Ibnu Arabi

Ttentang Ibnu Arabi

Puasa #13

Saat di Jawa muncul tokoh legendaris pendiri Wangsa Rajasa, yakni Ken Arok atau Sri Rajasa, yang menjadi leluhur raja-raja Jawa mulai Singhasari hingga Mataram Islam. Di belahan Barat, Spanyol, hadir seorang tokoh filsuf sekaligus sufi besar, Ibnu Arabi.

Ada yang menyebutkan, kebesaran Ibnu Arabi sebagai tokoh pemikir dan sufi hanya bisa disepadankan dengan al-Ghazali. Karya mereka berpengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Islam di akhir abad pertengahan hingga hari ini. Malahan Ibnu Arabi diterima baik oleh Sunni maupun Syiah, di luar keyakinan Islam pun menerima. Meski yang menentang juga ada, Ibnu Taimiyah salah satunya.

Sudah tak terhitung buku yang mengulas ketokohan dan pemikiran Ibnu Arabi. Satu di antaranya, dan ini yang saya punya, adalah Sufisme, karya Toshihiko Izutsu. Dalam buku itu teringkas konsep tasawuf falsafi, yang lumayan membantu untuk masuk ke kedalaman Ibnu Arabi. Karena memang tak mudah untuk langsung menyelami Fushush al-Hikam atau al-Futuhat al-Makkiyah, dua karya masterpiece-nya. 

Ibnu Arabi, lahir di Murcia, Spanyol, 26 Juli 1165 dari keluarga terpandang. Ayahnya, Ali Ibnu Muhammad berkebangsaan Arab yang lahir dan tumbuh dewasa di Andalusia. Ali Ibnu Muhammad seorang imam di bidang Hadis, dan Fiqh pada masa kepemimpinan Abu Ya’qub Yusuf dan Abu Yusuf al-Manshur. Ali Ibnu Muhammad ini juga merupakan sahabat karib Ibnu Rusyd.

Pada saat Ibnu Arabi berusia 8 tahun, keluarga Ali Ibnu Muhammad itu pindah ke Sevilla. Di tempat baru inilah, Ibnu Arabi memulai pembelajaran formalnya dalam asuhan sarjana-sarjana terkemuka di kota itu. Semua jenis ilmu keislaman ditekuninya hingga menginjak usia belasan tahun. 

Dan kemudian di usia yang belum genap 20 tahun itu, Ibnu Arabi mulai melirik tasawuf, setelah menamatkan ilmu al-Quran, tafsir, hadis, fiqh, teologi dan filsafat. Saat itu pula, persisnya tahun 1184, Ibnu Arabi menikah dengan Maryam, perempuan muda yang cantik dan shalehah. 

Dalam hal tasawuf, Ibnu Arabi menjalaninya tidak dalam rangka untuk menghilangkan ilmu-ilmu yang dikuasai sebelumnya. Justru menjadi pembuka yang mempermudah orientasi fikih dan filsafatnya. Tasawuf menjadi pelengkap ilmu keislamannya, sehingga jelas berbeda dengan al-Ghazali yang memandang tasawuf sebagai penyelamat dari “kesesatan filsafat”. 

Lantas Ibnu Arabi menetapkan tasawuf sebagai jalan hidupnya, saat usianya genap 20 tahun. Pada saat itu ia kerap berkhalwat. Dan sejak menyelesaikan khalwat pertamanya, ia sudah banyak memperoleh bermacam-macam ilham, kasyaf, pencerahan, dan visi dalam mimpi. Ia mengadukan hal itu kepada ayahnya. Namun sang ayah tidak mampu menafsirkannya. Lantas dipertemukannya Ibnu Arabi dengan Ibnu Rusyd. 

Pertemuan dua sosok itu, adalah momen di mana Ibnu Rusyd melihat dengan mata kepala ilmu kasyaf dalam diri Ibnu Arabi. Ibnu Rusyd, filsuf besar dari Cordoba, mengakui kehebatan Ibnu Arabi, khususnya skill mukasyafah-nya. Sebuah kemampuan menyingkap sesuatu yang gaib, abstrak, atau terselubung. 

