Beberapa hal yang dikemukakan oleh Dr. Said Ramadhan Al-Buthy mengenai peran Nabi Saw. dalam pembangunan Ka’bah.
Pertama, nilai penting Ka’bah itu sendiri. Ada banyak dalil yang menegaskan bahwa yang mendirikan dan membangun Ka’bah dengan tangannya sendiri adalah Ibrahim a.s., dengan perintah dari Allah Swt.
Ka’bah tersebut sebagai bangunan pertama yang dibangun untuk menyembah Allah Swt., sebagai tempat berkumpul umat manusia, dan juga menjadi tempat yang aman.
Hanya saja, ini bukan berarti Ka’bah secara otomatis berpengaruh terhadap orang yang tawaf mengelilinginya atau orang yang i’tikaf di dalamnya. Sebab, kendati memiliki kekudusan dan kedudukan yang agung di sisi Allah, Ka’bah hanyalah tumpukan batu yang tidak bisa memberi manfaat atau menimpakan mudharat.
Namun, tatkala Allah Swt. mengutus Ibrahim a.s. untuk menghancurkan patung-patung dan berhala, merobohkan kuil-kuil tempat ritual kaum pagan, melenyapkan simbol-simbolnya, dan menghapuskan penyembahannya, kebijaksanaan Allah menuntut adanya suatu bangunan yang didirikan di bumi sebagai simbol pengesaan dan penyembahan kepada Allah semata.
Ka’bah, seiring perkembangan waktu, senantiasa memberi pelajaran kepada manusia tentang pengertian agama dan ibadah yang benar, juga tentang sesatnya segala syirik dan paganisme. Umat manusia telah mengalami suatu masa ketika mereka menyembah batu, patung, dan berhala, serta membangun kuil-kuil.
Tiba waktunya bagi mereka untuk menyadari kebatilan dan kesesatan semua itu. Juga, sudah tiba waktunya untuk mengganti kuil-kuil itu dengan bangunan baru ini. Rumah ibadah yang didirikan untuk menyembah Allah semata ini dimasuki manusia untuk berdiri tegap, tidak tunduk atau merendah kecuali kepada Sang Pencipta seluruh alam semesta.
Apabila kaum Mukmin diwajibkan mengesakan Allah dan memasuki agama-Nya melalui simbol yang dengannya mereka saling mengenal, dan tempat berkumpul yang di sana mereka saling bertemu meskipun negeri asal mereka berlainan, rumah mereka berjauhan, dan ras serta bahasa mereka berbeda-beda, tentu tidak ada yang lebih pantas, kecuali bangunan yang didirikan sebagai simbol tauhid sekaligus simbol perlawanan terhadap kebatilan syirik dan paganisme.
Kaum beriman saling bertemu dan saling mengenal di sana. Maka, Ka’bah adalah lambang yang menjelmakan kesatuan kaum Muslim dari seluruh penjuru bumi dan mengungkapkan pengesaan Allah serta penyembahan hanya kepada-Nya meskipun seiring dengan pergantian zaman ada saja tuhan-tuhan palsu yang dibuat, dan sesembahan sesat yang didirikan.
“Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan, jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat.” (Al-Baqarah: 125).
Inilah makna yang disadari oleh orang yang tawaf mengelilingi Baitul Haram setelah hati mereka dipenuhi penghambaan kepada Allah serta hasrat untuk memenuhi segala titah-Nya.
Mereka menyadari kedudukan sebagai hamba yang seharusnya mengikuti dan menjalankan semua perintah Tuhan yang menciptakan. Dari sinilah kesucian bangunan itu hadir dan kedudukannya di sisi Allah semakin agung. Karena alasan itu pula, ibadah haji di sana dan tawaf di sekelilingnya memiliki kedudukan yang sangat penting bagi kaum beriman.
Kedua, Ka’bah mengalami pembangunan dan rehab setidaknya sebanyak empat kali. Pembangunan pertama adalah dilakukan oleh Ibrahim a.s. dibantu putranya, Ismail a.s. Disebutkan bahwa tinggi Ka’bah mencapai 9 hasta, dengan panjang 30 hasta, dan lebar 22 hasta, tanpa atap.
Pembangunan yang kedua dilakukan kaum Quraisy sebelum Islam, dan Muhammad Saw. ikut serta dalam proyek itu. Mereka meninggikan bangunan Ka’bah mencapai 18 hasta, tetapi mengurangi panjangnya.
Pembangunan yang ketiga dilakukan setelah Ka’bah terbakar pada era kekuasaan Yazid bin Muawiyah ketika pasukannya yang kebanyakan berasal dari Syam menyerbu Makkah. Ringkasnya, pasukan Yazid di bawah pimpinan Al-Hushain bin Numair itu mengepung Abdullah bin Az-Zubair dan para pengikutnya di Makkah pada akhir 36 H. Mereka melontari Ka’bah dengan manjaniq (katapel raksasa) sehingga sebagian besar dindingnya roboh dan terbakar.
