Syahdan, saya baru tahu seorang Samsudi (Bandung, 1899-1987). Tersebut sebagai penulis buku bacaan anak berbahasa Sunda. Di antara karya Samsudi—seperti Carita Budak Teuneung (Anak Pemberani,1930), Carita Budak Minggat (Cerita Anak Minggat, 1930), Carita Si Dirun (Kisah Si Dirun, 1930), Jatining Sobat (Sahabat Sedjati, 1931), dan Babalik Pikir (Insyaf, 1931)—saya baru menemu Sahabat Sedjati.
Sahabat Sedjati berlatar Kota Bandung awal abad ke-20. Sebuah gambaran kota, tatkala musim kemarau jalan-jalan berdebu dan sebaliknya pada musim hujan sangatlah becek. Toko-toko kebanyakan masih milik Tionghoa dan India. Juga tentang masyarakat bawah yang terjerat kemelaratan. Pola hidup yang hanya sanggup bersandar pada kebaikan alam. Bahkan yang pengin berobat pun lebih percaya pada dukun, ketimbang rumah sakit atau dokter.Yang menarik lagi, membaca Sahabat Sedjati, adalah pengembaraan pemakaian bahasa yang tak lazim. Pertama, bentuk ungkapan yang tak biasa. Dan kedua, ejaan. Buat generasi “Ejaan yang Disempurnakan” (kini disempurnakan lagi menjadi “Ejaan Bahasa Indonesia”) akan kesulitan mengeja. Nah, Ajip Rosidi telah berjasa menghadirkan karya Samsudi ini ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Sunda.
Tokoh utama Sahabat Sedjati ialah seorang anak tukang genting, tinggal di Kampung Bojong, berusia 12 tahun yang oleh orangtuanya dinamai Minta. Ia saban hari membantu sang ayah: mengangkut tanah, mengangkut genting ke tempat penjemuran, memindah jerami kering ke pembakaran, dan menapis abu buat alas genting. Ya, kisah seorang bocah yang teramat jauh dari keriangan.
Minta tumbuh dalam keluarga yang sehari-hari cuma bergumul dengan tanah. Nah, suatu ketika, saat terik menyengat, usai membatu kedua orangtuanya, Minta mandi di sungai bersama kawan-kawan karibnya. Mendadak awan hitam dan hujan mengancam. Hari yang sebelumnya panas memanggang, berubah menjadi teduh. Anak-anak pun lantas bergegas mentas dan cepat-cepat pulang ke rumah. Yang tak sempat memakai baju atau celana, pulang dengan telanjang. Bahkan ada yang tertukar celana atau baju. Hanya Minta, ya, hanya Minta yang tidak bisa cekat.
Kaki Minta terasa lesu, tak bertenaga, dan kepalanya pusing. Setiba di rumah, Minta tak kuat lagi berdiri. Ia langsung berbaring. Ibunya bertindak sigap, melumatkan jahe dan bawang merah, dan ditempelkan pada kening Minta.
Sementara Minta berbaring, di luar hujan deras. Saking derasnya, atap rumah ada yang melorot, dan seketika rumah reyot itu pun tergenang air. Namun, cerita memelas tidak berhenti di soal genangan air yang membasahi pakaian dan alat-alat rumah tangga mereka. Jauh lebih dahsyat, ternyata genting dan beberapa alat pembakaran habis dilanda angin dan hujan. Genting yang lagi dibakar pun pecah semua. Saat bersamaan, sakit Minta kian parah. Kedua orangtua Minta panik tak kepalang tanggung.
“O, begini rasanya orang melarat! Anak sakit, perusahaan tandas, tak punya duit, hutang....” ratap ayah Minta (hal. 16).
Memang, tiada jalan lain, ayah Minta akhirnya menjual satu-satunya lio, alat pembakaran genting, yang tersisa dari terjangan angin kencang dan hujan deras itu. Esoknya, Minta digendong ayahnya menuju stasiun, naik kereta api arah Kawedanan Leles, berobat ke seorang dukun. Keadaan Minta makin payah. Terbanting-banting dalam kereta api (jelas, kereta api tempo itu tak senyaman kereta api sekarang).
