Seperti Halnya Ternak Teri

Mampir di Saung Sabdo

Sungguh melelahkan. Beberapa kali kami mesti singgah di warung kopi. Begitulah. Bahwa sudah sekian puluh purnama saya dan istri tidak bersepeda motor dengan jarak tempuh lumayan jauh. Jauh di sini saya maksudkan ke luar Semarang.

Nah, kemarin itu, pas liburan iduladha 1443 H, kami isi waktu dengan mengukur ruas jalan Ungaran-Kebumen. Sebelumnya lebih jauh lagi, ke Bogor, tapi dengan menumpang kendaraan besar, mobil, dalam rangka mengantar anak-anak menempuh studi ekologi di Misykat Al Anwar.

Begitu anak-anak sudah tidak di Ungaran, serasa sepi akhirnya. Pagi-pagi saya tak lagi mendengar teriakan Rahma mengomeli Rakai. Ya, bungsu kami ini memang rada sleder, kamarnya serba berantakan, dan Rahma paling tidak tahan melihatnya. 

Jadilah, Jumat siang itu, 8 Juli 2022, pukul 13.00, kami dengan berkendara sepeda motor melaju ke Kebumen. Sepanjang perjalanan kami bercakap ria, mengenang masa-masa awal menikah, tahun 2005. Betapa saat-saat menyenangkan itu kini terasa terulang lagi. 

Saya duduk di depan, Rahma menempel di belakang, lengkap dengan bawaan tas lumayan besar yang berisi pakaian ganti, camilan seadanya, dan beberapa buku bacaan buat pengusir penat kala istirahat di pom bensin atau masjid, atau angkringan di pinggir jalan, atau warung kopi.

Lantaran berulang kali mampir di pom bensin, bukan untuk mengisi tangki motor, melainkan buat menyelonjorkan kaki di area istirahat, di tambah dua tiga kali duduk-duduk di angkringan yang bertebaran di sepanjang jalur selatan, juga sesaat menumpang salat di masjid, kami tiba di Petanahan, Kebumen pukul 22.00. Serasa menghambur-hamburkan waktu untuk ukuran jarak yang sebetulnya bisa ditempuh lebih kurang empat atau lima jam dalam kecepatan 70 atau 80.

Tiba di rumah rama-biyung kami langsung tepar. Dan, sepertinya mereka juga maklum, tidak menanyakan ini itu begitu kami berdiri di ambang pintu. Mereka kaget, tentunya, karena kami memang tidak mengabarkan perihal kedatangan ini. Malam itu kami terlelap di kamar yang dulu, pada 10 Juli 2005, jadi kamar pengantin yang disediakan buat kami.

Esoknya, ya, pantas-pantasnya berada di desa pesisir selatan pada saat hari raya, kami bertandang ke beberapa tetangga dan kerabat. Hitung-hitung menyambung hubungan sanak saudara dan keakraban dengan teman-teman masa kecil Rahma. 

Jelang siang, kami dolan ke pantai Cemara Sewu, salah satu usaha wisata yang diupayakan oleh BUMDes di ujung selatan Petanahan. Lagi-lagi di pantai itu jadi momen mengenang keseruan tatkala kami masih berdua atau saat berempat—saya, Rahma, Ahimsa, dan Rakai—berkunjung ke rama-biyung Kebumen. Hamparan pasir yang sedemikian itu, juga ombak samudra yang pantang jemu, sangat melekat di hati dan benak saya. 

Pukul 15.00 kami singgah di rumah mas Goris, di Gonoraji, Buayan, sekitar 20-an km dari Petanahan, sedulur baru yang terjalin berkat Misykat Al Anwar. Anak-anak kami—Ahimsa, Rakai, dan Naila—sama-sama masuk di Misykat tahun ini.

Keluarga Goris

Mas Goris dan Asri, istrinya, adalah keluarga yang bersahaja dan ramah. Mereka bikin kami serasa sahabat karib yang lama tak bersua, padahal itu kali pertama bertemu. Mas Goris sekilas bercerita tentang rencana proyek tambang di Kendeng Selatan. 

Menyimak penuturan mas Goris, saya merasakan aura perlawanan dalam dirinya. Persis itu pula yang saya rasakan kemudian ketika Senin pagi bertandang ke rumah mas Seniman di Desa Petangkuran, sekitar 10-an km arah timur dari Petanahan.

Senin itu kami menyusuri Jalan Daendels yang sana sini mulai banyak tambalan aspal, sehingga terasa meniti jalanan bergelombang, sepanjang menuju Ambal. Beda banget dengan Jalan Lintas Selatan yang mulus-lus. Mas Seniman, ditemani Yani, sang permaisuri, bertutur banyak kronologi konflik Urutsewu. 