Ini adalah perkara yang kami yakini.” kata Ibnu Rusyd. “Namun, kami belum sekali pun melihat langsung orang yang betul-betul menguasainya. Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan saya di suatu masa di mana saya bisa berjumpa langsung dengan seseorang yang betul-betul menguasainya.

Orang itu menjadi kunci pembuka bagi pintu-pintu yang selama ini terkunci rapat. Segala puji bagi Allah yang telah membriku kesempatan untuk berjumpa langsung dengan Ibnu Arabi itu.” 

Semenjak itu Ibnu Arabi gemar berkelana ke berbagai tempat di Spanyol untuk berguru kepada banyak guru sufi yang ditemuinya.  

Selanjutnya, genap usia 28 tahun atau pada tahun 1193, untuk kali pertama ia mengadakan perjalanan keluar Spanyol. Pada tahun ini ia memulai pengembaraan dari Afrika untuk berjumpa dengan orang-orang terkemuka. Ibnu Arabi ingin menyempurnakan sisi-sisi lain keilmuannya. Misal, saat di Tunisia Ibnu Arabi belajar kepada Abdul Aziz al-Mahdawi, seorang guru sufi yang memiliki kedalaman filsafat dan tasawuf.

Pada pengembaraannya ini yang selesai pada usia 37, jiwa Ibnu Arabi kian banyak mengalami visi-visi spiritual. Seraya tangannya disibukkan untuk mencatat dan menulis kitab.

Berikutnya, tahun 1204 Ibnu Arabi melanjutkan pengembaraan ke kota-kota Islam di Timur, seperti Baghdad, Konya, Mekkah, Hebron, dan Yerusalem. Pada pengembaraan ini menjadi sebuah tafsiran atas visi yang dilihatnya ketika melenggang di Tunisia, Kairo, dan Iskandariyah. Dan Ibnu Arabi memulai menulis kitab al-Futuhat al-Makkiyah di Mekkah, sebuah ensiklopedi sufistik.

Ketika di Baghdad, Ibnu Arabi berjumpa dengan Syihabuddin al-Suhrawardi, sufi sekaligus filsuf yang masyhur dengan filsafat iluminasi. Tidak hanya itu, kehadiran Ibnu Arabi juga menjadi perhatian para raja dan sultan di kawasan itu. Al-Malik al-Dhahir, penguasa Kota Halb, yang juga putra Shalahuddin al-Ayyubi, menjamu dan memuliakan Ibnu Arabi. Setiap untaian kata Ibnu Arabi dirujuk oleh sang sultan.

Saat usia mencapai 60 tahun, Ibnu Arabi menetap di Damaskus dan fokus mengajar, membaca, dan menulis. Meski demikian, kebesarannya sudah tersebar luas di seluruh penjuru dunia Islam. Para raja berlomba untuk menemuinya. Orang-orang rela berduyun dan berdesakan di depan pintu kediamannya untuk menimba ilmu dan belajar kepadanya.

Di Damaskus ini, Ibnu Arabi merampungkan kitab al-Futuhat al-Makkiyah. Ia juga menulis kitab yang kemudian lebih termasyhur dan paling banyak dibaca orang, Fushus al-Hikam. Khusus kitab ini, Ibnu Arabi menyatakan bahwa pada akhir Muharram 627/Desember 1229 Nabi Muhammad Saw. Ke Damaskus seraya membawa kitab Fushus al-Hikam dan menyuruh Ibnu Arabi menyebarkan kitab ini kepada umat manusia.

Begitulah, lantas pada 16 November 1240 Muhyiddin Ibnu Arabi wafat dengan mewariskan banyak kitab kepada generasi Islam kemudian. Ia dimakamkan di Shalihiyyah di kaki bukit Gasiun, Damaskus, Suriah. Wa Allah A’lam.

Ungaran, 15/04/2022   

Post a Comment

0 Comments