Dalam kereta api, terdengar desas-desus bahwa di Kawedanan Leles lagi berjangkit penyakit kolera. Banyak orang yang meninggal akibat kolera itu. Dan Kepala Daerah telah membikin maklumat: semua orang yang bepergian dilarang membawa buah-buahan atau sayur-mayur mentah; setiap orang yang nampak sakit mesti dibawa ke rumah sakit; tidak boleh ada orang berjualan sirop atau cingcau; di setiap gardu disediakan air masak untuk minum orang lewat.
Mendengar berita itu, Ayah Minta gusar. Ia berpikir: “Kalau aku kelihatan polisi, membawa anak sakit, tentulah aku ditangkap, anakku dimasukkan rumah sakit, dan aku tentu harus berpisah dengannya.”
Begitu kereta tiba di Leles, mereka turun. Ayah Minta berjalan hati-hati, menghindari polisi. Matanya awas penuh waspada, bak pencuri, sembari menggendong Minta. Lantas terbersit olehnya untuk membeli goni, bekas karung beras, buat tempat sembunyi Minta. Jadilah, di sebuah tempat tersembunyi, Minta dimasukkan dalam karung. Mulut karung diikat, sesudah dilubangi sedikit untuk bernapas Minta.
Lantaran baru kali pertama ke Leles, Ayah Minta tidak tahu persis peta kota, termasuk ke rumah sang dukun. Celakanya, ternyata setiap orang yang ditanya, juga tak mengetahui keberadaan si dukun. Berputar-putar tak tentu arah, akhirnya mereka beristirahat di pinggir jalan di bawah pohon johar.
“Sedang mengapa Saudara di situ? Dan apakah yang dalam karung itu?” tanya tiba-tiba polisi yang datang mendekat mereka. Ya, saking kelelahan Ayah Minta, yang sejak menginjak kaki di Kota Leles menghindari polisi, tak menyadari kehadiran dua polisi.
Tentu saja pucat pasi, dan asal menjawab, tapi Ayah Minta akhirnya mengaku bahwa ia pergi ke Leles hendak berobat kepada dukun.
“Tak boleh tidak anak itu mesti dibawa ke rumah sakit sekarang, untuk diobati.” kata polisi.
“Saya minta dengan sangat,” kata Ayah Minta, “anak saya ini jangan dimasukkan ke rumah sakit, sebab ia tak menderita kolera.”
Namun polisi tetap ngotot menunaikan aturan, siapa saja yang sakit mesti dibawa ke rumah sakit. Ayah Minta sebaliknya, bersikeras akan ke dukun, tidak mau ke rumah sakit dan bersemuka dengan mantri, dengan dokter. Lantas tanpa pikir panjang, ia sergap polisi itu. Dan polisi satunya ditendang. Kemudian ia lari cepat-cepat seraya menggendong Minta. Tapi, apalah arti lari seorang tua apalagi sambil memanggul beban, mereka pun dengan mudah diringkus polisi. Ayah Minta dimasukkan penjara, sedang Minta diantar ke Rumah Sakit Garut.
Selama sebulan Minta dirawat, hingga sembuh total. Selama itu pula, ia tak sekali pun bertatap langsung dengan ayahnya, hingga kabar duka tersiar, ayahnya meninggal dalam penjara. Dalam duka mendalam, setelah benar-benar dinyatakan pulih oleh dokter, Minta, dengan bekal surat dari dokter, naik kereta api secara gratis ke Bandung, pulang ke kampung halaman.
Setibanya di rumah, ibunya, tentu saja sangat dirindui, tidak di rumah. Oleh Pak Daen, tetangganya, bahwa Ibu Minta telah dua minggu menyusul Ayah Minta dan Minta ke Leles. Ya, lengkap sudah kebingungan Minta.
Beruntung Pak Daen bersedia menampung Minta. Tapi, kemuraman Minta tak kunjung pupus, karena istri Pak Daen ternyata tak menerima kehadiran Minta. Lantas Minta mencoba tinggal di rumah pamannya, Paman Dasan, lumayan jauh dari kampungnya. Namun, lagi-lagi, nasib baik belum berpihak pada Minta. Meski Paman Dasan tergolong kaya, tetapi sangat tidak menyamankan nurani Minta. Paman Dasan ini seorang tukang tadah barang-barang hasil curian. Berhari-hari Minta kisruh tak keruan, memikirkan pekerjaan pamannya, serta dampak negatif yang bakal ia tuai. Tercetuslah kemudian bahwa ia harus lari dari rumah mewah pamannya itu.
