Mengurus Yang Besar

Persoalan umat manusia dan alam

Puasa #2

Hidup di kurun digital, fokus ke diri seperti berjalan seorang diri di tengah riuh pasar. Selain terasa aneh, juga kerap dicurigai sebagai kedok memupuk popularitas. Kita lihat dan mungkin pula kawan-kawan alami, kebaikan masih berhenti di slogan.

Di media sosial, setiap orang berebut menjadi yang terpenting tanpa peduli dirinya sanggup berperan dengan benar atau tidak. Pokoknya “eksis”. Bermanfaat atau tidak untuk kehidupan orang banyak tak jadi soal. Padahal kita semua tahu, berlaku sebagai ini dan itu tanpa kesanggupan memerankan diri secara memadai justru akan menimbulkan huru-hara sosial, fitnah sana sini, dan overlap kepentingan.

Yang tak mengerti politik, tiba-tiba unjuk diri menganalisa dinamika kekuasaan dan berani mengajukan saran kebijakan. Yang tak memahami hukum ekonomi, mendadak berceramah bak ekonom. Yang sedikit menghayati agama, malah gemar menuding-nuding keyakinan pihak lain dan menebar ujaran teror.

Sebaliknya, seorang pemeran yang baik akan tahu diri, walau jauh dari gempita narsis, dan seolah tak memiliki andil buat kemaslahatan umat. Ia akan terus-menerus memproduk nilai kebajikan buat sesama. Paling tidak, ia bisa menahan diri tidak turut menambah keributan di ruang maya. Ia sama sekali tak berambisi meraih tanda jempol sebanyak mungkin apalagi sampai viral.

Dari situlah, saya tetap memandang bahwa orientasi pada dunia diri itu jauh lebih aman dan menyehatkan buat nadi kehidupan. Sebab, ia tak berorientasi keluar. Semua perkara dilarikan ke dalam diri: Apa yang salah dalam diri saya, sehingga masyarakat seperti ini? Apa yang bisa saya sumbangkan untuk memayu hayuning bangsa, memayu hayuning buwana?

Yang tebersit dalam benak seorang pemeran diri hanyalah menjalankan perintah-Nya. Setiap berkesempatan menyaksikan sesuatu, di situlah terpapar perintah Allah. Dan ia bakal menumpukan segenap perhatiannya ke situ. Ia tak lagi peduli dengan pandangan orang lain, baik cibiran maupun pujian sama saja. Ingatannya hanya tertuju kepada perintah Tuhan, bukan memburu fasilitas dunia.

Pribadi yang demikian, lantaran telah menghayati kenyataan sebagai medan Yang Mahanyata menyatakan diri. Bahwa Tuhan telah menyatakan Diri untuk melayani, mengembangkan, dan melindungi makhluk-makhluk-Nya.

Pribadi yang menghadapi kenyataan dan yang tampak olehnya hanyalah sisi perintah-Nya, sehingga ia kehilangan hak untuk menyentuh realitas menurut kemauan sendiri. Bahkan martabat dan harga dirinya tak penting lagi sekiranya dipersoalkan banyak orang. Karena memang ia tak lagi jinak kepada siapa pun, tidak silau oleh apa pun. Baginya cukuplah Allah sebagai penyaksi.

Nah, puasa mengondisikan kita menuju pribadi yang meng-Allah seperti itu. Sebab puasa adalah ibadah rahasia, hanya si pelaku puasa dan Tuhan yang mengetahui. Muhammad Zuhri menjelaskan bahwa berpuasa adalah menyelamatkan semesta tanpa mengulurkan tangan. Sehingga, pihak penerima tidak pernah merasa diberi, dan akhirnya tak menanggung beban moral sebagai penerima. Dan, si pemberi juga tak berkesempatan pamer. 

Kenapa demikian? Bayangkan saja, di bulan Ramadhan di tengah kemudahan sarana dan limpahan makanan, kita justru berhenti memungutnya. Kita beri kesempatan orang lain untuk memanfaatkannya tanpa harus berebut dengan kita. Bukankah yang demikian berarti memberi tanpa mengulurkan tangan?

Sekali lagi, saya berkeyakinan, puasa adalah sarana pelatihan dari Tuhan semesta alam, sedianya umat Islam bisa fokus kepada diri. Namun, perlu saya garisbawahi, fokus kepada diri ini bukan berarti berambisi kepada kepentingan diri sendiri, melainkan menegakkan diri sebagai pribadi yang siap merespon perintah Tuhan. Fokus kepada diri sama sekali bukan berkepentingan memupuk fasilitas duniawi, harta kekayaan, status sosial, nama besar, dan sebagainya. 

Syekh Ibnu Athaillah mengungkapkan, “Istirahatkan dirimu dari berupaya (untuk kepentingan diri). Karena apa yang telah ditegakkan oleh selain dirimu (Allah), tak perlu engkau bersusah-payah menegakkannya untukmu.”

Demikianlah, output puasa mengandaikan revolusi diri kita telah selesai. Berikutnya memulai peran ketuhanan di muka bumi, yakni mengurusi masalah yang lebih besar: persoalan umat manusia dan alam. Wa Allah A’lam.

Ungaran, 04/04/2022  

Baca juga: Fokus Diri

Post a Comment

0 Comments