Puasa #27
Saya tak begitu yakin generasi Islam era digital sekarang ini ada krenteg untuk memfavoritkan tembang macapat. Apalagi yang saya tahu, di sekolah formal sekarang ini perhatian terhadap khazanah leluhur kurang. Termasuk terhadap tembang macapat.
Beda dengan generasi saya dan sebelumnya, di mana sarana hiburan cuma diperoleh dari radio dan televisi. Saya masih ingat banget saat-saat harus menghafal dan bisa mendendangkan macam-macam tembang macapat. Bahkan ada salah satu guru SMP, ketika menghukum siswa tidak dengan menyuruhnya berjemur di halaman sekolah seraya menghadap tiang bendera, tetapi harus membikin lirik tembang macapat.Pertanyaannya adalah apa itu macapat? Kesempatan ini, saya pengin berbagi kenangan akan tembang macapat. Bukan lirik-liriknya tentunya, tetapi makna-makna di balik macapat.
Macapat adalah tembang klasik Jawa, yang diperkirakan kali pertama muncul pada zaman Walisongo. Adalah Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga serta sunan-sunan yang lain, para wali yang berdakwah melalui tembang-tembang macapat. Bisa dibilang mereka adalah pionir keberadaan tembang macapat.
Macapat berarti maca papat-papat, membaca empat-empat. Sebagai sarana mengingatkan masyarakat tempo itu bahwa raga manusia ini terdiri atas empat unsur: tanah, air, udara, dan api. Dan tembang-tembang itu sendiri memang menggambarkan perjalanan hidup manusia, berbagai pasang surutnya, dan seterusnya.
Nah, tembang macapat seolah memanggil para insan berpikir untuk gemar berefleksi. Bagaimana menempuh pencarian jati diri yang akurat, bagaimana memahami hidup yang penuh onak ini, dan yang terpenting bagaimana menunaikan misi hidup, cara bertanggung jawab sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
Adapun macam-macam tembang macapat itu, pertama, mijil, yaitu tembang yang mengilustrasikan proses kelahiran manusia. Mijil artinya keluar, dalam hal ini keluar dari rahim sang ibu. Maka, tembang ini lazimnya berisi doa atau pengharapan orangtua terhadap anak. Dan mijil bersifat welas asih.
Kedua, sinom, dari kata “isih anom”, masih muda. Yakni masa-masa indah di saat muda. Ungkapan yang penuh harapan dan angan-angan. Rasa persahabatan, dan biasanya bernada kenes.
Ketiga, maskumambang, “isih kambang-kambang”, masih belum memiliki ilmu yang mantap, masih terombang ambing. Maskumambang artinya emas yang mengapung di atas air, bisa dimaknai air mata, sebagai penanda rasa suka dan atau duka. Oleh karenanya, tembang maskumambang mengundang perasaan haru. Tembang yang mengharukan.
Keempat, kinanti, yakni dari kata “kanthi” artinya tuntun. Adalah masa pembentukan dan pencarian yang jati. Kinanti merupakan tanda bahwa manusia membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar bisa menemu diri yang sejati.
Kelima, asmaradana, dari kata “asmara”, artinya asmara, dan “dahana” artinya api. Tembang yang melukiskan masa-masa dirundung cinta.
Keenam, gambuh, yaitu jumbuh atau bersatu, merupakan tembang yang menggambarkan telah bertemunya dua insan dalam biduk rumah tangga. Berisi komitmen dalam memadu cinta, memadu dua perbedaan. Maka diperlukan prinsip toleransi dan kebersamaan.
Ketujuh, pangkur, dari kata “mungkur” yang berarti menyingkirkan syahwat atau hawa nafsu yang membelenggu jiwa. Oleh karena itu perlu adanya laku prihatin, menjalani laku meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia. Sehingga jiwa pun cemerlang dan bisa merayu Tuhan untuk senantiasa ber-tajalli atas si pelaku tirakat.
Kedelapan, dhandhanggula. Gambaran dari kehidupan yang serba indah, kenikmatan duniawi. Namun ada juga yang mengatakan bahwa dhandhanggula artinya mendendangkan kemanisan iman, dan saya bermazhab yang ini.
Kesembilan, durma. Sering diartikan sebagai hilangnya tata krama, yaitu laku sombong, amarah, dan pemenuhan nafsu yang tak terkontrol. Namun, saya cenderung memahami sebagai darma, yaitu berdharma menjalankan misi hidup atau memenuhi panggilan jiwa.
Kesepuluh, megatruh, dari kata “megat” dan “ruh” berarti terpisahnya roh dari raga, atau mati. Tembang yang berisi nasihat-nasihat menghadapi kematian.
Terakhir kesebelas, pucung, yakni pocong atau dibungkus kain putih. Inilah perlambang pungkasan pengabdian di dunia, yakni tatkala raga manusia telah bersatu dengan bumi.
Itulah kira-kira. Dan sebetulnya masih banyak makna yang melatari, sehingga urutannya pun bisa berbeda dengan yang saya tulis. Namun, saya pastikan bahwa apa pun makna yang terungkap, itu semua benar. Tidak ada yang paling akurat, apalagi salah.
Karena yang terpenting buat saya, jangan sampai kita mengidap alergi dengan segala yang datang dari masa lalu. Memang terkesan kuno, tapi dengan menghargai khazanah leluhur, kita akan melihat betapa luhur para penyeru Islam saat itu.
Mereka tidak memberangus budaya setempat. Malah sebaliknya memelihara, bahkan mengembangkan dengan sedikit memodifikasi supaya tetap up to date dengan selera zaman. Dan, penghargaan terhadap budaya adiluhung nenek moyang itulah yang saya maksud. Bahwa berislam tak serta merta harus mengimpor budaya dan ideologi-ideologi dari Timur Tengah. Tetapi memupuk tanaman di pekarangan sendiri.
Demikian, Wa Allah A’lam.
Ungaran, 29/04/2022
0 Comments