Mendaras Sahabat Terakhir

Slamat P. Sinambela adalah penerjemah novel itu, Sahabat Terakhir. Diterjemahkan dari Last Friend, terbitan Penguin Books, 2007. Sahabat Terakhir, karya Tahar Ben Jelloun, yang lantas diterbitkan oleh Penerbit  BASABASI, 2018, merupakan penyelusuran persahabatan Ali dan Mamed, juga Ramon, para remaja Maroko, akhir 1950-an.

Ben Jelloun membagi novelnya ini dalam 5 bagian: Prolog, Bagian I Ali, Bagian II Mamed, Bagian III Ramon, dan Bagian IV Surat.  

Dalam Prolog, Ben Jelloun membuka cerita tentang Ali yang menerima surat dari Mamed. Hanya satu paragraf. Singkat, dan tak menjelaskan apa isi surat tersebut. Ben seolah sengaja ingin mengulur rasa penasaran pembaca soal isi surat, yang ternyata kemudian ia letakkan di bagian terakhir, IV.

Petualangan persahabatan Ali dan Mamed lebih detail penulis angkat di bagian I dan II. Tentang obsesi mereka. Masa kuliah yang lengkap dengan predikat aktivis mahasiswa, pengalaman berpartai politik, dan termasuk kisah percintaan pada pasangan hidup mereka masing-masing.

Ali yang sebelumnya mencintai Zina, akhirnya memilih Soraya sebagai belahan jiwanya. Ia adalah wanita cerdas, lincah, manis, dan penuh cinta. Mereka menjalani hidup sebagai borjuis kecil di Tangier bagian Selatan.    

Namun, kebahagiaan mereka sedikit tersendat karena tak mendapat anugerah momongan. Soraya tidak bisa punya anak. Akhirnya mereka mengadopsi seorang anak laki-laki berusia enam minggu dari sebuah panti asuhan. Nabil nama anak laki-laki itu. 

Sementara Mamed menikah dengan Ghita. Seorang yang temperamen, tapi cerdas. Seorang yang tak pernah ragu, yakin pada dirinya sendiri. Ia juga tulus dan jujur, serta tidak tahan dengan kemunafikan sosial yang merebak di Maroko. Ya, ia lembut dan keras sekaligus. Berbeda dengan Soraya, ia mempunyai anak kandung, Yanis dan Adil. Dan memastikan anak-anaknya mendapat pendidikan yang memadai. 

Memang, Ali dan Mamed akhirnya sibuk dengan dunia dan keluarga mereka masing-masing. Namun, persahabatan tetaplah persahabatan. Persahabatan yang sungguh berarti, melintas tanpa sekat dan berlangsung lama. Hanya mautlah yang sanggup memisahkan kekariban mereka. Sampai-sampai saking akrabnya dan saling mengisi, baik Soraya maupun Ghita acap kali merasa diduakan oleh suami mereka masing-masing. 

Ali dengan ringan tangan akan menggantikan setiap kesulitan yang mendera Mamed. Pun begitu, Mamed akan membela habis-habisan demi Ali. Hingga akhirnya bencana persahabatan mereka pun mengemuka. Semula Ali tidak mengetahui persis kenapa Mamed berubah secara tiba-tiba, bahkan tega menuduhnya telah berkhianat. Ali seketika merasa hidupnya tanpa makna begitu Mamed mengambil jarak dengannya. 

Ali toh akhirnya menyadari ketika sepucuk surat dari Mamed datang menghampirinya. Surat yang menandai berakhirnya persahabatan mereka. Ali berulang kali membacanya, antara ragu dan kenyataan. Dan memang benar, Mamed telah meninggalkannya, untuk selamanya.

Mamed terpaksa mengambil keputusan untuk menyudahi persahabatan. Hal ini, karena arti persahabatan itu sendiri. Mamed sadar, jika Ali mengetahui kenyataan yang sebenarnya, niscaya Ali akan rela berhari-hari menemaninya. Ali akan mendampingi Mamed hingga detik-detik terakhir menghirup udara di muka bumi ini. Namun, Mamed tidak rela itu menimpa Ali. Ia tidak mau Ali sedih dan turut menyertai derita, hanya demi seorang Mamed. Cukup Ghita beserta anak-anak, dan Ramon yang mengetahui keadaan Mamed. Ali jangan sampai. Ali terlampau berharga di kedalaman relung hati Mamed. 

