Menulislah

Kepingin bisa menulis tidak mesti jadi penulis. Maksudnya menjadi penulis profesional atau yang mendedikasikan diri dalam karir sebagai penulis.  

Saya bukan penulis, tapi saya kepingin menulis, menuang gagasan dalam rajutan huruf-huruf, dan syukur kemudian bisa dinikmati orang lain. 

Tidak hanya itu, saya juga kepingin anak-anak saya kelak juga sanggup menggubah ide-idenya dalam bait-bait tulisan.  

Barangkali motif yang terakhir ini--anak-anak mesti bisa menulis--yang kuat "memaksa" saya untuk membiasakan diri menulis. 

Saya termasuk yang percaya, sesungguhnya setiap orang bisa menulis. Tidak mesti yang berbakat untuk bisa menulis. Menulis itu keterampilan yang bisa dipelajari. Bahwa bakat menulis itu cuma 0,09 %. Sisanya 99,91 % adalah latihan yang terus-menerus. 

Lagian ide yang mau ditulis pun jelas berlimpah, sebagaimana kebiasaan mengobrol ngalor-ngidul yang sedemikian mudah kita lakukan, begitu pula mestinya menulis. Menulis jadi kebiasaan, menjadi keseharian. 

Sebetulnya kebiasaan menulis itu, tanpa kita sadari, kini telah jadi menu harian, seiring membanjirnya pola hidup selulerisme

Adanya facebook, instagram, dan platfom media sosial yang lain telah menolong kebiasaan oral atau tradisi lisan dengan menuangkan apa yang menari di pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan. Media sosial telah menuntun kita menjadi penjahit kata-kata. Media sosial juga mengetengahkan naluri narsis, sarana caper (cari perhatian).

Tinggal bagaimana kita membaguskan adonan kata-kata, sehingga enak dibaca oleh ratusan teman. Tinggal bagaimana kita memaksimalkan fenomena narsis itu dalam bungkusan kata yang elegan, runtut, dan syukur bisa membangunkan kesadaran. 

Bahkan sering kali, saya menyusun untaian kata dengan sepenuh perasaan, dan ternyata yang membaca pun akan menikmati dengan penuh perasaan pula. Artinya, ada tali batin antara yang menulis dengan yang menikmati tulisan. 

Oleh karenanya kemauan dan kemampuan menulis menjadi penting. Menyeharikan menulis adalah perlu, meskipun, sekali lagi tidak wajib berkarir sebagai penulis. Tetap rasanya, via media sosial ada kebahagiaan bisa berbagi, bisa menularkan motivasi atau wawasan hasil bacaan sebuah buku atau sekadar berbagi rasa. 

Itu semua sudah sangat luar biasa. Maka, menulis berasa jadi candu yang menautkan jemari dengan huruf-huruf. 

Kalau yang berprofesi penulis, okelah, otomatis saban harinya bergelut dengan 26 huruf. Namun, kita yang mempertahankan asap dapur bukan dari dunia buku, bukan berarti bebas melenggang tanpa menulis. Landasan argumennya jelas, jiwa zaman abad XXI adalah informasi, yang meniscayakan pada kemampuan mengelola huruf, memilah diksi, dan familiar dengan buku.

Dan ternyata pula, lagi-lagi saya percaya hal ini, seseorang yang terbiasa menulis selama 15 menit dalam sehari, akan mampu membuang segala energi negatif dalam dirinya. Keren kan? 

Betapa tanpa disadari, segala hal negatif jika menumpuk saban hari dalam diri kita, niscaya terendap perasaan kesal, dendam, iri, atau rendah diri dan seterusnya dan sebagainya. Nah, jika yang tersimpan dalam bawah sadar tidak dikeluarkan, akan menggerogoti fisik dengan wujud berbagai penyakit.

Maka, tanpa dinyata bahwa menulis merupakan terapi yang bisa menyembuhkan diri sendiri. Seseorang yang terbiasa menulis akan berpikir lebih positif. Karena tulisan acap kali memuat tumpahan emosi. 

Singkatnya, menulis bisa menjadi katarsis. Menulis pun bisa dihayati untuk lebih bersyukur kepada Ilahi. Tentang sebuah kegiatan yang bikin kita merasa nyaman, dan bahagia. Lalu berbagi dengan keluarga, kerabat dan lingkungan sekitar. Menularkan segala bahagia dan kucuran anugerah yang tak bertara dari Tuhan. 

Dari situlah, saya suka upaya Dewi Rieka yang mengusulkan Kelingan (Keluarga Literasi Ungaran) untuk bikin dan mengisi blog. Kemudian tersepakati untuk sehari satu tulisan. Apa pun ujudnya, itulah yang akan jadi rekam jejak langkah anggota Kelingan: sebagai katarsis sekaligus terbaca oleh anak-anak. Insya Allah. 

Ungaran, 04 Juni 2023

Baca juga: Menulis untuk Mengisi Hidup atau Mengandai Living Books, atau yang lain dech!

Post a Comment

0 Comments