Kesempatan pun terbuka, suatu pagi Paman Dasan memintanya untuk menggadaikan kalung hasil curian itu di rumah gadai di kota. Ia ditemani Bibi Dasan. Sesampai di kota, Minta lari secepat mungkin menjauh dari bibinya menuju Kampung Bojong, ke rumah Pak Daen. Tiba di rumah Pak Daen, hanya ada Bu Daen yang tiba-tiba berlemah lembut padanya, seraya memandang kalung indah yang dipegang Minta.
“Mari Bibi simpan, jangan Kau bawa-bawa, agar tidak hilang! Tapi jangan Kau bilang apa-apa pada orang lain, apalagi pada emangmu, sepatah pun jangan Kau katakan. Kalau mau tinggal dengan bibi, silakan, makan dan tidurmu tentu bibi urus sebelum ibumu pulang kembali.” Sambil berkata demikian, Bu Daen merebut kalung itu dari tangan Minta, kemudian disimpannya baik-baik di dalam kutangnya (hal. 52).
Sama saja. Bu Daen, Paman Dasan dan Bibi Dasan, sama-sama kemaruk pada harta. Dan liku yang membelit Minta terus datang bertubi. Paman Dasan menjual rumah Minta, semenjak ditinggal ibu Minta. Paman Dasan juga berkunjung ke rumah Pak Daen, dan menceritakan “kejahatan” Minta. Sialnya, Bu Daen pura-pura terkejut, tapi kemudian turut memojokkan Minta. Pak Daen pun percaya dan lantas mengusir Minta.
Dalam kesedihan yang nyaris tanpa ujung, Minta bertemu dengan Atjim. Dan, mulailah babak baru melingkupi kehidupan Minta. Si Atjim, teman sepermainan Minta, yang juga berasal dari keluarga miskin, mengajak Minta untuk bekerja. Minta turut tinggal serumah dengan Atjim, di rumah sederhana bersama Ibu Atjim. Kemudian kedua bocah belasan tahun itu pun berjualan rokok di pasar, di tempat-tempat keramaian seperti acara pacuan kuda, dan pasar malam.
Pagi, kira-kira mulai pukul tujuh, Minta dan Atjim bersiap dengan baki masing-masing yang diikat di kiri-kanannya dan digantungkan di leher mereka. Baki tersebut berisi rokok, korek api, cerutu, gula-gula, dan sebagainya. Mereka menjajakan dagangan, berkeliling sekitar pasar.
Persahabatan keduanya pun kian karib. Dari rumah sederhana milik Ibu Atjim, Minta dan Atjim mendapat perhatian dan kepercayaan diri untuk menatap hari. Mereka saling menguatkan. Meneguhkan. Dari situ, kita bisa melihatnya, bukan limpahan harta yang dicari seorang anak, melainkan perhatian. Minta merasakan perhatian yang berlimpah dari Atjim dan ibu Atjim. Sementara waktu, Minta lupa dengan ayahnya yang dikabarkan telah meninggal dunia, dan ibunya yang entah ke mana.
Kemudian, di akhir cerita, sebagaimana lazimnya kisah sengsara yang berujung bahagia, Samsudi mempertemukan Minta dengan ayah-ibunya di saat Minta memperoleh keuntungan berlimpah. Ya, Minta telah berhasil mengumpulkan uang dari hari ke hari, sepicis demi sepicis. Dan bisa digunakan untuk mengembalikan rumah yang telah dijual Paman Dasan.
Begitulah Samsudi, menghadirkan Jatining Sobat, yang oleh Ajip Rosidi diterjemahkan menjadi Sahabat Sedjati, sebagai bacaan anak. Nah, pada 1993, Ajip Rosidi dan beberapa koleganya mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage. Salah satu kegiatan yayasan adalah memberikan penghargaan kepada pengarang yang menulis cerita anak dalam bahasa Sunda. Dan nama Samsudi diabadikan sebagai trofi penghargaan, Hadiah Samsudi.
Ungaran, 13/04/2019--09/01/2022
2 Comments
saya baru tahu buku ini.
ReplyDeletebeberapa buku bacaan anak lawas karya putra bangsa yang pernah saya baca baru Si Dul, Si Jamin dan Si Johan, Kawan Bergelut dan beberapa (judulnya lupa). Dan saya nyaman membaca cerita anak klasik
Saya juga tidak banyak tahu kok, soal buku lawas anak. Tapi memang, saya lebih nyaman baca buku lawas ketimbang buku kekinian
Delete