Mercon

 Mercon

Puasa #28

Dulu banget. Ketika saya masih seumuran SD, bapak saya kerap bikin mercon. Terutama menjelang lebaran. Beliau bikin gulungan kertas dalam jumlah banyak dengan pelbagai ukuran. Kemudian beliau bubuhkan bubuk mesiu ke dalam gulungan-gulungan tersebut. Dan tak ketinggalan setiap gulungan itu bersumbu.

Dan mulailah. H-1 hingga dini hari lebaran, pesta mercon pun berlangsung. Tua muda dan anak-anak berkumpul di halaman rumah seolah berlomba memamerkan mercon: keras-kerasan suara. Sungguh memekakkan telinga. Tapi, entah kenapa saat itu saya tidak tertarik mengikuti “kompetisi” itu. Saya tidak suka mendengar suara keras apalagi yang menggelegar. 

Ketika bapak saya, malam-malam mengemas bubuk-bubuk dalam kertas, saya memang tak bisa mencegah. Saat itu saya hanya menonton dari sudut yang jauh, tanpa sedikit pun menyentuh. Apalagi membantu, sama sekali tidak. 

Kemudian pada saat pesta suara berlangsung di halaman rumah, saya tak berani keluar rumah. Saya meringkuk sendirian di dalam kamar sembari terus-terusan menutup telinga dengan jari telunjuk. Ibu saya juga tak sanggup menghalangi supaya pesta tak berlangsung. Ya, ibu saya memang termasuk dalam deretan istri yang kudu taat sendika dhawuh pada apa kata dan maunya suami. 

Beberapa tahun kemudian, saya tidak ingat persisnya alasan bapak tiba-tiba mandek dari kebiasaan berpesta suara. Seingat saya, sepatah kata pun saya atau pun ibu tak pernah mengajukan protes ke beliau. Saya hanya menunjukkan rasa tidak suka (atau lebih tepatnya rasa takut) dengan tidak mengikuti prosesi kemeriahan. Namun, semenjak saya duduk di bangku kelas 5 SD, beliau tidak lagi menyimpan bubuk dan sumbu itu.

Hanya memang, pesta mercon dan kembang api yang berdentuman itu, tetap berlangsung di sekitar rumah sepanjang tahun menjelang lebaran. Seolah syarat afdal sebuah hari raya. Termasuk ketika menyongsong pergantian tahun baru masehi. Sudah bisa dipastikan, esok paginya akan berserakan serpihan kertas di mana-mana. 

Nah, kecenderungan untuk tak bisa menikmati pesta kembang api yang berujung pameran dentuman itu terbawa hingga usia saya saat ini. Maka, terus terang setiap kali memasuki sepuluh hari ketiga bulan Ramadan dan (terutama) jelang hari raya Idulfitri, saya tak berselera saat harus beriringan dengan pesta mercon, pesta dentuman suara. Dan, anak-anak saya pun, baik Ahimsa maupun Rakai, sepertinya meniru kecenderungan saya ini. Mereka acap menghindar ketika teman sebaya mereka mulai bermain mercon. Kalaupun bermain atau minta dibelikan hanya jenis kembang api yang memercik-mercik bunga api, minus letusan.

Padahal pesta mercon dan kembang api itu hak semua manusia bukan? Malahan bisa jadi kewajiban semua bangsa  untuk bersenang-senang menghiasi angkasa malam tahun baru. Konon sudah ribuan tahun bangsa Cina menemu dan memakai serbuk hitam itu untuk menandai pesta kemeriahan. Bahkan dalam tradisi militer, letusan serbuk yang maujud dalam meriam, bedil, dan pistol itu jadi penanda penghormatan akhir riwayat hidup manusia. Kita tahu ada prosesi menembakkan senapan ke udara saat mengiring jenazah ke liang lahat.

Ada kecenderungan di tengah masyarakat kita (dan barangkali juga mendunia) untuk menandai sesuatu dengan keriuhan. Misalnya kegemaran kita pada pengeras suara. Terlebih saat ini, pada bulan Ramadan, di banyak musala kita berunjuk “kebenaran” dengan pengeras suara. Memang benar, yang tersiar adalah kalimat suci, tapi bagi penyuka keheningan akan terasa terganggu. Bahwa “yang benar” juga mesti bersanding dengan “yang baik”. Juga “yang indah”.

Keras-kerasan melalui corong toa, yang justru kian membuktikan, betapa susahnya umat  bersatu padu. Betapa mahalnya harga koordinasi. Betapa sulitnya antarsesama itu untuk saling mengalah, saling menenggang, dan saling memberi kesempatan. 

Semua berebut ingin jadi yang terdepan. Kompetisi yang terjadi adalah “akulah yang pantas, sedang kalian minggir dulu!” Padahal yang saya tahu, justru kanjeng Nabi Saw. itu adalah orang yang paling gemar mengalah. Berebut salah, bukan rebutan untuk disebut yang paling benar.

Belum lagi kalau kita ingat ritual pemilu di negeri ini, ritual lima tahunan yang selalu ditandai dengan keras-kerasan knalpot dan boros klakson. Apresiasi pesta demokrasi di negeri kita acap dihiasi dengan kepulan debu yang bercampur racun knalpot. Kita mendadak beringas. Kita menghambur ke jalan-jalan dengan memekikkan klakson. 

Kemudian soal mercon, suatu saat ragil saya, Rakai, bertanya, “Kenapa Ayah nggak suka mercon?” Saya jawab spontan kalau mercon itu mengganggu orang lain. Jawaban yang ternyata tak memuaskannya, karena ia masih mengejar dengan pertanyaan, “Lho kok banyak yang membunyikan kalau emang mengganggu?” 

Akhirnya saya menyerah dan menyatakan, “Ayah takut suara yang mnggelegar, Nak. Ayah itu penyuka keheningan.”

“O... Ayah terganggu!” timpal Ahimsa, si sulung, seraya mengulas senyum tak jelas, mengejek atau entahlah.

Wa Allah A’lam.

Ungaran, 30/04/2022

Post a Comment

0 Comments