Siang itu, 17 Oktober 2016, Kota Palu panas. Teramat panas. Kurang-lebih pukul 14.00 pesawat Lion mendarat di bandara Kota Palu. Saya bersama rombongan--utusan Balai Bahasa masing-masing provinsi--seusai transit di Makassar, menginjakkan kaki di Kota Palu. Dan kira-kira sejam kemudian, rombongan kami sudah berkumpul di Hotel Amazing Beach Resort, Jalan Malonda 76, Tipo, Palu.
Rombongan yang berangkat bersama dari Bandara Makassar: Raihan dan Oktavira (Gorontalo), Achi dan anggota komunitasnya (Sulawesi Utara), Heri beserta rombongan Komunitas Ngejah, Garut (Jawa Barat), Abdul dan anggota komunitasnya (Nusa Tenggara Timur).Kemudian, waktu bergeser. Senja pun menghilang. Pantulan bulan mewarnai Teluk Palu, ketika upacara pembukaan Festival Literasi berlangsung di aula Hotel Amazing. Amat eksotik. Sebagian besar peserta menampilkan pakaian adat masing-masing. Terasa sekali warna Indonesia. Warna kebhinekaan. Ya, saat itu kami berkumpul bersama dalam keberagaman. Saya pun merinding berada di tengah-tengah mereka. Terutama saat berdiri menyanyikan lagu kebangsaan.
Esok harinya, 18 Oktober 2016, adalah lomba membaca Teks Naratif untuk anggota komunitas, lomba meringkas dan mengonversi teks untuk pegiat komunitas. Dan, perlombaan selesai pukul 17.00. Lantas istirahat. Namun, tak sedikit kawan-kawan yang memilih untuk menghikmahi malam dengan mencicip kopi. Mereka mengobrol hingga dini hari.
Tanggal 19 Oktober 2016, adalah lomba merefleksi bahan bacaan untuk tim perwakilan provinsi. O ya, saya bertolak dari Semarang menuju Palu, sebagai satu tim utusan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah: dua orang pegiat literasi dan dua orang anggota komunitas dari dua komunitas baca. Lomba merefleksi cerita rakyat itu lumayan menyita waktu lama. Nyaris pukul 23.00 baru bisa dituntaskan. Benar. Kami kelelahan. Teramat sangat capek.
Namun, khusus tim Jawa Tengah (saya dan Aldias Ara, peserta didik SMP Negeri 1 Ungaran, sebagai wakil dari Keluarga Literasi Ungaran, bersama Triman Laksana dan Alvina, peserta didik SMP Negeri 1 Magelang, wakil dari Padepokan Djagad Djawa) memperoleh penghargaan juara pertama. Juara merefleksi cerita rakyat. Rasa lelah itu terobati.
Nah, saya kira bukan perlombaannya yang penting. Bukan. Lomba-lomba itu biasa saja. Yang sangat merasuk dalam hati saya bukanlah saat membaca teks, meringkas, mengonversi, atau merfleksi cerita rakyat. Melainkan kebersamaan dalam keberagaman. Festival Literasi lebih sebagai peragaan Indonesia. Saat itu kami benar-benar sedang memperagakan kebhinekaan Indonesia. Kami sedang mendendangkan nusantara yang kaya budaya. Kaya bahasa. Kaya pikiran dan rasa. Kami sedang menjalin dan menjahit tenun Dipantara. Kami memamerkan batik masing-masing. Memamerkan macam ragam logat bahasa. Bahkan ada yang sempat atau malahan sengaja membawa dan berbagi kopi asli daerahnya. Dan, semua itu, sungguh berasa Indonesia. Indonesialah kami, dan kita semua.
Tanggal 20 Oktober 2016, kami berpisah. Kami melanjutkan kisah literasi di kampung halaman masing-masing. Walau sesungguhnya kami tak berpisah. Jarak geografi memang tak berdekatan, tapi pikiran dan perasaan kami terasa menyatu. Saban hari, melalui grup media sosial, kami berseloroh, bercanda, berbagi cerita, curah pendapat, curah gagasan, dan tak jarang pula “bertengkar”. Ya, semoga jalinan hati ini abadi. Jalinan karya kami lestari.
