Hamba Allah atau Nalar?

Kuaitas Hamba Allah

Puasa #4

Syekh Ibnu Arabi membagi manusia dalam dua kategori. Yakni manusia sempurna dan manusia binatang. Manusia binatang itu manusia yang bersifat persis sifat binatang. Ia berorientasi ke bawah, urusan duniawi saja. Sementara manusia sempurna (insan kamil), orientasi hidupnya ke atas, kampung akhirat.

Manusia sempurna ini disebut pula sebagai hamba Tuhan. Jiwa dan kalbunya suci, bebas dari hawa nafsu dan ikatan badaniah. Ia berada dalam formasi ukhrawi, yang mengenal Allah dengan penyingkapan intuitif dan rasa, bukan dengan akal. 

Sedangkan manusia binatang dikategorikan sebagai hamba nalar. Orang yang terikat oleh badan dan nafsu. Orang yang berada dalam formasi duniawi, yang mengetahui Tuhan dengan nalar pikiran, bahkan menempatkan-Nya di bawah hukum nalar. 

Hamba nalar mendewakan nalarnya. Mengunggulkan akal pikirannya sendiri. Itu pula kenapa, oleh para filsuf, manusia acap disebut “binatang yang berpikir”, “binatang yang memaknai”, “binatang yang bermain simbol”. Dan, Syekh Ibnu Arabi dengan tegas menyebutnya abdi akal, bukan abdi Tuhan. Sebab, jelas-jelas yang dinomorsatukan bukan Allah, melainkan kebenaran dalam versinya.

Sedang hamba Allah, menurut Syekh Ibnu Arabi, tidak akan menghamba pada persangkaannya, persepsinya, dan pendapat-pendapatnya. Ia tidak akan memaksakan bahwa pendapatnya yang benar, yang lain salah. Ia terbuka dengan ide-ide yang berbeda, karena menyadari bahwa wawasan manusia itu sesungguhnya terbatas. Hanya Allah yang Maha Tak Terbatas. 

Dan, memang begitu kenyataannya, kebenaran yang kita tahu sebetulnya sejangkau pengalaman saja. Sejauh yang sempat mampir di benak kita. Maka, jangan disembah itu nalar pikiran! Seorang hamba Allah, sekali lagi, mesti terbuka dan bersemangat terus belajar. 

“Manusia adalah perpaduan semua nama Tuhan dan semua realitas alam.” tulis Syekh Ibnu Arabi. “Aspek lahir manusia adalah makhluk, aspek batinnya adalah Tuhan.” 

Sehingga, kesempurnaan manusia bukanlah pada akal pikiran, bukan pada kekuatan daya nalar, melainkan karena dirinya menjadi lokus penjelmaan Tuhan secara komplet. Penampakan Tuhan yang berupa semesta raya, atau makrokosmos, dan roh Allah, berpadu dalam diri manusia. Jadi, kita itu mengandung semua kandungan alam semesta, sekaligus dalam diri kita ada penggerak, roh, yang berasal dari Allah.

Dari situlah, tugas awal kita seyogianya memahami ke dalam, menemu siapa sesungguhnya jati diri kita, yang tiada lain dan tidak bukan adalah hamba Allah. Bahwa kita adalah mikrokosmos, jagat kecil, yang tercipta sekaligus yang sanggup terbang mengatasi ruang waktu, karena ada roh yang dititipkan-Nya ke kita.

Gamblangnya begini, Allah telah memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam. Dengan demikian, kembali menegaskan dalam catatan-catatan sebelumnya, kenyataan ini merupakan perwujudan dari nama dan sifat-sifat Allah. Kenyataan merupakan wadah tajalli, yang padanya Tuhan melihat citra diri-Nya dalam wujud yang terbatas.

Dikatakan terbatas, karena alam ini masih merupakan bentuk tanpa roh. Sehingga, tetap saja belum dapat memantulkan gambaran Tuhan secara paripurna. Barulah, via Adam, ibarat cermin yang terang karena ada roh dalam jasad, citra diri Tuhan itu tampil sempurna. 

Akan tetapi, tidak serta merta semua keturunan manusia Adam sanggup menampilkan citra diri Tuhan secara utuh. Tidak semua dari kita sanggup. Hanya manusia, yang oleh Syekh Ibnu Arabi disebut manusia sempurna, yang pada dirinya tecermin nama-nama dan sifat-sifat Allah secara sempurna. Ia dijadikan Tuhan sebagai roh alam, di mana segenap alam tunduk kepadanya. Maka, tak aneh, selagi masih ada hamba Allah yang tak henti menyebut asma-Nya, niscaya kiamat masih ditunda. Alam belum hancur atau mati, lantaran masih terdapat roh di dalamnya, yakni kehadiran sang hamba Allah atau insan kamil. Persis keadaan manusia yang masih berkesempatan menghirup udara bebas lantaran roh Allah masih bersemayam di jasadnya.

Oleh karenanya, pada hakikatnya manusialah yang menjadi sebab adanya alam. Manusia di sini tentunya insan kamil, yakni seorang hamba Allah bukan hamba nalar, yang dalam khazanah Islam maujud dalam rentetan kehadiran nabi-nabi dan rasul yang bermuara pada diri Rasulullah Muhammad Saw. yang oleh Allah ditetapkan sebagai model rujukan insan kamil hingga akhir zaman.

Ya, Muhammad Saw. adalah uswatun hasanah, karena dialah yang paling bisa mengenal Tuhan. Maka, alam pun terpelihara semenjak kehadiran beliau dan para pendahulu beliau yang berhakikat Ilahi. Hal ini logis, sebab kedudukannya sebagai sebab terciptanya alam dan sebagai wadah tajalli Tuhan. Seandainya “sebab” telah hilang, maka “akibat” pun tentu akan hilang. Jika keinginan Tuhan untuk dikenal telah hilang, tentu Ia akan menghilangkan manusia dan berhenti ber-tajalli, maka alam pun akan lenyap.

Aku adalah harta terpendam yang belum dikenal; Aku rindu agar dapat dikenal, maka Kuciptakan makhluk; Aku pun memperkenalkan diri-Ku kepada mereka, sehingga mereka mengenal-Ku.” (Hadits Qudsi).

Walhasil, sekira alam semesta dan umat manusia tak segera digulung Tuhan, tak ada pilihan lain selain terus merawat kualitas diri sebagai hamba Allah, sebagai manusia sempurna. Bukan sebaliknya, hanya mengedepankan martabat diri yang mengarah ke bawah, memupuk urusan duniawi semata.

Demikian, Wa Allah A’lam.

Ungaran, 06/04/2022 

Baca juga: Mana yang Utama?

Post a Comment

0 Comments