Penuh Canda

 Penuh Canda

Puasa #22

Alkisah, suatu ketika Nu’aiman, salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw. yang hobi bercanda, pergi dalam suatu perniagaan ke Bashrah bersama Abu Bakar. Turut pula Suwaidan, yang bertugas membawa perbekalan.

Ketika beristirahat Nu’aiman meminta makan kepada Suwaidan, tapi Suwaidan menolak karena Abu Bakar lagi tak di tempat. “Tunggulah sampai Abu Bakar datang,” katanya. 

O, begitu ya, nantikan pembalasanku!” ancam Nu’aiman, yang sebetulnya ancaman gurauan saja. 

Bertandanglah Nu’aiman kepada beberapa orang, sesama peniaga, menawarkan Suwaidan kepada mereka. Padahal jelas, si Suwaidan ini bukan hamba sahaya alias seorang merdeka. Namun, memang dasar Nu’aiman, kepada para peniaga itu, dijelaskanlah bahwa Suwaidan adalah hamba sahaya yang berharga teramat sangat murah. Dijelaskan pula, meski berharga murah, tapi memiliki kelemahan: suka mendaku diri sebagai orang merdeka. 

Tawar-menawar selesai, lantas bersama mereka, Nu’aiman menuju tempat Suwaidan istirahat. Sontak Suwaidan kaget, salah seorang peniaga langsung mengikat dan berkata ketus: “Kami telah membelimu, dan kami tahu persis, kamu suka mengaku-aku sebagai orang yang merdeka.” 

Beruntung Abu Bakar segera datang dan mengurai persoalan, sehingga tak sampai terjadi baku hantam. Kesalahpahaman pun bisa dicegah. Namun, tetap saja, ada yang jenaka di sana. Kita menemukan sosok Nu’aiman, sosok menjengkelkan tapi mengundang tawa. Ia penggeli, super kocak. Bahkan Nabi Saw. yang diberitahu peristiwa tersebut tak bisa membendung raut muka semringah. Setiap beliau ingat atau diingatkan perilaku Nu’aiman itu, beliau menampakkan air muka cerah.

Tidak itu saja Nu’aiman selalu bikin orang gemas. Makhramah bin Naufal, contohnya, seorang tua, buta, dan telah berusia 115 tahun, suatu ketika berada di masjid dan hendak buang air kecil. Lantaran buta, ia tak kunjung menemu kamar kecil. 

Nu’aiman melihatnya. Kambuhlah penyakit usilnya. Ia menuntun Makhramah ke satu tempat dan mempersilakan untuk buang air kecil. Nu’aiman meninggalkan Makhramah, dan saya bayangkan Nu’aiman melenggang menjauh dari Makhramah seraya senyam-senyum sendiri. Saya bayangkan ia mengkhayalkan reaksi orang-orang mengecam Makhramah. Dan, benar saja, karena Makhramah buang hajat tidak di kamar kecil, atau tidak di tempat tersembunyi, Makhramah pun dikecam oleh banyak orang. 

Makhramah kemudian menyadari, Nu’aiman menuntunnya ke tempat tak wajar itu sengaja ingin mempermainkannya. Maka ia bersumpah akan memukul Nu’aiman dengan tongkat sekuat tenaga bila bertemu. Jelas saja Nu’aiman menanggapi sumpah Makhramah itu dengan santai. Ia akan begitu gampang menghindari setiap perjumpaan dengan Makhramah. Ia selalu bisa berjarak. Ia menjauh cukup lama, hingga Makhramah pun melupakan kasusnya.

Namun, sekali lagi, memang Nu’aiman seorang usil yang menggemaskan. Ia si penggeli hati. Ia datang menemui Makhramah dan mengingatkan peristiwa itu. “Engkau ingin memukul Nu’aiman kan? Itu dia lagi salat,” selorohnya kepada Makhramah. 

Lagi-lagi Nu’aiman bermaksud mengusili Makhramah. Yang ditunjuk sebagai Nu’aiman, yang sedang salat, itu sebetulnya adalah Utsman bin Affan. Nu’aiman menuntunnya, mendekatkan kepada Utsman yang sedang khusyuk salat. Lantas dengan sekuat tenaga, saking mangkel kepada Nu’aiman, Makhramah memukul Utsman. Dan, Utsman bin Affan pun terluka. 

Begitulah Nu’aiman. Betapa menggemaskan dia, teramat sangat menjengkelkan. Dan dari kisah tersebut bisa menggambarkan pada kita bahwa Nabi Saw. dan sahabat-sahabat beliau itu bukan jenis manusia-manusia kaku yang jarang bersenda gurau. Ternyata beliau-beliau yang ahli surga itu bisa dan biasa saling mengerjai. Mereka bertingkah, berkelakar, dan saling berseloroh. 

Bahkan Nabi Saw. sendiri pun acap mengguraui setiap yang datang ke beliau. Suatu ketika datang seorang wanita tua kepada Nabi Saw., dan minta didoakan masuk surga. “Di surga tak ada orang tua,” sabda Nabi Saw.

Seketika menangislah si tamu tua itu. Dan Nabi Saw. tersenyum menghibur dan membacakan ayat, “Kami ciptakan bidadari-bidadari, Kami ciptakan mereka selalu segar ceria, penuh mesra dan sebaya.” (Al-Waqiah: 35-37).

Perempuan tua itu pun berseri-seri, mengkhayalkan dirinya kelak di surga menjadi muda dan cantik. Pada lain kesempatan Fathimah, putri tercinta Nabi Saw., sempat jengkel kepada Aisyah. Ia tidak terima karena ibunya, Khadijah, disebut Aisyah sebagai perempuan tua, janda lagi. Fathimah mengadu kepada Nabi Saw., dan sang ayah yang penuh kasih itu menasehati, “Kamu timpali saja: masih mending begitu, ibuku memang janda, tapi kemudian menikah dengan jejaka. Lha Engkau, memang seorang perawan tapi malah menikah dengan seorang tua!” 

Demikianlah, betapa asyik membayangkan gaya kehidupan para generasi awal Islam yang menyikapi kenyataan dengan penuh canda ria. Hidup mereka pun tampak rileks. Tidak petantang-petenteng berlagak paling suci. Mereka hidup wajar. Tetap ada perasaan tidak hati karena marah, jengkel, dan sebagainya, tapi juga tak berlepas dari berkelakar. Wa Allah A’lam.

Ungaran, 24/04/2022

Post a Comment

0 Comments