***
Seminggu kemudian, 27 Oktober 2016, saya terbang ke Jakarta, masih sebagai utusan dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Dan, Jakarta saat itu hujan. Saya bertolak dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang menuju Wisma Cakrawala, Kantor Badan Pengembangang dan Pembinaan Bahasa, Rawamangun. Angin yang dingin, rinai hujan yang jatuh, dan rasa lapar, tidak saya pedulikan. Saya ingin segera menghikmahi puncak Bulan Bahasa dan Sastra. Ya, saya tiba di Jakarta atas undangan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menerima penyerahan hadiah Festival Literasi Tingkat Nasional, lomba merefleksi cerita rakyat.
Keesokan hari, 28 Oktober 2016, tepat dengan peringatan Sumpah Pemuda. Persisnya pukul 11.00, saya meninggalkan Wisma Cakrawala menuju Hotel Bidakara. Membelah keramaian Kota Jakarta, untuk turut menikmati sajian puncak acara. Lagi-lagi, saya tak begitu tertarik dengan penyematan gelar dan anugerah plakat. Bahkan dari sekian tamu agung yang berpidato di podium, hanya Abdul Gafur yang terasa menggugah. Ia menggugah kesadaran rasa keindonesiaan saya. Saya melihat sang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, terasa terbata-bata di atas mimbar ketika menimpali paparan Abdul Gafur. Ia berjanji akan menggairahkan masyarakat agar lebih disiplin berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Abdul Gafur, Menteri Pemuda dan Olahraga era Soeharto, menyesalkan merebaknya penggunaan bahasa asing di ranah publik. Secara tak langsung pemerintah dan masyarakat telah mengabaikan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara. Begitu kritik yang diserukan pencetus Bulan Bahasa pada 1980 itu di puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2016. Dia menyerukan agar Presiden Jokowi memelopori pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia.
Syukurlah saya turut menyaksikan puncak Bulan Bahasa dan Sastra di Hotel Bidakara, Jakarta, 28 Oktober 2016. Saya turut merasa kegelisahan Abdul Gafur atas penduaan bahasa Indonesia. Saya juga merasakan kegembiraan para tokoh dan pegiat yang memperoleh penghargaan. Saya melihat kebahagiaan para pemenang sayembara dan festival literasi. Dan, terutama saya berkesempatan menatap lebih dekat gemerlap warna-warni para duta bahasa yang datang dari segenap penjuru provinsi di negeri ini. Ya, para duta bahasa itu tak satu pun yang tak rupawan. Semua menarik. Sungguh!
Takjub. Saya tak sanggup menutup ketakjuban atas peristiwa itu. Benar-benar acara puncak kebahasaan dan kesastraan. Terlebih seruan untuk memartabatkan bahasa Indonesia, terasa menyentuh hati. Barangkali, selama ini kita (lebih tepatnya saya) latah bahkan bangga menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Kita acap mempercakapkan sesuatu dengan piranti bahasa asing. Kita lebih bangga menamai sanggar atau komunitas literasi dengan istilah asing.
Masih jelas dalam benak, sebelum perhelatan puncak di Hotel Bidakara tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah melangsungkan Festival Literasi Tingkat Nasional di Hotel Amazing Beach Resort. Nah, bagaimana coba, nama hotel pun terasa “wah” dengan menggunakan istilah bahasa asing kan? He-he-he....
Namun, bagaimanapun saya tetap wajib bersyukur, berkesempatan menjadi bagian dari para penyemarak festival. Menyertai dinamika festival, dan lantas berasyik-asyik di Ibukota.
“Kita tidak anti bahasa asing, tapi kita orang Indonesia yang memiliki bahasa Indonesia. Jika ada padanannya, ya, tulislah begitu! Kalaupun tidak ada, ya, buatlah kata-kata serapannya...!” ujar Abdul Gafur.
Sementara dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, pada puncak Bulan Bahasa dan Sastra itu meluncurkan KBBI V, Tesaurus tematis, Ensiklopedi sastra Indonesia, dan bahan literasi: cerita rakyat.