Demikian. Mamed menjalani kemoterapi tanpa sepengetahuan secuil pun dan kehadiran Ali. Padahal Ali terus berusaha menghubungi Mamed. Ia menelepon. Ia berulang kali mengirim surat. Namun, yang diperoleh adalah jawaban ketus. 

Mamed benar-benar menjauh dari kehidupan Ali. Ia menjawab surat-surat Ali dengan kasar, tanpa emosi. Hingga kemudian ia menyusun surat pengakuan untuk Ali, sebelum maut menjemput. Mamed menjelaskan kenapa itu mesti (terpaksa) ia lakukan. Dan Ramon, saksi dari ketulusan persahabatan mereka. Ramon mengetahui persis yang diharapkan Mamed, yang tidak pengin mengikutsertakan Ali menanggung duka, detik-detik menjelang kematian. 

Ramon memahami betapa hancur hati Ali, yang tesergap oleh pelbagai dugaan, tapi apa, Ali tak kunjung mengerti. Ali mencoba mengorek keterangan dari Ramon. Juga nihil. Padahal persahabatan mereka, Ali dengan Mamed, beberapa tahun terakhir berlangsung transparan, terbuka, tidak ada drama, dan kesalahpahaman yang menguras energi perasaan. Mereka saling berbagi cerita tentang banyak hal, tapi kenapa tiba-tiba Mamed berubah? Itu yang Ali tak mengerti, sebelum sepucuk surat itu tiba di pangkuannya. 

Tiga tahun drama perpisahan, sebelum benar-benar berpisah, itu berlangsung. Dan sekali lagi Ramon menjadi saksi. Mamed menumpahkan derita dan terpaksa bikin skenario soal “apartemen” kepada Ramon. Ali pun melakukan hal yang sama pada Ramon: menuntut jawaban ada apa dengan Mamed.

Saya bayangkan betapa dilema di posisi Ramon. Ia harus menjaga rahasia Mamed. Membantu Ghita dan turut mencukupi kebutuhan anak-anak mereka. Pada saat bersamaan, ia juga harus memahami keterkejutan dan rasa bersalah Ali, yang sontak syok dengan perubahan Mamed.

Ramon terharu menyaksikan keteguhan Mamed, yang terus mengerjakan surat pamungkas untuk Ali dengan tangannya sendiri di sela menjalani terapi. Ramon tak benar-benar mengerti: persahabatan dua karibnya yang mesti berakhir dengan drama. Sungguh menyesakkan! Dan saya berat membayangkannya.

Lagi-lagi saya bayangkan betapa luruh tersungkur hati Ramon, ketika menyaksikan adegan Mamed berpamitan pada kedua anaknya dan juga pada Ghita, sang istri. Mereka saling berpegangan tangan, dengan tidak membiarkan diri menangis. Masing-masing menahan diri untuk tak menumpahkan air mata. Walau Ghita, akhirnya tetap menangis, merasai tangan suaminya yang melemah, dan terus melemah. 

Mamed, yang nama aslinya Mohammed, dimakamkan di pemakaman Mujahidin, pejuang kemerdekaan, Tangier, Maroko. Ali, yang entah seperti apa begitu hancur hatinya dan memendam sedih teramat dalam, ada di antara kerumunan pelayat.  

Syahdan, novel Tahar Ben Jelloun ini termasuk karya sastra yang berhasil menguras emosi, paling tidak buat saya. Lebih mengasyikkan lagi, Ben menyusunnya dengan kalimat-kalimat ringkas, tidak bertele-tele. Setiap bab tidak lebih dari 3 halaman. Dan Slamat P. Sinambela berhasil menghadirkannya ke pembaca Indonesia, yang juga dengan sentuhan sastrawi. 

Ungaran, 10 Maret 2022

Post a Comment

0 Comments