelih. Haram jasadmu bagi kehidupan.”
Itulah teknis menghayati diri. Bahwa salat, salah satu rukun Islam, itu adalah sarananya. Dan tak lengkap jika tak berlanjut dengan pengabdian kepada Tuhan, yang aktualisasinya adalah pengabdian diri kepada seluruh umat manusia seumur hidup.
Ungaran, 01/01/2022
0 Comments