Sontak geram, sungguh, saya tak membayangkan di negeri yang konon berdasar Pancasila, masih berseliweran kisah kekerasan, penyerbuan, hingga pengkriminalan kepada petani-petani oleh lembaga negara. 

TNI AD secara sepihak mengklaim tanah Urutsewu, yang semula hanya pinjam tempat ketika latihan kepada pemerintah desa. Bahkan mulai tahun 2007 klaim tanah TNI itu kian menjadi dan mengalami perluasan, dari 500 meter menjadi 1.000 meter dari garis pantai. Dan konflik pun tak terhindarkan. 

“Orang-orang mengira bapake (maksudnya mas Seniman) itu sakti, karena pas ditembak TNI nggak apa-apa.” tutur Yani mengenang.

Saya benar-benar kecil di hadapan mas Seniman. Mudanya ia habiskan untuk berkelana dari kiai ke kiai. Selanjutnya, ia mulai merunut silsilah leluhur, termasuk soal kepemilikan tanah. Sehingga akhirnya, ia mengerti betul riwayat orang per orang di pesisir selatan Kebumen. Saya terkesima, ia mengetahui secara detail leluhur Rahma, yang Rahma sendiri tak memikirkannya, karena memang tidak tahu persis, yang hanya mentok terhenti pada kakek buyut. 

Ia pun mengerti benar riwayat tanah di Petangkuran dan sekitarnya. Bahwa berdasar “sertipikat tahun 1963”, tanah di Desa Petangkuran itu adalah tanah yasan, artinya tanah milik perseorangan, atau tanah hak milik begitu dikonversi dalam UUPA.

Pada sisi lain, dari kediaman khas desa pesisir selatan itu, joglo dengan atap seng, saya juga mendapati kenyataan bahwa pasangan suami istri ini hobi bertanam. Ada banyak bonsai dan pohon delima di pekarangan samping rumah. Di halaman depan rumah juga, berjajar tanaman dalam pot-pot plastik. Ada pula kolam ikan yang dikitari pohon mangga dan tunas kelapa, serta pelbagai tumbuhan yang sengaja dikerdilkan seperti asam, beringin, dan sakura.

Keluarga Seniman

Akhirnya, seusai dari kediaman mas Seniman, Senin siang, saya dan istri kembali lanjut bertualang, berkendara motor menuju Ungaran dengan membawa bara baru. Betapa kami telah mendapati sanak saudara yang bersahaja, tapi pembelajar dan pejuang. Dari keluarga mas Goris, dari keluarga mas Seniman, tersketsa bahwa hidup bukan melulu menumpuk harta, melainkan ada nasib beratus ribu orang yang dipaksa menyingkir dari kampung halaman. Dan yang demikian wajib disentuh.

“Ini pekerjaan yang tak ada kata pensiun ya, Mas! Seperti halnya ternak teri.” lirih saya pada mas Seniman sebelum pamitan. Ia pun tertawa lepas. 

Ungaran, 12/07/2022          

Post a Comment

6 Comments

  1. Astaghfirullaah. Kasihan sekali warga desa di sana. Lebih mengenaskan lagi ketika sejumlah tanah yang benar2 dimiliki perorangan mesti terhempas begitu saja. Entah bagaimana sebenarnya pemerintah kita ini bersikap tiada berujung. Sakti juga itu ditembak TNI masih hidup ya, Masya Allah. Itu kan jalan raya zaman Daendels kabarnya orang2/tukangnya dibayar tetapi uangnya ga pernah sampai haduduhhh... Ngeri.

    ReplyDelete
  2. Sedih banget ya rakyat kalah melawan penguasa kezaliman yang luar biasa penguasa memanfaatkan kekuasaan untuk merebut tanah rakyat, anak-anak dah mondok ya mas dah berdua saja di rumah

    ReplyDelete
  3. Nostalgia sama istri motoran ya pak. Seru sekali dan pastinya banyak cerita yg bisa di dengar selama perjalanan

    ReplyDelete
  4. Senangnya ya bertemu dengan orang-orang menginspirasi dan memiliki idealisme untuk negeri ini dengan cara berbeda-beda. Tahu perilaku ironis aparat jadi gemas juga. Sudah lupa mungkin dengan peribahasa, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Gpp, tetap semangat berkarya dan bermanfaat dalam segala rupa usaha. Yang wirausaha juga bisa ibadah membuka sebanyak-banyaknya lowongan kerja.

    ReplyDelete
  5. Belajar dari mereka yang tetap sederhana, bersahaja, tidak menjadikan harta sebagai nafsu untuk menguasai kehidupan.

    Terima kasih insight perjalanannya yang luar biasa, Kak

    ReplyDelete