Tinggal Semirang

Curug Semirang

Malam ini, tak bisa tidak, saya senyam-senyum sendiri. Masih terbayang sulung saya, Ahimsa, suatu hari tegas menghendaki tinggal di Kebumen.

Ya, saat itu, suatu sore di beranda rumah, sembari memandangi langit Ungaran yang terinai hujan. Iseng saya bertanya: “Jujur ya, Kak, misal kita berkesempatan pindah rumah, Kakak pengin pindah ke mana? Atau tetap di sini aja?”

Sesaat ia diam. Tapi mata beningnya masih tetap fokus pada air yang berinaian. 

“Kebumen, Yah!” akhirnya ia menjawab.

“Kenapa?”

“Di sana masih banyak pohon. Pekarangannya luas. Dekat laut selatan.”

Saya acungkan jempol padanya. Dan saya bisikkan: “Kok selera kita sama ya, Kak!”

Kami tertawa bersama. Hujan menderas. Angin yang serta merta turut mengiring, sontak menempiaskan titik-titik air ke beranda. Namun, kami tak segera beranjak. Kami bergeming. Terlebih saya, berasa sayang untuk melewatkan senja itu, karena lusa si sulung sudah harus kembali ke pondok. 

***

Setelah magrib, usai tadarusan, hasil bincang sore itu saya teruskan ke Rahma. Mukena masih melekat di kepalanya. Masih ditemani anak-anak, berempat kami duduk melingkar. 

“Ya iyalah kakak Isa akan jawab begitu! Kan nggak enak hati ma kamu.” ketus Rahma.

“Nggak enak gimana?”

“Halah sok ngeles!”

“Beneran nggak ngerti aku!”

“Kak Isa, Dik Rakai, itu menghormati, sangat menghormati malah, opini yang kamu giring.” sembari ia memonyongkan mulutnya. Ah, sungguh menggemaskan.

Saya alih pandangan ke Ahimsa, yang duduk berhadap-hadapan dengan Rakai. Ia hanya menengadahkan tangan dan mengangkat bahu. 

“Sayang banget ya, Kak, kita tak sempat mengulang petualangan ke Curug Semirang!” tukas Rakai, seolah hendak mengalihkan topik pertengkaran saya dengan Rahma. 

“Iya betul, Dik! Tapi nggak apa. Kan adik masih sakit. Masih ada kesempatan. Besok-besok kalau kakak ada liburan, dan tentunya adik dah pulih bener, kita bertualang ke sana.” hibur Ahimsa.  

Saya dan Rahma mendadak takjub. Jelas sekali wajahnya merona. Setengah berbisik di telinganya, saya katakan: “Bukan berkat opiniku lho!”

Rahma melotot tak terima. Dan saya yakin, sekira tak ada anak-anak, ia serta merta akan mencubit atau memukuli saya sepuas hatinya.

***

 “Jam berapa, Yah?” tanya si ragil. 

“Jam sembilan, Nak. Ada apa?”

“Hari ini kita ke Semirang ya!” seraya ia mengucek mata.

“Wokeh. Adik dah nggak pusing kan? Tapi adik sarapan dulu!”

Lantas saya ambil gadget. Saya kirim pesan via WhatsApp ke Rahma: “Adik ngajak ke Semirang. Tahu kan, ini bukan karena opiniku! Hahaha ….”

Detik selanjutnya, ada tanda Rahma sedang mengetik, terbitlah jawaban “Iya ya percaya. Dah sana dolan! Ganggu aja! Ini lagi ngobrol dengan muridku. Tapi awas: Jaga pandangan! Hehehe….”

***

Hutan Semirang. Salah satu tujuan wana wisata di lereng Gunung Ungaran. Tidak jauh dari tempat tinggal kami, ya, tak sampai 15 menit dengan bersepeda motor sudah tiba di lokasi. Di situ ada air terjunnya. Bersebelahan dengan Bumi Perkemahan Kebun Pala.  

Dan hari itu, persis liburan Natal, Rakai kembali mengajak ke situ, ritual membaca belantara terbuka. Saya mengiyakan saja, saya tak keberatan. Apalagi memang, tidak saban hari ke Semirang. Padahal Semirang nyata-nyata selalu menjanjikan kenyamanan. Hanya sayang, si kakak, Ahimsa, sudah balik ke pondok, otomatis tak ikut membarengi ke Semirang.

