Seusai Ramadan

Merumuskan realitas simbolik

Puasa #29

Setelah Ramadan, setelah berpesta Idul Fitri, lantas bagaimana? Ya, puasa Ramadan telah menatar kita kepada kebiasaan baru: menunda keinginan-keinginan.

Bahwa sistem tubuh dan psikologis dalam sebulan dijungkirbalikan. Kebiasaan makan tiga kali sehari diubah menjadi dua kali. Saat kita pengin makan justru dilarang makan. Saat tubuh dan keinginan tak mengarah untuk makan, justru diperintah makan (sahur).

Tubuh yang biasa mendapat asupan kalori, tiba-tiba ditahan untuk tidak mengonsumsi. Padahal energi keluar terus. Maka, akhirnya sebagai ganti, kata Muhammad Zuhri, sel-sel yang ada dalam daging, yang ada dalam tulang, yang ada dalam otak, terpaksa dibakar untuk kelangsungan tubuh. Sehingga, sel-sel lama yang memiliki rekaman dosa, rekaman culas, pelit, atau segala tabiat yang menopang perilaku pemiliknya berguguran dimakan sendiri oleh tubuh. Badan pun kurus, atau paling tidak berat badan menurun. 

Nah sekali lagi, lantas bagaimana?

Terus terang saya terusik. Apalagi saat terngiang “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia….” (Ali Imran: 110). Konsep tentang umat terbaik, yang saya yakin dengan berislam itu tidak serta merta menjadi “umat terbaik”. Kaidah itu bukan sebuah mandat kosong, tentunya, melainkan harus dicapai dengan kesungguhan menyusuri cahaya Tuhan. 

Beruntung saya memperoleh tuntunan Nabi agung Saw. bahwa “Sebaik-baik dari kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Artinya, wujud penghambaan kepada Allah adalah menebar manfaat buat orang lain. Pengabdian kepada Tuhan itu mengarah kepada pelayanan sosial.

Kemudian, meminjam teori sosial Dr. Kuntowijoyo yang merujuk sabda Nabi Saw.,”Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran hendaklah mengubah dengan tangan, jika tidak mampu hendaklah mengubah dengan lisan, dan jika tidak mampu juga hendaklah mengubah dengan hati, yang demikian itu merupakan selemah-lemahnya iman.

Pertama, mengelola kenyataan dengan tangan, yaitu upaya mewujudkan realitas objektif. Kedua, sekiranya kita tak bisa menggunakan tangan, kita kelola dengan lisan, yaitu mencipta realitas simbolik. Ketiga, jika ternyata kemampuan lisan kita pun tak memadai, kita pakai hati, yaitu mencipta realitas subjektif dengan menggarap diri. Melakukan perbaikan tanpa usaha tertentu, hanya menunggu waktu, maka hal ini dikatakan sebagai selemah-lemahnya iman. 

Dengan demikian, yang utama kita lakukan adalah berbuat dengan tangan, yang konkret objektif, dapat diraba dan dirasa. Jika tidak bisa, setidak-tidaknya kita harus sanggup menciptakan realitas simbolik, berbuat secara lisan dalam arti membuat konsep, atau berpikir tentang sistem filosofi Islam, dan semacamnya. Kemudian jika itu pun tidak bisa, kita kembali kepada realitas subjektif.

Realitas subjektif merupakan nilai-nilai Islam yang melahirkan kepribadian, personality. Tuhan menganugerahi akal, perasaan-perasaan, dan kemampuan untuk menangkap tanda-tanda atau ayat-ayat-Nya guna menumbuhkembangkan kepribadian. Dari sini, realitas subjektif kita mengenal iman, takwa, ihsan, dan tawakal. Dan Allah selalu melihat realitas subjektif.

Allah menilai, apakah diri kita sesuai dengan perintah-perintah-Nya, selaras dengan nilai-nilai transendental yang diwariskan Nabi Saw. Dengan kata lain, kepribadian atau realitas subjektif selalu dinilai oleh Allah. Kita dicoba dengan duka, diuji oleh suka, seberapa konsisten realitas subjektif menginternalisasi iman, islam, dan ihsan.

Selanjutnya, realitas simbolik adalah eksternalisasi dari realitas subjektif. Bahwa di dalam hidup kita selalu berpikir, mencipta kreativitas, dan mencipta konsepsi-konsepsi. Bahwa dalam perjalanan hidup kita selalu mengadakan refleksi-refleksi tentang pertautan nilai-nilai transendental dengan realitas sehari-hari.

Lantas kita mengembangkan ilmu, seni, sejarah, filsafat, dan kebudayaan. Kita menerjemahkan nilai-nilai transendental. Kita hadapkan nilai-nilai tersebut kepada dunia, kepada realitas objektif. Itulah relitas simbolik, elaborasi dari keyakinan kita, ekstensi dari realitas subjektif.

Terakhir adalah realitas objektif. Realitas yang kita kenal sebagai hidup sehari-hari. Misalnya,kita berjalan-jalan di trotoar, pergi ke kantor, dan seterusnya. Sebuah fakta objektif, suatu dunia yang konkret. Sebuah pengejawantahan atau objektifikasi nilai-nilai subjektif. Adanya lembaga agama, sistem perbankan, partai politik, perusahaan-perusahaan, adalah konkretisasi dari imajinasi manusia.

Nah, kita telisk kemudian. Betapa umat Islam paling banyak hanya mendarat di tingkat realitas subjektif. Umat masih terbelakang dalam mengaktualisasikan diri. Maka, sebuah kebutuhan mendesak agar umat terdorong untuk mencipta realitas simbolik. Harus mulai mengarah untuk mencipta ilmu pengetahuan Islam, sosiologi Islam, filsafat Islam. 

Hari ini suka tak suka kita hidup di tengah kepungan realitas simbolik yang kapitalistis, serba berorientasi material. Kita bermukim di tengah realitas objektif yang masih menabukan nilai-nilai spiritual. Realitas objektif yang belum menganggap penting konsepsi ketuhanan, konsepsi kebajikan agama.

Oleh karenanya, pasca-ramadan tahun ini, sedianya kita tak berhenti hanya sebatas mengimani Tuhan di hati. Tetapi harus bisa dan berani memproklamirkan ke publik. Bahwa rukun Islam dan Iman yang merupakan rumusan Ilahi itu pun sebuah konsepsi yang filosofis. Bahwa syukur kemudian realitas sehari-hari ini pun merupakan atmosfer pengejawantahan paradigma Islam. Namun, paling tidak seusai pendadaran Ramadan tahun ini kita bisa mengedepankan realitas simboliknya. 

Demikian, Wa Allah A’lam.

Ungaran, 01/05/2022

Post a Comment

0 Comments