Tentang Iqra’

Tentang filosofi membaca

Gus Baha mengetengahkan makna al-‘alaq sebagai sesuatu yang menempel, sesuatu yang bergantung pada yang lain. Dengan demikian, lima ayat awal surat Al-‘Alaq itu mengisyaratkan kita untuk bisa mendayagunakan kecerdasan. Untuk memahami diri dan alam yang bertaut atau bergantung kepada Allah. Itu berarti, sebagaimana ditegaskan Gus Baha, semua hal beratasnama ilmu.

“Yang mesti kita hidupkan itu ilmu. Betapa dunia akan terlaknat. Betapa seluruh isi di kolong langit terlaknat, kecuali orang yang alim.”

Nah, manusia tercipta dari al-‘alaq. Dalam terjemahan yang kerap saya dengar, al-‘alaq diterjemahkan segumpal darah. Namun oleh Gus Baha, dilukiskan sebagai sesuatu yang menempel atau bergantung pada yang lain. Dan, memang begitu adanya, manusia bertabiat untuk tergantung kepada yang lain, terlebih di awal proses keberadaan, sangat bergantung kepada sosok ibu. 

Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq, perintah membaca. Wahyu pertama yang mengamanatkan umat untuk berkegiatan membaca, dan kita mafhum, melalui membaca ini, niscaya bertambah pengetahuan. Di dalam membaca, kita diperintah untuk tidak memotong sesuatu dari asalnya, yaitu Tuhan yang menjadikan. 

Berikutnya Allah memperkenalkan diri: Iqra’ wa rabbuka al- akram. Ia menyifati diri sebagai akram, yang Mahamulia, yaitu al-ladzi ‘allama, yang mengajar. Sehingga, dalam konteks kita: orang terbaik, yang paling karim, yang paling dermawan adalah yang mengajar. 

“Bahkan Nabi Saw. menandaskan,” tutur Gus Baha, “tiada sedekah sebaik kalimat bijak yang diajarkan kepada yang lain.”

Kemampuan mengajar ini mustahil tanpa kepemilikan pengetahuan yang memadai. Maka jelas, kenapa kata pertama yang diterima adalah iqra’, dan membacanya pun harus tetap bersambung kepada Allah, sang penyebab. Hal ini mengandaikan pemahaman betapa objek yang kita baca itu ada berkat dukungan berjuta sebab yang menyusun sejarah jadinya. Betapa sesuatu itu lantaran proses evolusi alam dan jasa budaya yang mengupayakan keberadaan. Dan betapa semua itu toh akhirnya karena Tuhan yang mengizinkan. Tuhanlah, sang Pencipta sejati. 

Kita, selaku makhluk, juga mesti sadar diri bahwa akan tetap sebagai makhluk, sampai kapan pun tidak akan beralih menjadi Tuhan. Bahkan berhadapan dengan alam raya yang mahaluas ini, manusia teramat kecil. Lebih-lebih jika kita mengetahui sekelumit saja dari hakikat alam raya, ternyata kita hanya noktah kecil. Bumi yang kita tempati ibarat debu melayang di tengah semesta. Termasuk matahari yang saban hari acap kali menyilaukan mata, dan menerbitkan kehangatan di muka bumi, ini juga merupakan titik kecil dari keluarga galaksi bimasakti. Dan begitu seterusnya. 

Kembali kepada iqra’ wa rabbuka al- akram, Al-Quran menyifati Tuhan akram, adalah penandasan bahwa Ia akan menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji kepada para hamba yang membaca. 

Hal itu telah terbukti dalam sejarah, membaca merupakan jalan manusia memperoleh derajat kemanusiaan yang sempurna. Membaca adalah syarat utama membangun peradaban. Sebaliknya, peradaban hancur tatkala pelaku sejarah tersebut mengabaikan tradisi membaca. Mereka lalai dengan ilmu, baik pengetahuan yang diperoleh maupun ladunni. Mereka gagal menjaga warisan puncak pengetahuan dari generasi sebelum mereka.   

Gus Baha menandaskan, agar kita terus-terusan menjaga ilmu. Karena ilmulah, warisan Nabi Saw. akan hidup hingga akhir waktu. Dan, “Pastikan semua ilmu itu al-bayyinah, argumentatif secara jelas. Benar-benar argumentatif.” ungkap Gus Baha.

Ia menambahkan, “Semua nabi itu memiliki kekuatan ilmu. Punya kemampuan menelaah, mengkaji, dan menjelaskan. Kemampuan inilah yang harus dimiliki para santri, khususnya. Terutama ilmu logika, ilmu mantik.”

Syahdan, ulama muda asal Rembang itu mewanti-wanti supaya tradisi keilmuan di pesantren terjaga. Karena kenyamanan beriman itu pun ditopang oleh kejelasan pengetahuan yang argumentatif. Karena itulah, semua nabi hadir bi al-ilmi. Para nabi tak mewariskan dirham, emas dan semacamnya, tapi ilmu. Dan, Nabi Muhammad Saw. mewariskan iqra’, tradisi membaca yang tak memutus persambungan dengan Allah. 

Walhasil, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”, niscaya kita memperoleh pemahaman secara utuh. Kita akan terselamatkan dari prasangka yang tak semestinya atas sesuatu. Kita tidak akan mengkultuskan sesuatu itu sebagai sesembahan yang menjerumuskan kita dalam syirik. Sekaligus tidak akan merendahkannya sebagai objek yang mesti dieksplorasi hingga tandas.

Demikianlah. Gus Baha, dalam suatu pengajian, mengingatkan, Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq, dan Iqra’ wa rabbuka al- akram. Perintah membaca segala sesuatu yang tidak memotong sesuatu itu dari asalnya, Tuhan yang Maha Menjadikan. Sehingga syarat keilmuan dalam Islam, bertitik pijak beda dengan tradisi keilmuan kaum sekuler. Dan, semua nabi hadir bi al-ilmi, itu pun dengan berangkat dan berlabuh kepada Allah.

Singkatnya, suka tak suka kita kudu belajar membaca dengan tidak mengalihkan perhatian dari Allah yang mencipta, dan Yang Maha Pemurah.

Begitu kira-kira! 

Ungaran, 23/01/2022

Post a Comment

0 Comments