Sungguh Semirang itu akan menghipnosis siapa saja untuk membaca jejak kaki, tetesan air, tanah, pohon, bunyi serangga, dan gemericik air sungai. Di situ kita bisa menjajal fisik, mendaki jalan setapak menuju air terjun Semirang sekitar 1 km dari pos masuk. 

Sudah berulang kali kami ke air terjun. Tapi belum kunjung bosan, padahal sekali lagi jarak tempuhnya jelas tak ringan. Harus menapak jalan berundak yang lumayan panjang. Namun, saya dan sepertinya Rakai juga, serasa baru menikmati pesona alam Semirang.  

Masih jelas di ingatan, jauh sebelum pandemi, Oktober 2017, kali pertama kaki menjejak tanah di pintu masuk, Rakai langsung bersemangat. Ia tertegun mengamati saluran air dari belahan bambu. Selama ini yang ia tahu, air mengalir dari rumah ke rumah dengan pipa paralon. 

Menit kemudian, saya ajak dia bergegas ke air terjun. Rakai antusias mendengar kata “air terjun”. Ia mempercepat langkah kaki mungilnya. Menyusur jalan setapak. Menanjak. Sisi kanan, dinding tanah berbatu, juga pepohonan tua dengan akar menyembul, dan semak liar. Sisi kiri, tanah menurun curam semacam jurang dengan dasar sungai. Sehingga, sepanjang perjalanan, bunyi aliran air sungai itu terdengar jelas. Bunyi air mengalir yang setia mengiring langkah kaki kami.

Kurang-lebih sejam kami berjalan mendaki. Hanya kami berdua. Barangkali karena masih di bawah pukul 12-an, sehingga belum ada pengunjung lain. Rakai berkali-kali setengah berlari. Terus terang saya takut ia jatuh tergelincir. Karena tanah setapak itu masih licin sehabis terguyur hujan semalaman. Dan akhirnya begitu tiba persis di bawah air terjun, setelah susah payah meniti undakan dan setapak sempit, tak bosan-bosan Rakai mendongak ke atas, ke sumber air. Ia bergumam takjub memandang air menderas dari atas tebing. Pepohonan liar besar-kecil melilit batu raksasa yang kukuh di balik terpaan air terjun. 

“Boleh mandi, Yah?” tanya Rakai.

Di Curug Semirang

Saya mengangguk. Segera saja, ia, dan saya pun tak mau ketinggalan merasai dingin air terjun. 

Dan hal itu hingga sekarang, begitu dibuka lagi setelah pada masa pandemi ditutup, kami masih setia menjadwal nature walk ke Semirang.

***

Malam ini, sudah barang tentu saya tak bisa melupakan saat-saat kami bepergian ke padang perdu, hutan, tepi sawah, dan sungai. Saya dan Rakai terakhir ke Curug Semirang pas liburan Natal, 25 Desember 2021, sehari setelah mengantar Ahimsa balik ke Magelang. 

Bagaimanapun memasuki lorong setapak berbatu-batu tak teratur itu mengasyikkan. Memandangi hamparan padang perdu, tebing yang miring, kemudian menyisir jalan sempit yang panjang dengan di sebelah-menyebelah tampak tumbuh gerumbul-gerumbul liar, itu teramat mengesankan. Belum lagi semak-semak yang menggores kaki dengan duri-duri tajam. Betapalah pokoknya.

Betapa, suatu ketika itu, kami merasai angin berembus menyisir batang-batang padi di sawah. Kami duduk di atas lincak bambu, dengan keringat yang masih saja membasahi pakaian kami. Sungguh berasa damai hati ini.

Bagaimanapun tatkala kami menyusuri jalan setapak menuju pinggir hutan Penggaron, ditambah dengan keberadaan sungai yang membelah hutan itu, benar-benar menggugah hati. Matahari menjadi seolah kehilangan terik, padahal persis di atas kepala. Ya, bagaimana cahya mentari itu tak menjadi redup, karena bayangan dedaunan yang seakan tak bersela. Hanya satu dua berkas sinarnya yang sempat menggapai tanah lembab di hutan pinggir Kota Ungaran itu.

Tapi, eh, kini Penggaron sudah lain cerita. Tinggal Semirang yang masih ramah dikunjungi.

Ungaran, 16/01/2022

Post a Comment

0 Comments