Ibnu Az-Zubair, kemudian memutuskan untuk meratakan Ka’bah dengan tanah, lantas mendirikan tiang-tiang di sekelilingnya dan menutupinya dengan tirai. Setelah itu, dia mendirikan bangunan Ka’bah dengan menambahkan 6 hasta yang dulu dikurangi oleh Kaum Quraisy. Dia juga menambah tingginya 10 hasta dan membuatkan baginya dua pintu, salah satunya untuk masuk dan pintu lainnya untuk keluar.
Pembangunan yang keempat dilakukan setelah terbunuhnya Ibnu Az-Zubair. Al-Hajjaj menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan melaporkan hal itu dan menyampaikan bahwa Ibnu Az-Zubair telah mendirikan Ka’bah di atas fondasi yang diperselisihkan para pemuka Makkah.
Abdul Malik pun mengirimkan surat balasan yang berbunyi, “Kami sungguh tidak menerima tindakan yang dilakukan Az-Zubair. Kalau tinggi bangunan yang dia tambahkan, biarkan saja. Namun, panjang bangunan itu yang meliputi Hijir Ismail, kembalikanlah seperti semula. Dan tutuplah pintu yang dia buka.” Maka, Al-Hajjaj meruntuhkannya dan mengembalikan bangunannya seperti semula sebelum diubah oleh Ibnu Az-Zubair.
Konon, Harun Ar-Rayid pernah menyampaikan keinginannya untuk meruntuhkan Ka’bah dan mengembalikan bangunannya seperti yang dilakukan Ibnu Az-Zubair. Namun, Malik bin Anas r.a. berkata kepadanya, “Dengarlah wahai Amirul Mukminin, jangan sampai kau menjadikan Ka’bah ini objek permainan bagi para raja sepeninggalmu, setiap kali mereka ingin mengubahnya pasti mereka ubah sehingga keagungan dan kewibawaanya hilang dari hati manusia.”
Setelah mendengar nasihat Malik bin Anas itu, sang Khalifah pun mengurungkan niatnya.
Ketiga, dalam pembangunan Ka’bah yang kedua di mana Baginda Muhammad Saw. ikut serta dalam proyek itu. Beliau berusia 35 tahun, lima tahun sebelum kenabian, telah menunjukkan betapa kecerdasan dan kebijaksanaan dalam mengelola urusan, mengendalikan masalah, dan menghentikan perselisihan.
Nabi Saw. terbukti memiliki kecerdasan dan kemampuan besar untuk menengahi kaum-kaum yang berselisih, kaum-kaum yang tidak pernah bisa tidur nyenyak ketika bermusuhan dengan kaum lain, kecuali setelah bisa menumpahkan darah musuh.
Sebagaimana kita ketahui dari sirah-sirah, setelah renovasi Ka’bah, terjadi perselisihan yang terus memanas hingga nyaris mereka saling baku hantam dan saling bunuh. Saat itu, Bani Abdu Dar telah mengeluarkan mangkuk berisi darah, lalu mereka mengucapkan sumpah rela mati bersama Bani Adiy, yang bersama-sama mencelupkan tangan mereka ke dalam mangkuk itu.
Kaum Quraisy bertahan dalam ketegangan selama empat atau lima hari tanpa satu pun keputusan yang diambil, yakni suku mana yang paling berhak dan mendapat kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya semula, hingga akhirnya api perselisihan itu dipadamkan Rasulullah Saw.
Tentu saja semua itu berkat pertolongan dan taufik Allah yang menjadikan Muhammad Saw. sebagai pengemban risalah dan kenabian. Itu juga menunjukkan kecerdasan, kebijaksanaan, dan kemampuan Rasulullah Saw. untuk menganalisis masalah kemudian memikirkan solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah itu.
Bagaimanapun, dasar pertama pembentukan diri Nabi Saw. adalah kedudukan beliau sebagai nabi dan rasul. Kemudian barulah segala keistimewaan lain hadir melalui kejeniusan, kepandaian, dan kecerdasan yang dilandasi dasar pertama itu dan bersesuaian dengannya.
Keempat, kita pun bisa melihat betapa tingginya kedudukan Nabi Saw. di tengah para tokoh Quraisy yang masing-masing saling berbeda tingkatannya. Hanya Muhammad Saw. di masa itu yang dijuluki al-amin oleh seluruh komunitas. Beliau juga disukai oleh mereka semua. Mereka tidak meragukan kejujuran ucapannya, kemuliaan akhlak dan tindakannya, serta ketulusannya ketika dimintai pertolongan.
Semua ini menunjukkan, betapa besar sentimen dan kebencian kaum Quraisy kepada Muhammad setelah beliau diutus sebagai nabi pengemban risalah. Mereka yang dulu memercayai, menyukai, dan memuliakannya, tiba-tiba berbalik 180 derajat menjadi musuhnya yang paling sengit.
Ketika Muhammad Saw. diberi wahyu dan mendapat perintah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada manusia, mereka menyambut seruannya dengan penolakan, pendustaan, permusuhan, dan penindasan.
Begitulah uraian Dr. Al-Buthy.
Baca juga: Khadijah
0 Comments