Memuja Bayangan

Ngaji Hikam: Malah memuja bayangan

Sesungguhnya kecenderungan kita yang memulai segala sesuatu di atas pentas ketenaran, hasilnya adalah kegagalan. Banyak dai atau ustadz, contohnya, yang akhirnya bertumbangan karena membangun diri dengan modal tepuk tangan atau banyak follower.

Maka, ikhlas karena Allah itu benar-benar sulit. Betapa tidak, karena kita harus menyingkirkan keinginan dan kepentingan (duniawi). Bahwa tidak ada yang berhak menjadi tujuan dari kegiatan dan perilaku, kecuali Allah. Bahwa arah ibadah itu makrifatullah, kenal Allah. Kita menafikan ke-aku-an, kita berserah diri kepada-Nya. Bahwa kita butuh Dia.

Namun, umumnya kita baru bisa mengalami makrifat itu tatkala sakit. Kita benar-benar merasa butuh Allah ketika susah. 

Itulah kenapa orang-orang dulu, justru merespon sakit, menanggapi keadaan susah, sebagai hari raya. Karena yang demikian mengantar lazimnya manusia pada momen butuh Tuhan.

Padahal, memang, kalau dipikir-pikir, tetaplah bahwa yang paling aman dan nyaman adalah menjadi hamba Allah, bukan hamba keterkenalan, bukan hamba ketenaran. Menjadi hamba Allah berarti sadar-sesadarnya bahwa "la hawla wa la quwwata illa billah" (tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah). Sehingga, tidak ada artinya untuk pamer, sebaliknya berketetapan untuk benar-benar berserah diri kepada Allah. Butuh Allah.

Lantas? Ya, Simbah Ibnu Athaillah melanjutkan untaian hikmahnya supaya kita mau menjalani uzlah. Nah, semula saya memahami “uzlah” sebatas sebagai pengasingan diri, seperti menepi ke hutan untuk beberapa waktu, atau ya pokoknya menyendiri dalam berhari-hari yang sama sekali tak bersinggungan dengan orang lain. Namun, dari penjelasan Kiai Sholahuddin, saya mendapati insight bahwa seruan uzlah dalam hikmah Simbah Ibnu Athaillah itu lebih tertuju untuk merenung dan tafakur.

Maka, uzlah lebih relevan dipahami sebagai upaya mengalokasikan waktu dan suasana untuk merenung atau menafakuri ke-Mahabesar-an Allah. Untuk menyaksikan keagungan-Nya. Intinya, lebih sebagai upaya menjaga akal dan rasa untuk ingat kepada Allah. 

“Upaya menjaga hati untuk selalu ingat kepada Allah itu ada empat, yaitu: diam, melek (tidak tidur), lapar, dan uzlah. Jadi, uzlah itu salah satu saja, bukan satu-satunya. Lagian ber-uzlah di zaman sekarang ini sulit, karena tampaknya menyendiri tapi pegang HP, ya, yang begitu itu bukan uzlah.” tutur Kiai Sholahuddin.   

Kemudian, lebih spesifik memperbincangkan konsep ketuhanan, ada sepuluh perkara yang dituturkan Simbah Ibnu Athaillah. 

Pertama, Allah adalah yang menampakkan segala sesuatu. Kedua, Dia yang tampak pada setiap sesuatu. Ketiga, Dia yang tampak dalam segala sesuatu. Keempat, Dia yang tampak bagi segala sesuatu. Kelima, Dia yang tampak sebelum adanya segala sesuatu. Keenam, Dia yang lebih tampak jelas daripada segala sesuatu. 

Ketujuh, Dia Yang Maha Esa tidak ada yang menyamai-Nya segala sesuatu. Kedelapan, Dia lebih dekat dengan kita dibandingkan dengan segala sesuatu. Kesembilan, tidak ada Dia, maka tidak akan ada segala sesuatu. Kesepuluh, Dia sang pemilik hakiki dan Yang Maha Dahulu. 

Nah, dalam uraiannya, Simbah Ibnu ‘Athaillah heran, bagaimana segala sesuatu itu bisa menjadi penghalang kita untuk menyadari adanya Allah? Padahal segala sesuatu itu adalah makhluk Allah. Dan keberadaan semua makhluk itu menjadi bukti adanya Allah. Jadi, bagaimana mungkin Allah bisa terhalang oleh bukti adanya Dia? Jelas-jelas Allah yang menjadi penyebab bekerjanya segala sesuatu.

Kiai Sholahuddin menyebut, sampai-sampai Baginda Nabi Saw. pun mengucap “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun” tatkala lampu senthir mati, karena beliau sadar betul bahwa Allah sang penyebab segala. Dan, beliau Baginda Saw. juga tak sampai hati mencela makanan, karena mencelanya sama saja menghina Allah.

Betapa Allah yang tampak bagi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan “tidak ada sesuatu pun selain bertasbih dengan memuji-Nya.” Sehingga, orang-orang dahulu tidak sembarangan menebang pohon, tidak berani memotong ranting, karena saking tahu bahwa pepohonan itu pun bertasbih. Orang-orang dahulu sadar betul bahwa Allah tampak bagi pepohonan.

Namun, lagi-lagi Simbah Ibnu Athaillah heran, sebagaimana dituturkan Kiai Sholahuddin: “Kok bisa-bisanya kita menganggap segala sesuatu itu sebagai ada yang hakiki? Padahal, sekali lagi, segala sesuatu ini ada karena Allah yang membuatnya ada.” 

Demikian. Singkatnya, saya menangkap kesimpulan dari uraian Kiai Sholahuddin mendaras Kitab al-Hikam pada edisi Rabu 12 Oktober 2022, bahwa Allah penyebab semua ini. Bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Sehingga, yang hakiki hanyalah Allah, yang asli cuma Allah, yang sejati adalah Allah, selain Dia merupakan bayangan semata. Dan mustahil bayangan itu ada dengan sendirinya. Maka, bagaimana logisnya kita bisa kepincut pada bayangan? Tidak bergegas mendongak menyaksikan Dia yang Maha Pengatur. Malah memuja bayangan. 

Ungaran, 18 Oktober 2022

Post a Comment

0 Comments