Tiga Realitas

 Berbaris menjadi kelompok penekan

Ada tiga realitas, ungkap Prof. Dr. Kuntowijoyo. Bersentuhan dengan nilai-nilai Al-Quran dan Hadits, akan terbentuk realitas subjektif. Kemudian, dari realitas subjektif terbit realitas simbolik dan realitas objektif.

Lebih jauh, Kuntowijoyo menjelaskan ketiga realitas itu. Pertama, realitas subjektif merupakan nilai-nilai kitab suci yang menimbulkan kepribadian. Karena nilai-nilai Al-Quran dan Sunah menjadikan seseorang merasa dewasa, merasa aman. Bisa mengenal iman, mengenal takwa, tawakal, dan ihsan. Dan, Allah selalu menilai realitas subjektif seseorang. Sudah sesuaikah kepribadian itu dengan perintah Allah, dan nilai transendental yang diwariskan oleh Nabi Saw.

Dalam menilai, Allah kerap mendatangkan cobaan-cobaan. Dan, hanya mereka yang benar-benar beriman dan bertakwa yang lulus ujian. Kemudian realitas subjektifnya akan dinilai oleh Allah sebagai yang beruntung.

Kedua, realitas simbolik adalah aktualisasi dari realitas subjektif. Dalam hidup, kita kerap mencipta, berpikir, berefleksi, berkonsep. Mempertautkan nilai-nilai transenden dengan realitas objektif, dengan kenyataan sehari-hari. Menginterpretasi nilai-nilai Al-Quran dan As-Sunah. Hingga melahirkan ilmu, seni, sejarah, dan filsafat.

Demikianlah, umat Islam mencipta realitas simbolik. Melahirkan sesuatu yang baru yang bersifat konseptual, yang berupa pemikiran-pemikiran. Dan, realitas simbolik akan selalu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan seiring zaman.

Ketiga, realitas objektif yaitu realitas keseharian, peristiwa-peristiwa, fenomena, dan benda-benda konkret yang kita kenal sebagai kehidupan sehari-hari.

Nah, berdasar tiga realitas tersebut, ternyata realitas umat Islam paling banyak hanya mencapai taraf realitas subjektif. Hanya merasa telah berislam, beriman, dan sebagainya. Berhenti pada tingkat nyaman menjadi bagian Islam, tidak lebih. Sehingga, masih perlu diupayakan supaya umat antusias mencipta realitas simbolik, mengaktualisasikan kepribadian kemuslimannya. Menciptakan ilmu pengetahuan Islam, konsepsi-konsepsi Islam, filsafat Islam. Syukur lagi menjadi realitas objektif, yang faktual, yang konkret. Yang turut dinikmati oleh pihak lain.  

Hal itu, serasa perlu dan mendesak, karena kini kita hidup di tengah realitas simbolik dan objektif yang diproduksi oleh peradaban materialis. Kita terkurung oleh kekuatan kapitalis. Kita berada dalam kemelut lantaran salah mengidentifikasi kesejatian. Kita menganggap bahwa yang di luar itu sebagai identitas sejati. Sementara kesadaran ketuhanan yang esensial justru ditepikan, dan kehadiran material diagungkan.

Benar-benar genting, realitas simbolik dan realitas objektif dewasa ini mengunggulkan manusia sebagai satu-satunya tujuan. Padahal, teori sejarah Islam melihat Tuhan sebagai tujuan akhir, “Dan, kepada Allahlah segala perkara dikembalikan.” (Al-Baqarah: 210). 

Kemudian, berlandas konsep tiga realitas itu, Prof. Dr. Kuntowijoyo menyitir hadits, “Barang siapa di antara kalian melihat kemunkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah dia mengubah dengan lisannya, dan jika tetap tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya, yang demikian itu merupakan selemah-lemahnya iman.”

Berbuat “dengan tangan” berarti realitas objektif. Nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran dan Hadits itu dikonkretkan, dapat dilihat, dapat dirasa. Sekira tidak, setidak-tidaknya umat harus sanggup menciptakan realitas simbolik, berbuat secara lisan, yaitu membuat konsep, berpikir tentang sistem ekonomi Islam, sistem politik Islam, dan seterusnya. Namun, jika itu pun tidak sanggup, umat Islam kembali kepada realisasi subjektif, meneguhkan sistem itu dalam hati. Menghayati nilai Al-Quran dan Hadits. 

Demikianlah, betapa iman harus berlanjut menjadi amal. Betapa aktualisasi diri itu pertama-tama dalam realitas subjektif, tetapi juga harus disertai dengan realitas yang objektif. Betapa iman merupakan realitas dalam dan abstrak, mesti diikuti dengan berbuat yang konkret. Karena, yang simbolik dan objektiflah yang dapat berkomunikasi dengan sesama, yang dapat dirasakan oleh orang lain. Yang menguntungkan bagi segenap makhluk, sehingga rahmatan lil ‘alamin adalah nyata. 

Singkatnya, Islam sedianya tampil dalam wajah kebudayaan. Dan kebudayaan tidak hanya kesenian. Karena kebudayaan merupakan sistem simbol yang meliputi: filsafat, ilmu, mitos, sejarah, bahasa, sastra, dan seni. 

Dan secara objektif, Islam tidak berhenti sebagai agama individual, tapi juga sebagai kolektivitas. Islam adalah komunitas itu sendiri.

Sifat komunitas Islam ini adalah komprehensif dan egalitarian. Komprehensif artinya aktif dalam semua dimensi kehidupan. Komunitas Islam merupakan satuan sosial, satuan ekonomi, satuan politik, satuan budaya, dan satuan-satuan yang lain yang mana masjid menjadi pusat luasannya.

Kemudian egalitarian Islam, dapat kita saksikan di masjid (dan semestinya meluas ke semua wilayah kehidupan). Di masjid jelas terlukis tatkala sedang salat berjamaah, segala rupa, status sosial, dan kelas membaur menjadi satu kesamaan gerak dan kiblat. Tidak ada pembedaan di situ.

Adapun fungsi komunitas, menurut Kuntowijoyo, adalah sebagai interest group (kelompok kepentingan) dan pressure group (kelompok penekan). Sebagai kelompok kepentingan, umat Islam mengharap bisa selalu menjalani syariah secara aman dan nyaman, baik dalam arti sebenarnya maupun sekadar ritual rukun Islam. Kemudian, sebagai kelompok penekan, komunitas Islam memiliki dua agenda perjuangan, yaitu jalan Tuhan dan kepentingan kaum dhu’afa serta mustadh’afin. 

Begitu.

Ungaran, 07/01/2022

Post a Comment

0 Comments