Kemudian acara ditutup dengan persembahan lagu oleh Dira Sugandi. Dan penampilan Tari Batik.
Akhirnya, Sabtu pagi, 29 Oktober 2016, saya menempuh laku untuk meneguhkan lagi kecintaan atas bahasa Indonesia di Semarang, Jawa Tengah. Ya, setidaknya untuk diri dan keluarga, serta komunitas Keluarga Literasi Ungaran (Kelingan).
Ya, kenangan itu. Kenangan merasai Indonesia. Saat mengikuti Festival Literasi di Kota Palu. Menikmati puncak Bulan Bahasa dan Sastra di Hotel Bidakara, Jakarta. Ketika bersama-sama merayakan keberagaman Indonesia. Negeri yang konon sebagai penggalan surga ini, sungguh tepat memilih sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Yang beragam tapi bersatu. Yang bermacam rupa, tapi menggembirakan.
Ungaran, 9 Maret 2022
14 Comments
kereeeeen ... cuma bisa bilang begitu. selalu amaze sama acara literasi begini. bukan hanya acaranya yang 'penuh' isi, tetapi juga punya kesempatan berkenalan dengan banyak orang dari berbagai daerah. kangen memang acara literasi begini, sudah lama sekali rasanya. kapan ya, bisa ada kegiatan seru seperti ini lagi?
ReplyDeleteBetul banget...ada kesempatan kenal banyak pegiat literasi...
DeleteMas Ardi ini keeren sekali ya. Senang dan concern terhadap bahasa Indonesia dengan mengikuti berbagai festival literasi di berbagai tempat. Dapat ilmu dan wawasan tentunya. Iya nih makin banyak orang yang lebih suka menggunakan English2an katanya biar lebih wow keren dan lebih singkat juga buat iklan2. Emang begitu? Jadi berpikir keras :D Hhhhmmm :D
ReplyDeleteHahaha...istilah kami "keminggris", sedikit-sedikit pakai istilah Inggris, padahal ada padanannya di bahasa kita
DeleteMantap jiwa nih pengalaman Pak Ardi. Saya selama ini hanya melihat Bulan Bahasa dari kejauhan. Tapi rasa bangga terhadap bahasa nasional selalu ada mewarnai kelas kami, tempat orang asing belajar berbahasa Indonesia. 🤭 Seperti Pak Ardi dkk. di Bulan Bahasa dulu kami mengajak para bule menikmati permainan tradisional Indonesia. Setiap siswa juga diberi nama khas suku-suku negeri kita.
ReplyDeleteWuish, mbak Aryanti super juga ....siiip
DeleteAku kagum sama semua kegiatan yang selalu ditulis Mas Ardi di blog. Begitu getolnya memperkenalkan, menimba ilmu, sampai sharing ilmu tentang literasi. Aku belum bisa sampai tahap ini, dan semoga saja bisa lebih giat juga untuk mengenalkan literasi.
ReplyDeleteHehehe...makasih yah.... (jadi besar kepala nih aku...)
Deletemasih ada ngga sih mas cara begini setelah pandemi? keren banget, dan pasti pengalaman yang seru ketemu sama sodara lain pulau. Dan saya juga setuju sama pak Abdul Gafur, pake bahasa indonesia aja, walau kadang saya sendiri masih suka kelepasan bahasa campuraduk
ReplyDeleteAcara festival literasi sih saban tahun ada, Mbak. Saat pandemi berlangsung hibrid: zoom dan luring. Cuma luringnya dibatasi tak lebih dari 50 orang
DeleteSenangnya bisa hadir di acara literasi seperti ini dan bertemu dengan banyak orang yang juga punya minat yang serupa, membahagiakan dan bikin ide jadi berlimpah ya.. semoga nanti bisa mulai acara luring lagi yaa..
ReplyDeleteHe eh...ayo kumpul lagi. Kuangen aku
DeleteKerennn banget mas ini, aku suka pengen ikut acara literasi, tapi antara kurang info apa memang ga ada ya. Kayaknya di Bogor jarang ada mas. Seru pasti ya berkumpul dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama dengan kita.
ReplyDeleteDi Bogor, setahuku ada pegiat yang keren, di Warabal Parung....
Delete